Diagnosis Varicella
Diagnosis varicella atau cacar air (chickenpox) umumnya ditegakkan secara klinis berdasarkan karakteristik lesi kulit. Akan tetapi, pemeriksaan penunjang seperti tes Tzanck, pemeriksaan serologis, dan isolasi virus dengan polymerase chain reaction atau kultur dapat dilakukan jika perlu, terutama pada kasus-kasus yang atipikal.[3]
Anamnesis
Berbeda dengan varicella pada remaja dan orang dewasa, varicella pada anak-anak umumnya tidak diikuti oleh gejala prodromal. Gejala prodromal yang mungkin dialami pasien remaja dan dewasa adalah nyeri otot, mual, penurunan nafsu makan, sakit kepala, demam, lemas, dan bercak merah pada kulit. Pada anak-anak, umumnya gejala dan tanda yang pertama ditemukan adalah lesi oral atau bercak merah di kulit.
Dokter perlu menanyakan faktor risiko varicella, seperti kondisi immunocompromised, riwayat imunisasi, dan riwayat kehamilan. Perlu ditanyakan juga riwayat kontak dengan orang lain yang terinfeksi varicella dalam 10–21 hari sebelumnya.
Umumnya, lesi kulit dapat ditemukan dalam tingkat perkembangan yang berbeda-beda. Lesi kulit dapat bermula sebagai titik merah kecil di wajah, tubuh, lengan atas, dan tungkai. Sekitar 12 jam kemudian, lesi kulit dapat berprogresi menjadi benjolan kecil, vesikel, papula, pustula, hingga keropeng.
Lesi kulit juga dapat muncul di telapak tangan dan telapak kaki serta membran mukosa disertai dengan pruritus yang intens. Penularan varicella berakhir sekitar 5–7 hari setelah onset eksantema dengan vesikel kulit yang menjadi keropeng seluruhnya. Setelah sekitar 2 minggu, lesi kulit umumnya akan sembuh tanpa bekas.[1,2,5]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik pasien varicella, dapat ditemukan lesi kulit berupa vesikel yang dikelilingi halo eritema, yang sering disebut sebagai dewdrop on a rose petal. Ciri khas cacar air adalah adanya lesi kulit dengan berbagai tingkat perkembangan. Lesi dapat sembuh dengan sendirinya tanpa ada bekas. Akan tetapi, pada kondisi superinfeksi sekunder oleh bakteri, ekskoriasi dan pembentukan bekas luka dapat terjadi.
Lesi hemoragik umumnya jarang ditemukan tetapi dapat terjadi pada pasien dengan kondisi immunocompromised. Pada orang dewasa yang mengalami cacar air, lesi kulit dapat terjadi secara meluas di seluruh tubuh dengan demam yang lebih panjang dan risiko komplikasi yang lebih tinggi.
Selain lesi di kulit, lesi oral dan lesi area tonsil yang disertai rasa nyeri dan gatal juga umum ditemukan. Lesi ini dapat mendahului lesi eksternal kulit 1–3 hari.[1,2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding varicella adalah penyakit yang memiliki lesi kemerahan kulit, seperti erupsi obat-obatan, impetigo, gigitan serangga, dan dermatitis herpetiformis.
Gigitan Serangga
Pada kasus gigitan serangga, pasien menunjukkan lesi kulit kemerahan yang dapat disertai pembengkakan, papula, dan rasa gatal, yang bisa bervariasi tergantung pada jenis serangga. Dokter perlu ditanyakan riwayat kontak dengan serangga atau hewan, riwayat pekerjaan, aktivitas outdoor, dan riwayat perjalanan.[11]
Impetigo
Impetigo biasanya ditandai dengan lesi kulit vesikel atau pustula yang disertai oleh eksudat purulen, seperti gambaran krusta madu. Selain itu, dapat ditemukan juga bula pada impetigo bulosa. Pada kasus impetigo, dokter perlu menanyakan riwayat malnutrisi, imunosupresi, diabetes, higienitas yang kurang baik, serta riwayat aktivitas di tempat yang ramai. Diagnosis impetigo dapat ditegakkan juga melalui kultur bakteri.[12]
Dermatitis Herpetiformis
Dermatitis herpetiformis memiliki gambaran lesi berupa papula dan vesikel kemerahan di lokasi-lokasi ekstensor tubuh. Umumnya lesi ini disertai oleh rasa gatal dan dapat terjadi bersama gejala penyakit lainnya, seperti gluten-sensitivity enteropathy (GSE). Dermatitis herpetiformis merupakan penyakit kronis autoimun yang berkaitan dengan isu genetik, sehingga riwayat penyakit ini di keluarga juga perlu ditanyakan.[13]
Erupsi Obat
Erupsi obat dapat menyerupai berbagai jenis lesi kulit. Umumnya erupsi obat-obatan dicurigai pada pasien dengan riwayat konsumsi obat-obatan tertentu yang mengalami erupsi kulit simetris secara mendadak. Dokter perlu menanyakan riwayat penggunaan obat, riwayat alergi, interval waktu timbulnya erupsi, durasi, frekuensi, dosis, dan rute pemberian obat-obatan.[14]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat membantu penegakkan diagnosis, terutama pada kasus yang atipikal. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah tes Tzanck, pemeriksaan serologis, dan isolasi virus dengan polymerase chain reaction ataupun kultur.[1,5]
Tes Tzanck
Tes Tzanck merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang mudah dilakukan dan berbiaya terjangkau. Tes ini dilakukan dengan mengambil kerokan dari dasar vesikel kulit. Kerokan lalu diberi pewarnaan Giemsa dan diperiksa di bawah mikroskop.
Hasil positif akan memberikan gambaran badan inklusi dan sel datia berinti banyak. Namun, tes Tzanck hanya mengonfirmasi bahwa lesi kulit disebabkan oleh herpesvirus (termasuk varicella-zoster virus) tetapi tidak secara spesifik mengonfirmasi adanya varicella-zoster virus (VZV) itu sendiri.[2,15]
Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologis dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik varicella. Pemeriksaan ini biasanya bersifat kurang sensitif bila dibandingkan dengan polymerase chain reaction (PCR) tetapi lebih mudah dijumpai daripada fasilitas PCR.
Adanya IgM menandakan infeksi aktif tetapi sulit membedakan infeksi primer, reinfeksi, dan reaktivasi. Sementara itu, adanya IgG bisa mengindikasikan infeksi baru maupun imunitas dari vaksinasi. Tidak adanya antibodi pada hasil pemeriksaan tidak dapat mengeksklusi infeksi VZV karena antibodi baru dapat terdeteksi ketika gambaran lesi kulit muncul.
Setelah era vaksinasi varicella, pemeriksaan serologis umumnya tidak diperlukan pada anak, remaja, dan orang dewasa yang sehat karena tingginya tingkat serokonversi. Pemeriksaan serologis dapat dilakukan melalui beberapa teknik, yaitu immunoassay enzim, tes aglutinasi lateks, indirect fluorescent antibody, complement fixation, dan fluorescent antibody to membrane assay.[2,3,5]
Isolasi Virus
Isolasi varicella-zoster virus (VZV) melalui kultur cairan vesikel memberikan diagnosis yang definitif. Namun, kultur ini sulit dilakukan dan biasanya hanya positif pada <40% kasus. Polymerase chain reaction (PCR) merupakan alternatif yang lebih sensitif untuk mengidentifikasi VZV dan membutuhkan waktu yang lebih singkat daripada kultur.
PCR dapat menggunakan sampel selain cairan lesi kulit, misalnya cairan serebrospinal, saliva, dan darah. Akan tetapi, PCR yang menggunakan cairan dari lesi kulit (vesikel) dilaporkan akan memberikan hasil yang terbaik. Sampel lain memiliki risiko hasil negatif palsu yang lebih tinggi daripada sampel lesi kulit. Kekurangan PCR adalah fasilitasnya jarang tersedia.[1,2,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Amanda Sonia Arliesta