Epidemiologi Trichuriasis
Secara epidemiologi, trichuriasis atau infeksi cacing cambuk banyak dialami oleh anak usia sekolah dan pra-sekolah. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis. Keadaan tanah dan lingkungan yang hangat dan lembab di daerah tropis dan subtropis sangat optimal untuk kematangan telur trichuriasis.
Endemisitas juga dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke dalam host (manusia). Semakin banyak telur yang ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu, sayur-sayuran, buah-buahan), semakin tinggi endemisitas di suatu daerah. Selain itu, trichuriasis juga berkaitan dengan praktik sanitasi dan kebersihan personal yang rendah sehingga banyak terjadi di daerah dengan status sosioekonomi rendah.[1-3,5]
Global
Infeksi soil-transmitted helminths (STH), termasuk trichuriasis, adalah salah satu masalah kesehatan global yang kurang mendapat perhatian (neglected tropical disease). Berdasarkan data WHO, terdapat 1,5 juta individu atau setara 24% populasi dunia yang terinfeksi STH. Populasi yang paling banyak terinfeksi adalah anak-anak, yaitu 267 juta anak pra-sekolah dan 568 juta anak sekolah.[6,7]
Kasus trichuriasis sendiri diperkirakan berkisar 604 juta hingga 795 juta di dunia, di mana 90% kasus terjadi pada anak, terutama anak laki-laki karena lebih cenderung aktif bermain di lingkungan luar rumah. Trichuriasis banyak terjadi di daerah tropis-subtropis seperti Asia Selatan, Afrika, Amerika Selatan, dan Amerika Serikat bagian selatan, terutama di negara-negara berkembang pada populasi kurang mampu dimana akses terhadap praktik sanitasi dan kebersihan masih terbatas.[1-3,11]
Sebuah tinjauan sistematik dilakukan di Asia Selatan untuk menilai profil risiko dan estimasi kasus infeksi STH. Hasil menunjukkan prevalensi prediksi berdasar populasi untuk trichuriasis sebesar 4,9%, dengan prevalensi tertinggi terdapat di Bangladesh yaitu 19,2%.[7]
Di Cina, salah satu negara dengan infeksi STH yang tinggi, dilakukan sebuah survey cross sectional nasional di 31 provinsi untuk menilai epidemiologi dan karakteristik infeksi STH. Hasil menunjukkan prevalensi infeksi STH yaitu 4,49%, dengan prevalensi trichuriasis sendiri ditemukan sebesar 1,02%.[8]
Di Sub-Sahara Afrika, yang juga termasuk daerah dengan infeksi STH yang tinggi, prevalensi infeksi STH pada anak usia 5-14 tahun sebesar 13%, dengan prevalensi trichuriasis sendiri ditemukan sebesar 2%. Sebuah studi di Mekanene, Kamerun, menunjukkan prevalensi infeksi STH pada anak sekolah pada tahun 2020 yaitu 4,8%, dimana prevalensi trichuriasis ditemukan sebesar 1,4%.[9,10]
Indonesia
Prevalensi infeksi STH di Indonesia masih tinggi, diperkirakan mencapai 45-65%, terutama pada daerah dengan status ekonomi rendah dan sanitasi yang buruk. Data tahun 2015 di Semarang menunjukkan prevalensi infeksi STH secara keseluruhan yaitu 33,8%, dimana prevalensi trichuriasis ditemukan sebesar 1,8%.[12-14]
Di Sumatera Utara, prevalensi infeksi STH pada anak usia sekolah dilaporkan mencapai 76,8% di Singkuang dan 87,2% di Sikapas (tahun 2019) dengan mayoritas infeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura. Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan rendahnya sanitasi di daerah tersebut.[13]
Di Bali, yang diketahui banyak terjadi kasus infeksi STH pada anak, dilaporkan prevalensi infeksi STH pada anak sekolah periode tahun 2004-2014 sebesar 30% dengan mayoritas infeksi Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides. Sebuah studi tahun 2020 menunjukkan prevalensi infeksi STH pada anak sekolah di Desa Tenganan Karangasem sebesar 56,5%, dimana prevalensi trichuriasis sendiri ditemukan sebesar 53,8%.[6]
Mortalitas
Mortalitas atau kematian akibat trichuriasis umumnya rendah, kecuali dalam kasus-kasus yang jarang terjadi dengan infestasi yang sangat parah. Namun, morbiditas atau dampak kesehatan yang merugikan dapat signifikan.
Infeksi cacing ini dapat menyebabkan gejala seperti diare, kelelahan, penurunan berat badan, dan anemia pada penderita. Pada infestasi yang berat, trichuriasis dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak-anak, gangguan nutrisi, dan bahkan dampak buruk pada fungsi kognitif.[1,2,15]