Epidemiologi Spermatokel
Studi epidemiologi spermatokel atau spermatocele menunjukkan bahwa spermatokel merupakan massa kistik yang paling sering ditemukan pada skrotum. Secara global spermatokel ditemukan sekitar 30% laki-laki dan lebih banyak pada usia tua, yaitu 65–74 tahun.
Global
Spermatokel ditemukan pada sekitar 30% laki-laki asimtomatik yang menjalani ultrasonografi skrotum. Sebuah penelitian di Swedia melaporkan insiden spermatokel simtomatik di rawat inap dan rawat jalan berbagai rumah sakit yaitu 38,5/100.000 pria per tahun.[6,8]
Insiden spermatokel terbanyak terdapat pada kelompok pasien berusia 65–74 tahun. Temuan ini menunjukkan bahwa usia lanjut merupakan faktor yang paling berpengaruh pada spermatokel. Peluruhan sel epitel tubulus seminiferus yang sudah tua dan berakumulasi sepanjang kehidupan, kemudian menyebabkan obstruksi duktus eferen diperkirakan sebagai mekanisme yang mendasari temuan insiden yang lebih tinggi pada pasien yang berusia lebih tua.[4,6]
Indonesia
Belum ada data epidemiologi mengenai spermatokel di Indonesia.
Mortalitas
Spermatokel tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan, namun dapat menimbulkan morbiditas dan penurunan kualitas hidup. Spermatokel yang berukuran cukup besar dapat menimbulkan berbagai keluhan seperti rasa tidak nyaman, nyeri atau keluhan infertilitas pria.[4,9,11,12]
Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada pasien dengan keluhan pembesaran skrotum, didapatkan bahwa 23,1% pasien mengalami rasa berat yang semakin parah setelah beraktivitas atau pada malam hari.
Walsh et al. melaporkan bahwa pada pasien yang akan menjalani spermatokelektomi terdapat 13% pasien yang memiliki keluhan nyeri skrotum saja, dan 58% pasien memiliki keluhan nyeri disertai pembesaran skrotum. Spermatokel unilateral ditemukan pada sekitar 4% pria dari pasangan yang menjalani teknologi reproduksi berbantu.[4,9,11,12]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli