Diagnosis Retardasi Mental
Diagnosis retardasi mental atau intellectual disability ditegakkan berdasarkan skor intelligence quotient (IQ) dan keterampilan adaptif pasien. Penentuan derajat beratnya gangguan ditentukan berdasarkan kriteria dalam International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) X atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) 5.[1,6,7]
Anamnesis
Pasien dengan retardasi mental sering kali dibawa oleh orang tuanya ke dokter dengan keluhan utama keterlambatan dalam perkembangan, ketidakmampuan mengikuti pelajaran, kesulitan dalam berkomunikasi, perilaku tantrum, dan kesulitan mengendalikan emosi.[1,3]
Sebelum melakukan pemeriksaan kepada pasien, klinisi perlu mengeksplorasi secara lengkap mengenai riwayat kehamilan, kondisi ibu pada waktu hamil, proses kelahiran dan kondisi bayi segera setelah kelahiran, serta riwayat retardasi mental dan gangguan herediter dalam keluarga.[1]
Ketika melakukan wawancara kepada pasien, klinisi perlu memperhatikan tingkat perkembangan kognitif dan emosional pasien, serta kemampuan komunikasinya. Untuk pasien yang mengalami retardasi mental berat yang mengganggu kemampuan komunikasinya, orang tua bisa menjadi penerjemah.[1]
Pemeriksaan IQ sebaiknya dilakukan oleh psikolog. Klinis perlu melakukan penilaian kemampuan adaptasi, misalnya kemampuan berbahasa, bekerja, sosialisasi, dan rawat diri. Anamnesis juga dilakukan untuk mengungkapkan riwayat perkembangan pasien dan bagaimana koping pasien dalam berbagai fase perkembangan, kemampuan dalam mentoleransi frustasi, mengendalikan impuls, agresivitas, dan perilaku seksual.[1]
Pasien dengan gangguan ringan umumnya mampu menyadari kekurangannya bila dibandingkan dengan anak lain, sehingga mungkin akan menunjukkan perilaku malu atau cemas selama wawancara. Pada usia prasekolah, guru atau orang tua sering melaporkan kesulitan dalam berbahasa atau belajar.[1,3]
Pemeriksaan Fisik
Beberapa sindrom dengan retardasi mental menunjukkan fisik yang khas. Karakteristik wajah yang perlu diperhatikan adalah hipertelorisme, batang hidung yang datar, penampakan alis yang menonjol, lipatan epicanthus, dan ukuran kepala.[1]
Karakteristik lainnya mencakup opasitas kornea, perubahan retina, bentuk telinga letak rendah, jarak antara kedua mata, dan lidah yang panjang.[1]
Temuan abnormal pada pemeriksaan fisik bayi seperti mikrosefali atau makrosefali, gambaran dismorfik, anomali kongenital multipel, atau kesulitan dalam pemberian makan harus menjadi perhatian karena sering berhubungan dengan retardasi mental di kemudian hari. Keterlambatan dalam perkembangan motorik kasar juga sering ditemui.[3]
Gangguan sensorik juga sering ditemukan pada pasien dengan retardasi mental, seperti gangguan pendengaran dan penglihatan. Pada pasien dengan retardasi mental juga sering ditemukan gangguan motorik yang bermanifestasi sebagai tonus otot yang abnormal (spasitas atau hipotonia), gangguan refleks (hiperrefleksia), dan gerakan-gerakan involunter.[1]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang paling penting untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan IQ dan umumnya dilakukan oleh psikolog. Pemeriksaan IQ yang paling banyak digunakan adalah pemeriksaan Stanford Binet, yang membandingkan antara usia kognitif dan usia kronologis pasien. Misalnya, hasil pemeriksaan menunjukkan usia kognitif pasien adalah 5 tahun, sedangkan usia pasien saat pemeriksaan adalah 10 tahun. Bila dihitung, maka IQ pasien adalah 5/10 x 100 = 50.
Pemeriksaan electroencephalography (EEG) diindikasikan apabila ada riwayat kejang. Pemeriksaan neuroimaging, misalnya MS-CT scan atau MRI otak bisa digunakan untuk mendeteksi kelainan struktur otak pada pasien dengan retardasi mental.[1]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk retardasi mental adalah gangguan neurokognitif, misalnya dementia dengan onset awal. Diagnosis banding lainnya adalah gangguan komunikasi, gangguan belajar spesifik (disleksia, agrafia, acalculia, dan lain-lain), dan autism spectrum disorder.[4,6]
Kriteria Diagnostik Retardasi Mental Menurut ICD X dan PPDGJ III
Retardasi mental adalah kondisi di mana perkembangan pikiran terhenti atau tidak sempurna, yang biasanya ditandai dengan gangguan keterampilan yang bermanifestasi pada masa perkembangan. Gangguan ini berkontribusi pada tingkat intelegensi secara keseluruhan, seperti kemampuan kognitif, berbahasa, motorik, dan sosial.[7]
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan adanya penurunan tingkat intelegensi yang menyebabkan kehilangan kemampuan untuk beradaptasi dengan tuntutan kehidupan sehari-hari. Derajat beratnya retardasi mental ditentukan berdasarkan skor IQ, yaitu:
- Retardasi mental ringan: skor IQ 50–69
- Retardasi mental sedang: skor IQ 35–49
- Retardasi mental berat: skor IQ 20–34
- Retardasi mental sangat berat: skor IQ <20[7]
Kriteria Diagnostik Retardasi Mental Menurut DSM-5
Kriteria diagnosis untuk retardasi mental mengalami perubahan dibandingkan kriteria sebelumnya. Tingkat keparahan gangguan ditentukan berdasarkan fungsi adapatif dan bukan fungsi intelektual (skor IQ) semata.[1]
DSM-5 menggunakan istilah intellectual disability sebagai pengganti istilah retardasi mental. Intellectual disability adalah gangguan perkembangan intelektual dan adaptif dalam domain konseptual, sosial, dan praktis dengan onset pada periode perkembangan.[6]
Kriteria diagnosis retardasi mental adalah:
- Defisit dalam fungsi intelektual, termasuk reasoning, pemecahan masalah, perencanaan, pemikiran abstrak, penilaian, pembelajaran akademik, dan kemampuan belajar dari pengalaman. Hal ini harus dikonfirmasi dengan penilaian klinis dan pemeriksaan intelegensia secara standar dan individual
- Defisit dalam fungsi adaptif yang menyebabkan kegagalan dalam memenuhi standar perkembangan dan sosiokultural untuk kemandirian pribadi dan tanggung jawab sosial. Tanpa dukungan yang terus menerus, defisit fungsi adaptif akan membatasi kemampuan dalam satu atau lebih aktivitas sehari-hari, seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan hidup mandiri. Hal ini akan terjadi pada berbagai lingkungan, misalnya rumah, sekolah, lingkungan kerja, dan komunitas
- Onset defisit fungsi intelektual dan adaptif terjadi selama masa perkembangan[6]
Derajat keparahan retardasi mental dalam DSM-5 ditetapkan berdasarkan fungsi adaptif, dan bukan berdasarkan skor IQ. Hal ini dikarenakan fungsi adaptif menentukan tingkat kebutuhan akan dukungan dalam kehidupan sehari-hari bagi pasien. Terlebih lagi, pemeriksaan IQ kurang valid pada nilai ambang batas bawah.[6]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini