Penatalaksanaan Pertusis
Penatalaksanaan pertusis terdiri atas terapi antibiotik dan terapi suportif, yang bertujuan untuk menekan atau membatasi gejala paroksismal, memantau keparahan batuk dan memberikan penanganan yang tepat, serta memaksimalkan nutrisi, istirahat, dan pemulihan.[2,7]
Terapi Antibiotik
Terapi antibiotik bertujuan untuk mengurangi durasi dan keparahan penyakit serta mencegah transmisi lebih lanjut. Waktu yang paling optimal untuk pemberian antibiotik adalah pada fase kataral, yaitu 1-2 minggu pertama sebelum muncul batuk paroksismal. Antibiotik yang diberikan setelah 2 minggu atau sudah muncul batuk paroksismal, tidak banyak memberikan manfaat karena tidak mengubah progresi maupun transmisi penyakit.[2,5]
Terapi antibiotik diberikan segera tanpa menunggu konfirmasi diagnostik hasil laboratorium jika:
- Anamnesis kuat mengarah ke pertusis
- Pasien berisiko mengalami keparahan atau komplikasi penyakit, misalnya pada bayi
- Pasien kontak rutin dengan individu yang berisiko tinggi menjadi penyakit serius jika tertular, misalnya ibu hamil
Terapi antibiotik juga diutamakan pada pasien usia >1 tahun dalam 3 minggu onset batuk, bayi <1 tahun ,dan ibu hamil dalam 6 minggu onset batuk.[2]
Terdapat beberapa pilihan antibiotik yang direkomendasikan untuk terapi pertusis, yaitu azithromycin, clarithromycin, dan erythromycin. Alternatif terapi adalah cotrimoxazole. Pemilihan antibiotik perlu mempertimbangkan potensi efek samping dan interaksi obat, kemampuan toleransi pasien, kepatuhan pasien mengikuti regimen obat, serta biaya pengobatan.[2,5]
Azithromycin
Dosis azithromycin untuk neonatus, bayi, dan anak yaitu 10 mg/kg sekali sehari selama 3 hari. Untuk dewasa, diberikan 500 mg sekali sehari selama 3 hari.[5]
Clarithromycin
Dosis clarithromycin untuk neonatus <1 bulan yaitu 7,5 mg/kg diberikan 2 kali sehari selama 7 hari.
Untuk usia 1 bulan hingga 11 tahun, dosis diberikan berdasarkan berat badan:
- <8 kg diberikan dosis sama dengan dosis neonatus;
- 8-11 kg diberikan dosis 62,5 mg 2 kali sehari selama 7 hari
- 12-19 kg diberikan dosis 125 mg 2 kali sehari selama 7 hari
- 20-29 kg diberikan dosis 187,5 mg 2 kali sehari selama 7 hari
- 30-40 kg diberikan dosis 250 mg 2 kali sehari selama 7 hari
Untuk usia ≥12 tahun, termasuk dewasa, diberikan dosis 500 mg 2 kali sehari selama 7 hari.[5]
Erythromycin
Dosis erythromycin untuk usia 1-23 bulan yaitu 125 mg/6 jam selama 7 hari.
Untuk anak usia 2-7 tahun diberikan dosis 250 mg/6 jam selama 7 hari.
Untuk usia ≥8 tahun, termasuk dewasa, diberikan dosis 500 mg/6 jam selama 7 hari.[5]
Cotrimoxazole
Cotrimoxazole merupakan terapi lini kedua. Cotrimoxazole hanya diberikan jika dicurigai resistensi terhadap golongan makrolida lain atau ada kontraindikasi terhadap golongan makrolida.
Dosis cotrimoxazole untuk usia 6 minggu hingga 5 bulan yaitu 120 mg diberikan 2 kali sehari selama 7 hari.
Untuk usia 6 bulan hingga 5 tahun diberikan dosis 240 mg 2 kali sehari selama 7 hari.
Untuk usia 6-11 tahun diberikan dosis 480 mg 2 kali sehari selama 7 hari.
Untuk usia ≥12 tahun, termasuk dewasa, diberikan dosis 960 mg 2 kali sehari selama 7 hari.[5]
Bordetella parapertusis
Data terbatas menunjukkan B. parapertussis kurang peka terhadap antibiotik dibandingkan B. pertusis. Namun, beberapa studi menunjukkan bahwa erythromycin, azithromycin, clarithromycin, cotrimoxazole, dan ciprofloxacin efektif terhadap B. parapertussis.
Karena data mengenai efektivitas antibiotik terhadap B. parapertussis masih terbatas, penentuan terapi harus didasarkan pada penilaian klinis dengan perhatian pada populasi khusus, termasuk bayi, lansia, dan pasien imunokompromais.[2]
Terapi Suportif
Terapi suportif pada pertusis meliputi menjaga jalan napas dengan cara melakukan suction mukus, monitor pernapasan, dan oksigenasi jika diperlukan. Terapi suportif lain mencakup menghindari iritan saluran pernapasan, dan memberikan cairan intravena jika ada tanda-tanda dehidrasi atau tidak dapat makan peroral. Nutrisi parenteral mungkin diperlukan karena perjalanan penyakit dapat berlangsung hingga beberapa bulan.[1,2,7]
Rawat Inap
Rawat inap diindikasikan pada bayi <1 tahun, pasien dengan penyakit penyerta pneumonia, pasien dengan pertusis berat atau komplikasi, pasien yang tidak dapat makan-minum peroral, mual muntah berkelanjutan, hipoksia, atau terjadi komplikasi sistem saraf pusat. Perawatan intensif (intensive care unit / ICU) diperlukan pada pasien dengan pertusis berat dan pasien neonatus karena risiko terjadi komplikasi kardiopulmonal yang mengancam nyawa.
Bayi dengan pertusis berat yang mengalami hiperleukositosis, hipoksemia refraktori, dan hipertensi pulmonal yang tidak respon terhadap perawat intensif maksimal, dapat dilakukan transfusi tukar pada fase awal penyakit.[1,7]
Isolasi ketat dengan standar kewaspadaan terhadap droplet perlu dilakukan selama pasien bersifat infeksius, yaitu selama fase kataral hingga 3 minggu setelah onset fase paroksismal. Pada pasien yang telah diterapi antibiotik, isolasi tetap dilakukan hingga minimal 5 hari setelah terapi antibiotik dimulai.[1,2,3,4]
Pemantauan
Pasien rawat inap perlu dimonitor denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan saturasi oksigen, terutama jika berhubungan dengan batuk paroksismal. Episode batuk, asupan makanan, muntah, dan perubahan berat badan perlu dicatat. Awasi terjadinya apnea, sianosis, hipoksia, status nutrisi dan hidrasi pada neonatus dan bayi.[7]
Rawat Jalan
Sebagian besar tatalaksana pertusis pada pasien usia >1 tahun dapat dilakukan secara rawat jalan jika memang tidak ada indikasi rawat inap. Pasien rawat jalan perlu dievaluasi tergantung pada usia, keparahan penyakit, dan ada-tidaknya penyakit komorbid.[7]
Penulisan pertama oleh: dr. Maria Rossyani