Penatalaksanaan Fraktur Terbuka
Penatalaksanaan fraktur terbuka umumnya melibatkan reduksi fraktur secara operatif, disertai dengan debridemen dan pemberian antibiotik. Secara garis besar, penatalaksanaan terbagi menjadi dua bagian penting, yaitu penatalaksanaan awal untuk stabilisasi dan penatalaksanaan definitif.
Penatalaksanaan awal terdiri dari survei primer dan resusitasi, debridemen awal, pemberian profilaksis antibiotik dan tetanus, serta stabilisasi awal. Penatalaksanaan selanjutnya adalah terapi definitif pembedahan, yang terdiri dari irigasi dan debridemen agresif, stabilisasi fraktur, dan penutupan luka.[1,10,14]
Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat (UGD)
Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat (UGD) meliputi survei primer dan resusitasi, debridemen awal, pemberian profilaksis antibiotik dan tetanus, serta stabilisasi awal.
Survei Primer dan Resusitasi
Lakukan survei primer meliputi pemeriksaan status airway, breathing, circulation sesuai dengan protokol Advanced Trauma Life Support (ATLS). Selanjutnya lakukan resusitasi yang dibutuhkan sesuai kondisi pasien. Survei primer bertujuan untuk mengevaluasi adanya kondisi yang mengancam jiwa diikuti dengan pemberian resusitasi sesuai kondisi yang diperlukan.[7]
Debridemen Awal
Debridemen awal yang dilakukan di UGD bertujuan untuk membersihkan area luka dari benda asing dan kotoran makro sehingga penilaian status lokalis dan klasifikasi fraktur terbuka dapat lebih optimal. Luka kemudian ditutup dengan kassa steril agar area fraktur tidak terus terpapar lingkungan eksternal. Irigasi dan debridemen awal dapat dilakukan menggunakan cairan fisiologis dengan tekanan sangat rendah.[7,10]
Antibiotik Profilaksis
Pemberian profilaksis antibiotik pada kasus fraktur terbuka direkomendasikan dimulai dalam 60 menit setelah tiba di rumah sakit dan harus dilanjutkan hingga tidak lebih dari 24 jam pasca terapi pembedahan. Hal ini dikecualikan pada fraktur dengan kontaminasi berat, yang mana pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam.[8,11]
Pilihan antibiotik yang diberikan didasarkan pada klasifikasi keparahan fraktur menurut sistem Gustilo-Anderson. Pada fraktur tipe I dan II direkomendasikan pemberian sefalosporin generasi pertama, seperti cephalexin. Pada fraktur tipe III direkomendasikan pemberian sefalosporin generasi pertama ditambah aminoglikosida, seperti gentamicin. Jika terdapat potensi kontaminasi feses atau Clostridium sp. maka perlu ditambahkan penicillin.
Pada fraktur tipe III, piperacillin/tazobactam dapat digunakan sebagai alternatif. Pilihan alternatif ini menawarkan profil keamanan yang lebih baik, distribusi pada tulang yang lebih optimal, dan dapat diberikan sebagai antibiotik tunggal dengan tingkat efikasi yang setara. Fluorokuinolon tidak direkomendasikan karena efek buruk pada proses penyembuhan tulang.[8]
Profilaksis Tetanus
Seluruh pasien dengan luka terbuka sebaiknya dinilai status imunisasi tetanus. Pada pasien dengan status imunisasi yang tidak lengkap atau tidak diketahui sebaiknya diberikan profilaksis tetanus sebagai berikut:
- Jika pemberian boostertetanus dalam 5 tahun terakhir, maka tidak perlu mendapatkan profilaksis tetanus
- Jika pemberian boostertetanus > 5 tahun atau vaksin tidak lengkap, maka perlu diberikan tetanus toksoid (TT) 0,5 mL
- Jika pemberian boostertetanus >10 tahun atau pasien imunokompromais, maka perlu diberikan tetanus toksoid (TT) 0,5 mL dan tetanus imunoglobulin[1,7,10]
Stabilisasi Awal dari Fraktur
Stabilisasi awal bertujuan agar kerusakan jaringan lunak tidak semakin parah akibat pergeseran fragmen fraktur. Stabilisasi awal dapat dilakukan menggunakan splint, brace atau traksi sementara. Stabilisasi bermanfaat mengurangi rasa nyeri, meminimalisir kerusakan jaringan lunak dan neurovaskular serta mencegah terjadinya gangguan darah.[7,10]
Pembedahan
Terapi definitif fraktur terbuka yaitu terapi operatif yang meliputi irigasi dan debridemen agresif, stabilisasi fraktur, penggunaan antibiotik lokal, dan penutupan luka. Rekomendasi terkini menyatakan bahwa pembedahan eksplorasi fraktur terbuka harus segera dilakukan pada kondisi sebagai berikut:
- Kontaminasi berat
- Sindrom kompartemen
- Gangguan vaskular
- Cedera multiple atau cedera yang melibatkan kontaminasi agrikultur, air laut, atau air kotor.
Tanpa adanya indikasi di atas maka terapi bedah dapat dilakukan dalam waktu 24 jam setelah pasien tiba di rumah sakit.[11]
Irigasi dan Debridemen Agresif
Irigasi dan debridemen agresif yang dilakukan di dalam ruang operasi steril merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan tingkat infeksi. Penelitian menunjukkan bahwa debridemen yang dilakukan sesegera mungkin dibandingkan dengan dilakukan dalam waktu 24 jam setelah tiba di rumah sakit tidak menghasilkan perbedaan laju infeksi.
Tindakan irigasi disarankan menggunakan cairan fisiologis dengan tekanan yang sangat rendah (aliran gravitasi). Penelitian menunjukkan adanya peningkatan laju operasi ulang pada penggunaan cairan yang mengandung sabun. Rekomendasi volume irigasi yaitu 3 liter untuk fraktur tipe I, 6 liter untuk tipe II, dan 9 liter untuk tipe III.[8]
Debridement agresif dilakukan untuk menghilangkan jaringan mati, termasuk fragmen tulang nekrosis dan otot yang mati. Pengambilan jaringan ini berhubungan dengan penurunan risiko infeksi.[9]
Stabilisasi Fraktur
Stabilisasi fraktur merupakan bagian penting dari proses pembedahan dan berfungsi untuk menurunkan risiko infeksi serta menjembatani perbaikan jaringan lunak. Ada dua jenis metode fiksasi yang dapat dilakukan, yaitu fiksasi internal dan eksternal. Metode fiksasi tergantung dari beberapa hal, seperti derajat kontaminasi, waktu dari cedera hingga pembedahan, serta jumlah kerusakan jaringan lunak.[10]
Open Reduction Internal Fixation (ORIF):
Reduksi terbuka dengan fiksasi internal atau open reduction internal fixation (ORIF) merupakan prosedur pembedahan untuk menyatukan fraktur dengan menggunakan plat logam, pins, rods, atau screws. Jika tidak ditemukan kontaminasi jelas dan penutupan luka definitif dapat dilakukan segera pada saat pembedahan dan fiksasi dilakukan, maka fiksasi internal dapat dipilih.[10]
Indikasi pemasangan ORIF antara lain pada fraktur tidak stabil dan cenderung displaced setelah reposisi, fraktur intra-artikular, dan fraktur yang sedang menuju nonunion. Jenis implan yang digunakan sangat bergantung dengan jenis fraktur dan preferensi ahli bedah. Jenis-jenis fiksasi internal yaitu fixed angled blade plate, sliding barrel condylar plate, condylar buttress plate dan locking plate.[12]
Open Reduction External Fixation (OREF):
Reduksi terbuka dengan fiksasi luar atau open reduction external fixation (OREF) merupakan prosedur pembedahan untuk menyatukan dan menstabilkan fraktur dan jaringan lunak dengan memasukkan pin melalui kulit ke dalam tulang lalu ditahan dengan external frame. Fiksasi eksternal merupakan fiksasi sementara untuk memberikan stabilisasi hingga jaringan lunak dapat mentoleransi fiksasi internal.[12]
Indikasi pemasangan OREF antara lain fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang berat sehingga luka harus dirawat terbuka, potensi perbaikan kulit buruk, dan pada pasien yang tidak stabil untuk menjalani fiksasi internal. Jika penutupan luka ditunda, maka fiksasi eksternal dapat digunakan sebagai fiksasi sementara.[10,12]
Intramedullary Nailing (IMN)
Intramedullary nailing atau pemasangan pin secara intramedular memberikan stabilitas yang lebih baik pada fraktur terutama fraktur femur. Terdapat dua cara IMN yaitu antegrade dan retrograde.[12]
Dalams ebuah meta analisis terhadap 12 uji klinis dengan total 1.090 pasien dilaporkan bahwa penggunaan fiksasi eksternal berhubungan dengan peningkatan kejadian infeksi superfisial, infeksi pada area paku, dan malunion dibandingkan dengan fiksasi intramedular pada kasus fraktur os tibia terbuka.[13]
Penggunaan Antibiotik Lokal
Pada kasus fraktur kompleks, gangguan vaskular menurunkan konsentrasi antibiotik pada jaringan. Penggunaan antibiotik lokal diharapkan meningkatkan konsentrasi obat di jaringan lokal. Selain itu, pada penggunaan fiksasi internal, antibiotik lokal dapat mengurangi pembentukan biofilm dan kolonisasi bakteri.[11]
Metode CLAP:
Metode baru pemberian antibiotik lokal yaitu continuous local antibiotic perfusion (CLAP) dapat mempertahankan konsentrasi antibiotik lokal yang konstan dalam jangka waktu yang lama dengan komplikasi yang lebih sedikit dan kurang invasif dibanding metode lain. CLAP memungkinkan cairan antibiotik dialirkan secara terus menerus pada area kontaminasi menggunakan tekanan negatif.
Terdapat dua macam metode CLAP, yaitu iMAP (Intramedullary Antibiotic Perfusion) dan iSAP (intra-soft tissue Antibiotic Perfusion). iMAP digunakan untuk menurunkan infeksi tulang, diberikan melalui jarum yang dimasukkan pada sumsum tulang bersebelahan dengan area kontaminasi. Jika memungkinkan, dua jarum diletakkan sehingga area kontaminasi berada di antara dua sumber CLAP.
iSAP digunakan untuk menurunkan risiko infeksi jaringan lunak dan mengatasi dead space. Untuk memaksimalkan penggunaan iSAP, sebaiknya tabung ditempatkan pada area dead space, sementara lubang keluarnya ditempatkan ada area yang luas, sehingga area kontaminasi dikelilingi obat antibakteri. Umumnya CLAP digunakan selama 14 hari pasca-operasi.[14,15]
Penutupan Luka
Fraktur terbuka tipe GA I atau II dapat segera dilakukan penutupan luka definitif setelah dilakukannya stabilisasi fraktur. Penutupan luka ini dapat dilakukan tanpa adanya tegangan jaringan lunak. Sementara itu, fraktur yang lebih berat dapat dilakukan penutupan luka menggunakan skin graft, baik itu split-skin graft (SSG), fasio-cutaneous flap, rotational muscle flap (dengan SSG), free muscle flap (dengan SSG), atau free fascial flap.[10]
Terapi Luka Tekanan Negatif:
Pada kasus yang berat, fraktur dapat distabilisasi sementara dan penutupan luka ditunda dan dibalut dengan balutan yang sesuai. Jenis balutan yang sering digunakan yaitu balutan kain kassa steril. Namun, teknologi terkini memunculkan sistem balut luka yang disebut lebih efektif untuk luka dengan eksudat aktif, yaitu terapi luka tekanan negatif.
Terapi luka tekanan negatif atau negative pressure wound therapy (NPWT) merupakan istilah yang digunakan secara luas untuk sistem perawatan luka menggunakan tekanan sub-atmosfer untuk membantu mengurangi eksudat inflamasi dan memicu jaringan granulasi. Sistem ini disebut juga dengan Vacuum-Assisted Closure (VAC).[16-18]
Terapi Rehabilitasi
Terapi rehabilitasi bertujuan untuk memaksimalkan kembali fungsi anggota gerak tubuh dan membantu pasien kembali ke kehidupan sosial dengan mengoptimalkan kualitas hidup. Pasien dapat mengalami politrauma, sehingga terapi rehabilitasi tiap pasien dapat berbeda sesuai kebutuhan.
Pasien sebaiknya diberikan rencana rehabilitasi paling lambat 2 hari semenjak admisi dan dapat direncanakan untuk diberikan setelah fiksasi definitif dan rekonstruksi jaringan lunak selesai dilakukan. Umumnya ahli bedah ortopedi akan memberikan arahan mengenai status weight-bearing dari anggota gerak dan range of movement dari sendi yang diperbolehkan.[19]
Penulisan pertama oleh: dr. Karina Sutanto