Pendahuluan Ebola
Ebola virus disease (EVD), atau dikenal juga dengan sebutan ebola hemorrhagic fever (demam berdarah Ebola), merupakan penyakit mematikan akibat kebocoran vaskuler dan gangguan pembekuan darah sehingga menyebabkan kegagalan multiorgan dan syok hipovolemik. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi virus Ebola.[1,2]
Virus Ebola pertama kali ditemukan pada tahun 1976 di dekat sungai Ebola, Republik Demokratik Kongo. Wabah ini dulu secara sporadik menyebar di Afrika, dan belum diketahui host reservoir alami virus ini. Berdasarkan sifat virus, para ahli berpendapat bahwa virus Ebola ditularkan melalui hewan, dengan kelelawar menjadi reservoir yang memungkinkan.[1,2]
Diagnosis awal EVD sulit apabila hanya menilai gejala dan tanda klinis. Gejala demam, sakit kepala, dan lemas sulit dibedakan dari penyakit menular lain, seperti influenza, malaria, tifoid, atau meningitis. Gejala kehamilan seperti mual, muntah, kelelahan, nyeri kepala juga sangat mirip dengan EVD. Oleh karena itu, pada wanita hamil yang berisiko harus segera dilakukan pengecekan yang cepat jika dicurigai EVD. Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah uji ELISA (antigen-capture-enzyme-linked-immunosorbent assay), PCR (polymerase chain reaction), dan antibodi IgM-IgG untuk mendeteksi virus ebola.[1-2]
Perawatan suportif seperti rehidrasi intravena, terapi oksigen, serta obat-obatan untuk meningkatkan tekanan darah dan mengurangi gejala seperti muntah, diare, maupun nyeri dapat menurunkan mortalitas pasien. Pada saat terjadi wabah di Negara Demokratik Kongo tahun 2018, tersedia pengobatan regeneron (REGN-EB3) dan mAb114 yang telah dikonfirmasi dapat meningkatkan harapan hidup pasien secara keseluruhan. Kedua obat antivirus ini kemudian tetap digunakan untuk pasien dengan EVD terkonfirmasi.
Sebagai upaya pencegahan penyebaran penyakit, diperlukan edukasi pada masyarakat terkait cara penularan virus. Pencegahan EVD dapat juga dilakukan melalui pemberian vaksinasi rVSV-ZEBOV.[1-2]