Pendahuluan Fraktur Terbuka
Fraktur terbuka merupakan kegawatdaruratan ortopedi, yakni hilangnya kontinuitas tulang atau patah tulang yang disertai dengan paparan tulang terhadap lingkungan luar, menyebabkan risiko infeksi yang sangat tinggi. Penyebab fraktur terbuka yang paling sering adalah trauma, terutama trauma energi tinggi, seperti akibat kecelakaan lalu lintas dan luka tembak.[1]
Pada fraktur terbuka, terjadi cedera yang menyebabkan tulang yang patah terpapar lingkungan eksternal akibat luka pada jaringan lunak atau kulit yang melindunginya. Luka kulit yang terbuka dapat berjarak dan tidak tepat di atas fraktur, sehingga fraktur dengan luka terbuka harus dipertimbangkan sebagai fraktur terbuka hingga ada bukti sebaliknya.[1,2]
Diagnosis fraktur terbuka perlu dicurigai jika pada pemeriksaan fisik tampak adanya tanda klinis fraktur, seperti deformitas dan krepitasi, disertai luka terbuka pada kulit. Pemeriksaan penunjang, seperti rontgen dan CT scan, dapat digunakan untuk menentukan tingkat keparahan fraktur dan cedera jaringan sekitarnya. Pasien dengan fraktur terbuka umumnya mengalami trauma multipel sehingga pemeriksaan menyeluruh diperlukan.
Pada penilaian awal, prioritas utama adalah menilai stabilitas hemodinamik pasien, melakukan stabilisasi fraktur awal mengelola cedera jaringan lunak secara efektif untuk mengurangi risiko infeksi, dan melakukan debridemen jika diperlukan. Identifikasi faktor risiko komplikasi seperti infeksi, kerusakan saraf, atau pembuluh darah juga menjadi perhatian penting dalam perencanaan pengelolaan fraktur terbuka.
Pasien dengan fraktur terbuka umumnya memerlukan profilaksis antibiotik dan tetanus. Penatalaksanaan selanjutnya yaitu terapi definitif pembedahan yang terdiri dari irigasi dan debridemen agresif, stabilisasi fraktur operatif, serta penutupan luka. Selanjutnya, pasien akan memerlukan rehabilitasi yang bertujuan untuk memaksimalkan kembali fungsi anggota gerak tubuh.[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Karina Sutanto