Teknik Analisis Semen
Teknik standar analisis semen atau tes sperma adalah pengambilan sampel semen melalui masturbasi setelah pasien menjalani 2–7 hari abstinence. Jika masturbasi tidak memungkinkan, pengambilan sampel dapat dilakukan saat koitus menggunakan kondom khusus.[1-3,8]
Persiapan Pasien
Sebelum pengambilan sampel, pasien diinstruksikan untuk menjalani abstinence selama 2–7 hari. Jika membutuhkan lebih dari satu sampel, waktu abstinence sebelum pengambilan setiap sampel harus selalu sama. Pasien diinstruksikan untuk mengambil sampel dengan masturbasi/koitus di ruang tertutup yang tidak jauh dari laboratorium. Hal tersebut dilakukan untuk mempersingkat waktu antara pengambilan sampel dan pemeriksaan.[8]
Seluruh sampel dari permulaan hingga akhir ejakulasi harus ditampung. Pasien harus melaporkan jika ada bagian sampel yang tumpah/hilang atau bila ada kesulitan dalam pengambilan sampel. Sampel harus diterima laboratorium paling lambat 1 jam setelah pengambilannya.[8]
Jika tujuan analisis semen adalah untuk pemeriksaan mikrobiologis, ada beberapa langkah tambahan yang perlu dilakukan pasien untuk menghindari kontaminasi, yakni:
- Buang air kecil terlebih dahulu
- Cuci tangan dan penis menggunakan sabun untuk mengurangi risiko kontaminasi sampel oleh organisme komensal pada kulit
- Bilas hingga bersih
- Keringkan tangan dan penis menggunakan handuk sekali pakai
- Ejakulasikan sampel ke wadah steril[8]
Peralatan
Peralatan yang perlu dipersiapkan sebelum pengambilan sampel untuk analisis sperma adalah wadah kaca atau plastik bersih bermulut lebar, yang terbuat dari bahan yang nontoksik terhadap sperma. Wadah tidak harus steril, kecuali pada analisis semen yang ditujukan untuk pemeriksaan mikrobiologis. Kondom khusus yang tidak mengandung lubrikan spermisidal juga dibutuhkan jika pengambilan sampel dilakukan dengan cara koitus.[1,3,8]
Posisi Pasien
Pasien dapat melakukan pengambilan sampel dengan posisi senyaman mungkin bagi dirinya. Tidak ada posisi tertentu untuk melakukan pengambilan sampel semen.
Prosedural
Setelah pengambilan sampel, wadah harus disimpan di suhu 20–37℃ karena perubahan suhu yang terlalu drastis dapat memengaruhi spermatozoa. Wadah harus diberi label berisi nama dan nomor identifikasi pasien, serta hari dan jam pengambilan sampel. Wadah tersebut kemudian ditempatkan dalam inkubator bersuhu 37℃ sementara semen mengalami likuifaksi.[8]
Analisis semen sebaiknya dimulai segera setelah likuifaksi, yakni setelah 30 menit dan paling lambat 1 jam setelah ejakulasi. Hal ini bertujuan untuk mencegah pengaruh dehidrasi dan perubahan suhu pada kualitas semen. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan pada 2–3 sampel karena adanya variasi harian pada kualitas dan jumlah sperma.[1,8]
Tabel 1. Nilai Rujukan Analisis Semen Berdasarkan Kriteria WHO 2010
Parameter | Nilai Rujukan |
Volume (mL) | 1,5 |
Hitung sperma (1 juta/mL) | 15 |
Hitung sperma total (1 juta) | 39 |
Motilitas total (% motil) | 40 |
Motilitas progresif (%) | 32 |
Vitalitas (% hidup) | 58 |
Morfologi (% bentuk normal) | 4 |
Hitung leukosit (1 juta/mL) | <1,0 |
Sumber: Krisandryka, 2021.[9]
Likuifaksi
Sesaat setelah ejakulasi, semen berbentuk gumpalan massa semisolid. Lalu, setelah didiamkan di suhu ruangan selama berapa menit, semen mulai mengalami likuifaksi menjadi lebih encer. Awalnya, semen berubah menjadi campuran gumpalan heterogen, kemudian menjadi semakin heterogen dan semakin berair, hingga pada akhirnya hanya menyisakan sedikit bagian koagulasi.[8]
Umumnya, semen mengalami likuifaksi seluruhnya dalam waktu 15 menit. Namun, ada juga sampel yang membutuhkan waktu hingga 60 menit meskipun jarang. Analis harus mencatat jika likuifaksi belum terjadi seluruhnya dalam waktu 60 menit.[8]
Viskositas
Setelah mengalami likuifaksi, viskositas semen dinilai dengan aspirasi menggunakan pipet berdiameter 1,5 mm. Analis perlu mengamati semen yang keluar dari pipet. Semen normal akan menetes-netes kecil, sedangkan pada viskositas semen abnormal, tetesan akan berbentuk panjang seperti benang (>2 cm).[8]
Warna
Warna semen normal yang telah mengalami likuifaksi adalah kelabu buram homogen. Semen dapat terlihat lebih transparan jika konsentrasi sperma sangat rendah. Warna semen dapat tampak merah kecoklatan jika mengandung eritrosit (haemospermia) atau tampak kuning pada pasien dengan ikterus atau pasien dengan konsumsi obat-obatan tertentu.[8]
Volume
Pemeriksaan volume semen sangat penting dalam analisis semen, karena dibutuhkan untuk menghitung total sel sperma dan sel nonsperma dalam ejakulat. Batas bawah nilai referensi volume semen normal adalah 1,5 mL.[1,8]
Volume semen diukur dengan menimbang jumlah sampel dalam wadah yang sudah ditimbang sebelumnya, kemudian dihitung menggunakan rumus berat jenis, dengan asumsi berat jenis semen 1 gr/mL. Mengukur volume semen dengan cara memindahkannya ke gelas ukur tidak dianjurkan karena akan ada semen yang tertinggal di wadah sebelumnya dan membuat pengukuran tidak akurat.[8]
Volume semen di bawah nilai rujukan dapat dijumpai pada pasien dengan ejakulasi retrograd, pasien yang tidak memiliki vas deferens atau vesikula seminalis, kasus obstruksi duktus, kasus hipogonadotropisme, atau kasus respons simpatik yang buruk. Volume semen >5 mL jarang dijumpai dan umumnya disebabkan kontaminasi urine.[1]
pH
pH semen menggambarkan keseimbangan pH sekret kelenjar asesoris, terutama sekret vesikula seminalis yang bersifat basa dan sekret prostat yang bersifat asam. Setelah likuifaksi, teteskan semen pada kertas lakmus. pH semen sebaiknya diukur dalam 30 menit hingga 1 jam setelah ejakulasi.[8]
Kisaran pH normal semen adalah 7,2–8,2. Inflamasi prostat atau vesikula seminalis dapat mengakibatkan perubahan pH. pH semen akan meningkat seiring berjalannya waktu, sehingga nilai pH yang tinggi kurang bermanfaat secara klinis.[7,8]
Hitung Sperma atau Hitung Konsentrasi Sperma
Jumlah sperma dalam ejakulat dihitung dari konsentrasi spermatozoa. Pada ejakulat normal (waktu abstinence memadai dan tidak ada obstruksi saluran reproduksi), jumlah sperma dalam ejakulat dapat mengukur kemampuan testis memproduksi spermatozoa dan mengukur patensi saluran reproduksi.[8]
Namun, meskipun berhubungan dengan fertilisasi dan tingkat kehamilan, konsentrasi spermatozoa dalam semen dipengaruhi oleh volume sekret dari prostat dan vesikula seminalis, sehingga tidak dapat mengukur fungsi testis secara spesifik.[8]
Batas bawah hitung sperma adalah 15 juta/mL dan 39 juta per ejakulat. Literatur lain menyatakan bahwa nilai normal konsentrasi sperma adalah >20 juta/mL dan nilai yang kurang dari itu dinyatakan sebagai oligospermia. Sementara itu, azoospermia diartikan sebagai tidak adanya sperma dalam semen. Untuk mengonfirmasi azoospermia, sampel harus disentrifugasi dan dievaluasi ulang di bawah mikroskop.[1,7,8]
Motilitas
Motilitas sperma berkaitan dengan tingkat kehamilan. Motilitas sperma sebaiknya dinilai sesegera mungkin setelah likuifaksi, yakni paling lambat dalam 1 jam setelah ejakulasi. Tahap pemeriksaan motilitas sperma adalah sebagai berikut:
- Aduk semen hingga merata
- Ambil sejumlah sampel semen segera setelah pengadukan, sehingga sperma belum tersuspensi
- Aduk kembali semen, kemudian ambil kembali sampel semen sebanyak volume yang sama dengan sebelumnya
- Buat preparat basah sedalam 20 mikrometer untuk masing-masing sampel
- Tunggu hingga drifting sampel berhenti (sekitar 60 menit)
- Amati preparat dengan pembesaran 200 kali atau 400 kali
- Amati kurang lebih 200 spermatozoa per sampel untuk menilai persentase dan kategori motilitas
- Bandingkan hasil kedua sampel. Jika tidak berbeda jauh (<10%), lanjutkan penghitungan. Jika hasilnya berbeda jauh, ambil sampel baru[2,8]
Motilitas setiap sel sperma dikategorikan sebagai progressive motility (PR) bila ada gerakan aktif (linear atau membentuk lingkaran besar) dan dikategorikan sebagai non-progressive motility (NP) bila ada segala bentuk gerakan tanpa progresivitas. Contoh gerakan tanpa progresivitas adalah gerakan berputar-putar dalam lingkaran kecil, gerakan flagela yang tidak mengubah posisi kepala, atau hanya tampak gerakan flagela saja.
Bila sama sekali tidak ada gerakan, sperma dikategorikan sebagai imotilitas (IM). Batas bawah nilai referensi PR adalah 32%, sedangkan batas bawah motilitas total (PR+NP) adalah 40%.[8]
Vitalitas
Vitalitas sperma diperkirakan berdasarkan integritas membran sel. Parameter ini terutama penting pada sampel dengan PR <40%. Pada sampel dengan motilitas baik, pemeriksaan vitalitas mungkin tidak diperlukan. Presentasi sel vital dinilai dengan identifikasi membran sel yang utuh setelah dye exclusion atau hypotonic swelling. Batas bawah nilai referensi vitalitas sperma adalah 58%.[2,8]
Prinsip metode dye exclusion adalah sel-sel mati memiliki membran plasma yang rusak, sehingga warna dapat masuk ke dalam sel. Prinsip metode hypotonic swelling adalah hanya sel-sel hidup (membran plasma utuh) yang membengkak dalam larutan hipotonik. Vitalitas sperma sebaiknya dinilai sesegera mungkin setelah likuifaksi, yakni paling lambat dalam 1 jam setelah ejakulasi.[2,8]
Morfologi
Pemeriksaan morfologi sperma menganalisis kepala, akrosom, midpiece, dan ekor masing-masing sperma dengan mikroskop setelah fiksasi dengan pewarnaan Papanicolaou. Jumlah sperma yang dianalisis minimal 200. Pada kondisi fisiologis, morfologi normal didapatkan pada >60% sperma dan morfologi imatur <2–3%.[1]
Sperma normal memiliki kepala oval berukuran 3–5 x 2–3 mikron. Bentuk kepala abnormal meliputi bentuk tapered, kepala ganda, kecil, besar, amorf, atau piriformis. Akrosom normal berukuran 40–70% dari besar kepala. Midpiece normal berbentuk ramping dan memiliki panjang kurang lebih sama dengan kepala.[1,8]
Hitung Sel Nonsperma
Sel-sel selain sperma, seperti sel nutfah imatur, epitel, ciliary tuft, dan leukosit dapat ditemukan dalam semen. Gambaran sel nutfah imatur dan leukosit sama-sama berupa round cell, sehingga digunakan pewarnaan peroksidase untuk membedakannya. Neutrofil, leukosit polimorfonuklear (PMN), dan makrofag bersifat peroksidase-positif, sedangkan limfosit, PMN degranulasi, dan sel nutfah imatur bersifat negatif.[1,7,8]
Peningkatan leukosit pada semen dapat dijumpai pada proses infeksi atau inflamasi saluran reproduksi, sedangkan peningkatan sel nutfah imatur dapat menandakan kerusakan testis. Jika ada >5–10 round cell per lapangan pandang besar, lakukan pewarnaan peroksidase untuk membedakan jenis sel.[1,7,8]
Follow Up
Jika analisis semen menunjukkan hasil abnormal, beberapa pemeriksaan lanjutan mungkin diperlukan untuk membantu menentukan sebab kelainan.
Urinalisis
Pasien dengan azoospermia disarankan untuk menjalani urinalisis dengan sampel urine pascaejakulasi.[1]
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan pada pasien azoospermia untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi duktus ejakulatorius. Vasografi merupakan standar baku emas untuk mendiagnosis obstruksi tetapi berisiko menimbulkan scarring dan obstruksi sekunder vas deferens. USG transrektal lebih disukai sebagai pemeriksaan awal karena lebih noninvasif dan praktis.[1,10]
Pemeriksaan Fungsi Sperma
Jika hasil analisis semen abnormal, pemeriksaan fungsi sperma mungkin diperlukan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendiagnosis disfungsi sperma secara spesifik, memprediksi kemungkinan fertilisasi, dan memberi petunjuk tata laksana yang tepat.[7]
Beberapa pemeriksaan fungsi sperma adalah sperm penetration assay, sperm-zona pellucida binding test, reaksi akrosom, dan hyaluronan binding assay.[7,11,12]
Tes Antibodi Antisperma
Sperma memiliki antigen unik yang tidak dikenali oleh sistem imun tubuh karena adanya sawar darah testis. Antibodi antisperma dapat terbentuk ketika ada kerusakan sawar darah akibat infeksi, vasektomi, torsio testis, cryptorchidism, atau trauma.
Antibodi yang terikat pada sperma mengurangi kemampuan sperma untuk melakukan penetrasi dan terikat pada zona pellucida. Tes antibodi antisperma dapat disarankan ketika analisis semen menunjukkan aglutinasi sperma atau penurunan motilitas yang tidak diketahui sebabnya.[1,7]
Pemeriksaan Hormon
Pasien dengan azoospermia sebaiknya menjalani evaluasi hormonal. Sekitar 3% kasus infertilitas pria disebabkan oleh masalah hormon. Hormon yang umumnya diperiksa adalah follicle-stimulating hormone (FSH), luteinizing hormone (LH), testosteron, dan prolaktin.[1]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini