Epidemiologi Gangguan Skizoafektif
Data epidemiologi menunjukkan bahwa gangguan skizoafektif rentan terjadi di usia produktif dan lebih banyak terjadi pada wanita.[3]
Global
Penelitian menunjukkan bahwa 30% kasus gangguan skizoafektif mempunyai onset pada usia 25-35 tahun. Gangguan skizoafektif juga lebih sering terjadi pada perempuan. Diperkirakan bahwa 10-30% kasus psikosis yang dirawat inap adalah akibat gangguan ini. Ada pula penelitian lain yang menyebutkan angka 16-19% dari total kasus psikosis yang dirawat inap.[3,8]
Prevalensi global gangguan skizoafektif adalah 0,3%. Insidensi gangguan ini juga lebih tinggi pada perempuan dibandingkan laki-laki, terutama tipe depresif. Penelitian lain menyebutkan angka lifetime prevalence untuk gangguan skizoafektif adalah 0,5-0,8%.[1,8,11]
Indonesia
Belum ada penelitian yang secara spesifik meneliti epidemiologi gangguan skizoafektif di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi psikosis di Indonesia mencapai 1,8 per 1000 penduduk. Ini mencakup schizophrenia, gangguan skizoafektif, gangguan waham menetap, gangguan bipolar dengan ciri psikotik, dan depresi dengan ciri psikotik.[12]
Mortalitas
Risiko bunuh diri pada pasien dengan gangguan skizoafektif mencapai 5%. Adanya gejala depresi meningkatkan risiko bunuh diri. Gangguan skizoafektif juga berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas 2-2,5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.[1,3,5]