Patofisiologi Varicella
Patofisiologi varicella atau cacar air (chickenpox) diawali oleh inhalasi droplet secara airborne dari orang yang terinfeksi. Varicella-zoster virus (VZV) yang terinhalasi akan menginfeksi konjungtiva atau mukosa saluran napas atas. Infeksi VZV memiliki masa inkubasi selama 10–21 hari.
Sekitar 2–4 hari setelah infeksi, virus akan berproliferasi di nodus limfatikus regional yang menyebabkan viremia primer. Kemudian, replikasi virus terjadi juga di jaringan retikuloendotelial serta hati dan limpa, yang menyebabkan viremia sekunder sekitar 14–16 hari setelah infeksi.
Saat viremia sekunder, virus juga menginvasi sel endotel kapiler, membran mukosa, dan epidermis kulit. Replikasi virus pada keratinosit yang disertai respons inflamasi dan kerusakan sel menyebabkan terbentuknya vesikel yang berisi virion di permukaan kulit.
Tingkat penularan maksimal terjadi pada 1–2 hari sebelum timbulnya bercak merah dan vesikel di kulit, ketika virus menyebar melalui droplet dan aerosol dari nasofaring. Selain itu, penularan maksimal juga terjadi pada 5–7 hari pertama setelah timbulnya lesi kulit.
Ketika terinfeksi oleh varicella-zoster virus, tubuh akan memproduksi immunoglobulin G (IgG), immunoglobulin M (IgM), dan immunoglobulin A (IgA). Antibodi IgG memberikan imunitas dan dapat bertahan seumur hidup.
Setelah infeksi primer, VZV dilaporkan menyebar ke saraf sensorik di lokasi sekitarnya dan memasuki fase laten di sel ganglion dorsal saraf sensorik, saraf kranial, dan ganglion otonom. Sistem imun tubuh menjaga agar VZV tetap laten. Akan tetapi, reaktivasi VZV di kemudian hari dapat menyebabkan herpes zoster, postherpetic neuralgia, dan sindrom Ramsay Hunt.[1-5]
Penulisan pertama oleh: dr. Amanda Sonia Arliesta