Diagnosis Pertusis
Diagnosis pertusis perlu dicurigai pada pasien yang mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh atau makin memberat seiring waktu, terutama jika pasien belum divaksin atau belum lengkap. Kultur merupakan pemeriksaan baku emas untuk mengkonfirmasi diagnosis.[1,2,4]
Anamnesis
Saat anamnesis perlu ditanyakan informasi mengenai faktor risiko seperti paparan epidemik, riwayat vaksinasi pertusis, riwayat kontak dengan penderita pertusis, serta anamnesis keluhan pasien. Gejala yang muncul bergantung pada usia pasien, riwayat vaksinasi pertusis, keparahan infeksi, dan fase perjalanan penyakitnya.[2,4]
Perbedaan Gejala Sesuai Kelompok Usia
Gejala klasik pertusis adalah whooping cough, namun gejala yang muncul dapat bervariasi dari usia bayi hingga dewasa. Pada bayi di bawah 6 bulan whoop tidak disertai batuk dan seringkali menyebabkan sianosis atau dispnea.
Pada bayi 6 bulan ke atas dan anak-anak, gejala yang muncul dapat bervariasi dari asimtomatik, penyakit saluran pernapasan ringan atau flu biasa selama keseluruhan perjalanan penyakit , hingga gejala batuk yang berat, progresif, dan menetap sampai beberapa minggu atau bulan.
Pada remaja dan dewasa, gejala yang muncul mirip dengan gejala pada bayi dan anak, namun biasanya lebih ringan dan tidak muncul whoop terutama pada remaja dan dewasa yang sudah divaksin. Sepertiga kasus pertusis pada remaja dan dewasa tidak mengalami gejala klasik, sehingga pertusis perlu dipertimbangkan dalam diagnosis jika ada keluhan batuk lebih dari 3 minggu.[2,5]
Gejala Berdasarkan Fase Penyakit
Gejala pertusis juga berbeda-beda di setiap fase perjalanan penyakitnya. Gejala umumnya muncul dalam 5-10 hari setelah paparan B. pertussis (masa inkubasi), namun pada beberapa kasus bisa sampai 3 minggu.[1,2,5]
Fase Kataral (Fase Awal):
Pada fase kataral, gejala yang dapat muncul antara lain demam ringan, malaise, lakrimasi, injeksi konjungtiva, kongesti nasal, rinorea, nyeri tenggorokan, bersin, dan batuk kering ringan namun progresif. Pada beberapa kasus juga terjadi coryza, faringitis, dan batuk nokturnal paroksismal. Gejala pada fase ini mirip dengan gejala infeksi saluran pernapasan pada umumnya sehingga diagnosis pertusis sering terlewatkan.[1,2]
Fase Paroksismal:
Pada fase paroksismal, demam mulai menurun dan mulai muncul whooping cough. Whooping cough berlangsung selama beberapa menit dan berkaitan dengan sianosis, proptosis mata, protrusi lidah, salivasi, produksi mukus oral yang kental, lakrimasi, dan pembesaran vena leher.
Whooping cough terjadi secara paroksismal, yaitu 5-10 kali serangan batuk per episode paroksismal, dengan frekuensi episode paroksismal meningkat selama 1-2 minggu pertama fase paroksismal. Kemudian, akan stabil di minggu ke 2-3, dan menurun secara bertahap.
Selama episode paroksismal, dapat terjadi sianosis, diaforesis, ataupun apnea. Setiap episode paroksismal dapat diikuti kelelahan, muka kemerahan, muntah setelah batuk (post-tussive emesis), pingsan, ataupun apnea. Sementara itu, di antara episode paroksismal, pasien nampak baik-baik saja atau tidak nampak sakit.[1,2,4]
Fase Konvalesen:
Pada fase konvalesen, frekuensi, durasi, dan keparahan batuk paroksismal menurun, digantikan oleh batuk non-paroksismal ringan (batuk residu) dan pulih dalam 2-3 minggu. Meski begitu, batuk non-paroksismal dapat berlanjut hingga ≥6 minggu. Batuk paroksismal dapat muncul atau kambuh kembali jika pasien terkena infeksi virus lain saat fase ini.[2,4]
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien tanpa komplikasi, pemeriksaan fisik tidak banyak membantu penegakan diagnosis. Demam biasanya tidak muncul. Auskultasi suara pernapasan dapat bervariasi dari vesikuler hingga ronki. Temuan ronki kering menandakan adanya komplikasi pneumonia. Tanda-tanda dehidrasi ataupun hipoksia perlu diawasi.
Pada pasien dengan gejala whooping cough dapat terjadi peningkatan tekanan intratorakal akibat batuk, yang menyebabkan epistaksis, perdarahan subkonjungtiva, dan munculnya peteki dari garis puting ke atas termasuk wajah dan leher.
Pada infant, tanda klinis yang muncul tidak khas atau atipikal, seperti takipnea, apnea, sianosis, bradikardia episodik, dan biasanya tidak terjadi demam.[1,7]
Diagnosis Banding
Presentasi klinis awal pertusis (fase kataral) mirip dengan tanda dan gejala awal infeksi saluran pernapasan akut lain akibat virus. Diagnosis banding yang juga perlu dipikirkan adalah tuberkulosis, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).[1,2,7]
Infeksi Pernapasan Akibat Virus
Gejala pertusis tahap awal bisa mirip dengan infeksi saluran pernapasan atas akibat virus. Faktor yang membedakan adalah batuk pada pertusis umumnya tidak disertai demam dan bersifat persisten hingga beberapa minggu hingga bulan. Selain itu, presentasi klinis yang muncul pada pertusis akan mengikuti 3 fase perjalanan klinis penyakitnya.[1,2,7]
Tuberkulosis
Di Indonesia, batuk kronis pada anak perlu dicurigai tuberkulosis. Untuk membedakan dengan pertusis, dapat dilakukan pemeriksaan basil tahan asam atau kultur dahak.[1,2,7]
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
Pada pasien lanjut usia dengan batuk tanpa demam dan dispnea, perlu dipertimbangkan adanya penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) eksaserbasi dengan menggali riwayat faktor risikonya seperti merokok dan paparan asap/debu. Auskultasi pada PPOK dapat ditemukan mengi, sedangkan pada pertusis tidak ada mengi.[1]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis pertusis antara lain isolasi B. pertussis pada pemeriksaan kultur (baku emas), PCR, pemeriksaan serologi, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan rontgen toraks. Pemeriksaan diagnostik harus dilakukan dalam rentang waktu optimal pemeriksaan. Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada waktu yang tidak tepat dapat menyebabkan hasil positif palsu ataupun negatif palsu.[2,6]
Pengambilan Sampel Nasofaring
Sampel nasofaring digunakan untuk pemeriksaan kultur dan PCR. Sampel diambil dengan metode aspirasi atau swab nasofaring posterior. Metode aspirasi nasofaring posterior lebih direkomendasikan karena dapat memberikan lebih banyak deoxyribonucleic acid (DNA) bakteri untuk dideteksi. Sampel sebaiknya segera diperiksa dalam 24 jam setelah pengambilan.
Jika dilakukan metode swab, ujung alat swab sebaiknya berbahan poliester (dacron), rayon, atau nylon-flocked. Bahan kapas atau calcium alginate sebaiknya tidak digunakan karena dapat meninggalkan residu yang mengganggu pemeriksaan.[2,6,7]
Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan kultur merupakan pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis pertusis. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas 100% dengan sensitivitas 20-40%. Kultur paling baik dilakukan dalam 2 minggu pertama onset batuk dan sebelum diberikan antibiotik. Periode ini merupakan saat dimana bakteri masih berada di nasofaring.
Sensitivitas kultur akan semakin menurun seiring perjalanan penyakit sehingga dapat memberikan hasil negatif palsu jika dilakukan >2 minggu setelah onset batuk, atau jika pasien telah diterapi antibiotik. Hasil negatif palsu juga dapat terjadi pada pasien yang telah divaksin pertusis.[2,4,5,10]
B. pertussisadalah bakteri Gram negatif yang bersifat fastidious atau membutuhkan nutrisi dan lingkungan yang khusus untuk tumbuh. Dibutuhkan media khusus untuk isolasinya, yaitu media agar Regan-Lowe atau media modifikasi Stainer-Scholte.
B. pertussis akan mulai tumbuh dalam 3-4 hari, namun hasil kultur baru dapat dibaca setelah 7 hari. Hasil pemeriksaan kultur dipengaruhi oleh pengumpulan sampel, transportasi sampel, dan teknik isolasi. Selama menunggu hasil kultur, diagnosis presumtif dapat ditegakkan dari presentasi klinis dan limfositosis pada pemeriksaan laboratorium.[1,2,6,10]
Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR adalah teknik molekular yang digunakan untuk mendeteksi sekuensi DNA dari B. pertussis. Tidak seperti kultur, PCR tidak membutuhkan bakteri hidup di dalam sampelnya.[2,4]
Pemeriksaan PCR merupakan pemeriksaan yang cepat dengan sensitivitas yang tinggi. Sensitivitas optimal PCR didapat jika dilakukan dalam 3 minggu pertama batuk, yaitu ketika DNA bakteri masih banyak terdapat di nasofaring. Sensitivitas PCR berkurang setelah 3 minggu, meski begitu PCR dapat mendeteksi DNA organisme hingga 4 minggu setelah onset batuk. Pemeriksaan yang dilakukan pada >4 minggu setelah onset batuk akan meningkatkan risiko hasil negatif palsu.[2,4]
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi imunoglobulin G (IgG) terhadap toksin pertusis dalam serum. Pemeriksaan ini termasuk pemeriksaan yang cepat dengan sensitivitas yang tinggi, serta tidak bergantung pada isolasi organisme patogen hidup.
Pemeriksaan serologi dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis pada fase akhir penyakit, pada situasi wabah, penelitian, maupun kepentingan surveilans. Waktu optimal pemeriksaan serologi adalah 2-8 minggu setelah onset batuk, yaitu periode dimana titer antibodi tertinggi. Namun pemeriksaan juga dapat dilakukan hingga 12 minggu setelah onset batuk.[2,4,5]
Pemeriksaan Darah
Leukositosis (15,000-50,000/µL) dengan limfositosis absolut terjadi selama fase kataral akhir hingga fase paroksismal. Temuan ini tidak spesifik namun berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit. Pada pasien dewasa, terutama yang telah divaksin, jarang ditemukan limfositosis.[1,7]
Pada infant usia ≤ 90 hari, pemeriksaan serial hitung leukosit penting untuk mengidentifikasi risiko dan menentukan prognosis. Leukosit >30,000/μL menandakan keparahan penyakit. Leukosit >100.000 berkaitan dengan fatalitas pertusis.[7]
Rontgen Toraks
Temuan rontgen toraks tidak spesifik dan tidak banyak membantu penegakkan diagnosis. Rontgen toraks dapat menunjukkan edema, penebalan peribronkial, atau infiltrat perihilar dengan derajat atelektasis yang bervariasi. Adanya konsolidasi menandakan infeksi bakteri sekunder atau pneumonia pertusis. Selain itu juga dapat ditemukan pneumothorax, pneumomediastinum, dan udara di jaringan lunak.[1,7]
Definisi Kasus
Kasus pertusis dapat didefinisikan berdasarkan kriteria klinis, kriteria laboratorium, dan kaitan epidemiologi untuk kemudian diklasifikasikan ke dalam kasus probable atau konfirmasi.[2]
Kriteria Klinis
Definisi kasus berdasarkan kriteria klinis yaitu tidak ada diagnosis lain yang mungkin, dengan gejala batuk ≥2 minggu ditambah minimal 1 dari tanda dan gejala berikut:
- Batuk paroksismal
Whoop inspirasi
- Muntah setelah batuk
- Apnea dengan atau tanpa sianosis[2]
Kriteria Laboratorium
Definisi kasus berdasarkan kriteria laboratorium yaitu:
- Isolasi pertussis pada pemeriksaan kultur
- PCR positif terhadap pertussis[2]
Kaitan Epidemiologi
Definisi kasus berdasarkan kaitan epidemiologi yaitu kontak dengan penderita yang terkonfirmasi pertusis secara laboratorium.[2]
Klasifikasi Kasus
Kasus pertusis dapat diklasifikasikan sebagai kasus probable atau kasus konfirmasi.[2]
Kasus Probable:
Kasus probable yaitu jika tidak ada diagnosis lain yang mungkin terkait gejala dan tanda yang memenuhi kriteria klinis ATAU batuk dengan durasi berapapun, disertai dengan minimal 1 dari tanda dan gejala pada kriteria klinis, DAN kontak dengan penderita yang terkonfirmasi pertusis secara laboratorium (terkait epidemiologi).[2]
Kasus Konfirmasi:
Kasus konfirmasi (confirmed) yaitu batuk akut dengan durasi berapapun disertai minimal 1 dari kriteria laboratorium.[2]
Penulisan pertama oleh: dr. Maria Rossyani