Prognosis Fraktur Terbuka
Prognosis fraktur terbuka dipengaruhi oleh usia pasien, keparahan fraktur, dan komorbid pasien. Selain itu, fraktur terbuka dapat mengakibatkan komplikasi dini maupun lambat. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi amputasi delayed union, non-union, malunion, infeksi, nekrosis avaskular, lesi tendon, sindrom kompartemen, kontraktur otot, dan sindrom nyeri regional.[6,10]
Komplikasi
Komplikasi pada fraktur dapat dibagi menjadi dua macam bergantung waktu terjadinya, yaitu dini dan lambat. Komplikasi awal dapat muncul sebagai bagian dari cedera primer atau muncul setelah beberapa hari atau minggu. Sementara itu, komplikasi lambat adalah kondisi yang terjadi akibat fraktur yang muncul setelah beberapa minggu atau bulan.[10]
Amputasi
Amputasi primer dipertimbangkan pada kasus perdarahan berat, crush injury, anggota gerak avascular, atau hilangnya segmen tulang atau otot. Skor keparahan dapat digunakan untuk menilai dengan objektif kebutuhan amputasi. Amputasi sekunder dapat terjadi akibat komplikasi yang berlanjut seperti infeksi dalam. Amputasi dapat mencegah perburukan lebih lanjut serta mempertahankan kualitas hidup pasien.[9]
Delayed Union
Delayed union adalah kondisi di mana terjadinya penyatuan jaringan tulang memakan waktu yang lebih lama atau memanjang. Faktor yang meningkatkan risiko delayed union meliputi faktor biologis yaitu kurangnya aliran darah, kerusakan jaringan lunak berat, pengelupasan periosteum; sedangkan faktor biomekanis yaitu pembidaian yang kurang tepat, fiksasi terlalu kencang, infeksi, serta faktor terkait pasien seperti adanya komorbiditas.[10]
Non-Union
Pada kasus yang jarang, delayed union selanjutnya menjadi non-union, yaitu kondisi di mana fraktur tidak akan menyatu tanpa adanya intervensi. Terdapat empat sebab terjadinya non-union yang disingkat menjadi CASS yaitu:
Contact: apakah kontak antar fragmen tulang cukup?
Alignment: apakah fraktur cukup selaras untuk menurunkan gesekan?
Stability: apakah fraktur cukup stabil?
Stimulation: apakah fraktur cukup ‘distimulasi’?[10]
Penelitian menunjukkan prevalensi terjadinya non-union pada fraktur os tibia mencapai 6,8%. Beberapa faktor yang berhubungan dengan non-union antara lain usia >60 tahun, jenis kelamin laki-laki, perokok aktif, indeks massa tubuh (IMT) di atas 40 kg/m2, riwayat diabetes, fraktur pada area tengah dan distal tibia, fraktur energi-tinggi, fraktur terbuka, fraktur grade IIIB atau C, dan reduksi terbuka.[20]
Malunion
Malunion yaitu kondisi terjadinya sambungan fragmen fraktur pada posisi yang kurang tepat yang dapat berupa angulasi, rotasi, atau pemendekan. Faktor penyebab terjadinya malunion yaitu kurangnya reduksi pada fraktur, kegagalan mempertahankan kondisi reduksi pada proses penyembuhan, dan pemendekan gradual tulang yang hancur atau osteoporotik.[10]
Infeksi
Pencegahan terhadap infeksi menjadi prioritas pada penanganan fraktur terbuka sejak awal. Secara teori, faktor yang meningkatkan risiko infeksi yaitu adanya syok, hematoma lokal, dead space, instabilitas fraktur, jaringan mati, dan komorbid seperti diabetes, imunokompromais, dan iskemia. Faktor bakteri meliputi ukuran dan sifat inokulum awal serta kondisi khusus terkait kontaminasi bakteri.[17]
Penelitian menunjukkan risiko infeksi meningkat akibat beberapa faktor berikut, yaitu IMT > 30 kg/m2, fraktur dengan Gustilo-Anderson (GA) tipe III, perbaikan jaringan lunak yang memanjang, dan adanya kontaminasi luka.[21]
Nekrosis Avaskular
Jaringan tertentu memiliki kerentanan untuk mengalami iskemia lebih cepat dari jaringan lainnya. Pada kasus fraktur, aliran darah dapat terganggu akibat pergeseran tulang dan jaringan lunak sehingga mengganggu perfusi ke jaringan.
Komplikasi ini terjadi sejak awal, namun efek secara klinis dan radiologi baru tampak pada beberapa minggu atau bulan setelah cedera. Beberapa jaringan yang paling mudah mengalami nekrosis avaskular yaitu caput femur pada fraktur di area collumna femur dan proksimal os schapoid pada fraktur pergelangan tangan.[10]
Lesi Tendon
Tendinitis atau peradangan pada tendon dapat terjadi akibat tekanan fragmen fraktur pada tendon atau penjahitan langsung pada proses pembedahan. Risiko lesi pada tendon dapat dikurangi dengan Teknik reduksi yang tepat.[10]
Kompresi Saraf
Kompresi saraf dapat terjadi akibat penekanan serabut saraf oleh fragmen fraktur maupun akibat posisi pasien yang salah. Gejala yang paling sering muncul akibat kompresi saraf yaitu sensasi kebas atau paraestesia, hilangnya gerakan atau pengecilan otot yang dipersarafi. Tata laksana yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan dekompresi saraf.[10]
Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemen adalah kumpulan gejala yang muncul akibat efek penekanan di dalam kompartemen jaringan lunak pada area fraktur. Terjadi peningkatan tekanan di dalam kompartemen akibat perdarahan, edema atau inflamasi, sehingga penurunan aliran darah kapiler mengakibatkan iskemia otot, edema yang lebih berat dan peningkatan tekanan lebih lanjut memperparah iskemia.[8,10,14]
Kontraktur Otot
Iskemia otot akibat sindroma kompartemen selanjutnya dapat mengakibatkan kontraktur pada otot atau disebut Volkmann’s ischaemic contracture. Otot yang nekrosis digantikan oleh jaringan fibrotik sehingga kehilangan kemampuan untuk berkontraksi dan terjadi kekakuan atau kontraktur. Area yang paling sering mengalami yaitu lengan bawah, tangan, tungkai bawah dan kaki.[1,8,10,14]
Sindrom Nyeri Regional
Sindrom ini dapat muncul pada pasien yang menjalani operasi. Penyebab sindrom ini belum sepenuhnya dimengerti, namun bukti mendukung hipotesis adanya respon inflamasi terhadap trauma dan hipersensitisasi saraf. Pasien dapat mengalami nyeri berat, edema, perubahan aliran darah pada kulit, allodinia, dan sensasi terbakar.[9]
Prognosis
Prognosis fraktur terbuka dipengaruhi berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor usia menunjukkan pengaruh terhadap prognosis pasien dengan prognosis yang memburuk dengan semakin meningkatnya usia. Risiko kematian pada seluruh rentang usia mencapai 2% dalam 90 hari dan 3% dalam 2 tahun. Sementara usia tua memiliki risiko kematian hingga 11%.[6]
Sebuah studi menunjukkan beberapa faktor risiko yang memengaruhi prognosis fraktur terbuka yaitu IMT melebihi 30 kg/m2, fraktur dengan Gustilo-Anderson (GA) tipe III, perbaikan jaringan lunak yang memanjang, kontaminasi luka, pasien perokok aktif, dan adanya trauma multiple.[21]
Penulisan pertama oleh: dr. Karina Sutanto