Komplikasi Ekstraksi Gigi
Komplikasi tindakan ekstraksi gigi yang paling sering adalah nyeri dan perdarahan. Komplikasi dapat terjadi sekalipun telah dilakukan upaya pencegahan sebelum tindakan dilakukan. Komplikasi ekstraksi gigi bisa menjadi masalah yang serius dan fatal jika telat ditanggulangi atau tidak tertangani dengan baik. Untuk meminimalisir risiko komplikasi, maka diperlukan anamnesis detail pasien, melakukan prosedur ekstraksi sesuai standard, serta melakukan konsultasi atau pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Komplikasi dapat terjadi saat tindakan ekstraksi gigi berlangsung, intraoperatif, maupun setelah tindakan.
Perdarahan
Perdarahan merupakan komplikasi paling umum terjadi pada ekstraksi gigi. Perdarahan dapat terjadi akibat trauma pada pembuluh darah, laserasi, jaringan granulasi yang rapuh, lepasnya bekuan darah, infeksi, aktivitas fisik yang terlalu berat, serta kondisi sistemik seperti koagulopati, terapi antikoagulan, kelainan darah, ataupun disfungsi hati.
Perdarahan dapat ditangani dengan menekan area soket ekstraksi dengan menggigit kassa selama 10 hingga 30 menit, penjahitan luka bekas ekstraksi, ligasi dengan menggunakan hemostat, elektrokoagulasi, serta pemberian bahan hemostatik seperti adrenalin dan spons gelatin.[8,9]
Fraktur Mahkota atau Luksasi Gigi yang Berdekatan
Luksasi atau dislokasi gigi yang berdekatan dapat terjadi jika tekanan yang diberikan saat gerakan luksasi terlalu besar, terutama jika gigi bersebelahan digunakan sebagai tumpuan. Jika gigi yang berdekatan mengalami luksasi atau avulsi sebagian, maka gigi tersebut harus distabilisasi kembali selama 40-60 hari. Jika nyeri masih terasa saat gigi diperkusi, maka gigi perlu mendapat terapi endodontik. Jika gigi mengalami dislokasi, maka perlu direposisi dan distabilisasi selama 3 hingga 4 minggu.[9]
Cedera Jaringan Lunak
Cedera jaringan lunak sering terjadi akibat terkena instrumen tanpa sengaja saat tindakan. Daerah yang rentan terluka adalah pipi, dasar mulut, langit-langit mulut, dan area retromolar. Cedera akibat elevator juga dapat terjadi pada sudut mulut dan bibir karena tekanan retraksi yang terlalu lama dan berlebihan saat ekstraksi gigi posterior maksila dan mandibula. Handpiece yang terlalu panas dapat menyebabkan luka bakar jika tidak sengaja berkontak dengan bibir. Penggunaan bor juga perlu hati-hati karena dapat menyebabkan luka abrasi pada jaringan lunak.
Jika cedera yang terjadi berukuran kecil dan tidak menimbulkan ketidaknyamanan pada pasien, maka tidak diperlukan perawatan khusus. Namun, jika cedera yang terjadi parah dan disertai perdarahan, maka dokter perlu melakukan kontrol perdarahan dan menjahit luka.[9]
Fraktur Prosesus Alveolar
Fraktur prosesus alveolar paling sering terjadi saat ekstraksi gigi kaninus, terutama jika kondisi tulang sudah lemah akibat cedera atau karena ekstraksi gigi insisivus lateral atau premolar pertama sebelumnya. Fraktur lempeng kortikal lingual dapat menyebabkan saraf lingual mengalami trauma.
Jika patahan prosesus alveolar kecil dan sudah terlepas dari periosteum, maka bagian tersebut diambil dengan forsep dan tepi tulang yang tajam dihaluskan. Setelahnya, perlu dilakukan irigasi dengan cairan salin dan luka dijahit. Namun, jika patahan prosesus alveolar masih melekat dengan jaringan lunak, maka tetap dibiarkan, direposisi, dan distabilisasi, lalu dilakukan penjahitan pada bagian mukoperiosteum.[9]
Fraktur Tuberositas Maksila
Fraktur tuberositas maksila merupakan komplikasi yang umum terjadi saat ekstraksi gigi molar maksila, terutama gigi molar ketiga. Tergantung pada luas permukaan, fraktur dapat menyebabkan masalah untuk retensi gigi tiruan di kemudian hari.
Jika patahan fraktur masih melekat pada periosteum, maka lakukan reposisi dan mukoperiosteum dijahit. Tindakan ekstraksi ditunda hingga 1,5-2 bulan setelah fraktur sembuh. Namun, jika segmen tulang sudah lepas dari jaringan dan terjadi komunikasi oroantral, maka gigi tetap dicabut dan tulang dihaluskan, lalu luka dijahit.[4,9]
Fraktur Mandibula
Fraktur mandibula jarang terjadi, biasanya berkaitan dengan ekstraksi gigi impaksi molar ketiga. Fraktur dapat terjadi karena tekanan elevator yang berlebihan, ketika jalur pengeluaran gigi tidak memadai; posisi gigi impaksi yang terlalu dalam; gigi ankilosis; mandibula yang atrofi; terdapat lesi patologis yang besar pada area gigi yang akan dicabut; atau regio edentulosa yang luas.
Jika fraktur terjadi, maka gigi harus dicabut terlebih dahulu untuk menghindari infeksi pada garis fraktur. Setelah itu, tergantung pada tingkat keparahan fraktur yang terjadi, stabilisasi dengan fiksasi intermaksila atau fiksasi rigid internal pada segmen rahang selama 4 hingga 6 minggu disertai pemberiaan antibiotik mungkin diperlukan.[4,9]
Instrumen Patah di Dalam Jaringan
Jika tekanan yang diberikan saat gerakan luksasi gigi terlalu berlebihan, ujung blade elevator berisiko patah di dalam jaringan. Selain itu, ujung jarum anestesi atau bor juga dapat patah saat proses pengambilan tulang di sekitar gigi impaksi atau tulang. Bor menjadi rentan rusak dan patah karena penggunaan yang berulang atau terlalu lama.
Jika komplikasi ini terjadi, maka perlu dilakukan pemeriksaan radiografi untuk mengidentifikasi patahan instrumen. Pengambilan patahan instrumen biasanya dilakukan dengan pembedahan.[9]
Dislokasi Sendi Temporomandibula
Pada dislokasi unilateral, mandibula deviasi ke arah sisi yang sehat. Sementara itu, pada dislokasi bilateral, mandibula bergerak ke arah depan dalam posisi prognati. Pasien tidak dapat menutup mulut dan pergerakan terbatas. Komplikasi ini terjadi karena mandibula tidak ditopang dengan baik selama tindakan. Jika terjadi dislokasi sendi temporomandibula, perlu dilakukan reposisi mandibula.[8,9]
Emfisema Subkutis atau Submukosa
Emfisema subkutis disebabkan oleh masuknya udara ke dalam jaringan ikat longgar saat penggunaan air-rotor dalam prosedur pengambilan tulang atau pemotongan gigi impaksi. Gambaran klinis kondisi ini berupa pembengkakan pada area sekitar yang terkadang memanjang ke area leher dan wajah, dengan ciri khas krepitasi saat palpasi.
Tidak ada penanganan khusus untuk kondisi ini. Biasanya keluhan dapat mereda secara spontan setelah 2-4 hari. Jika ukurannya sangat besar, maka parasentesis dapat membantu menghilangkan udara.[8,9]
Komunikasi Oroantral
Komunikasi oroantral merupakan komplikasi yang umum terjadi saat tindakan ekstraksi gigi atau sisa akar gigi posterior maksila. Komunikasi oroantral dapat dikonfirmasi dengan observasi aliran udara atau gelembung darah dari soket gigi ketika pasien diinstruksikan untuk menghembuskan nafas pelan melalui hidung sambil menjepit lubang hidungnya (Tes Valsalva). Komunikasi oroantral dapat disebabkan oleh beberapa kondisi:
- Pindahnya gigi impaksi atau ujung akar ke dalam sinus maksilaris saat tindakan ekstraksi gigi
- Jarak ujung akar gigi dan dasar sinus maksilaris yang terlalu dekat
- Lesi periapikal yang menyebabkan terkikisnya dinding tulang dasar sinus maksilaris
- Fraktur tuberositas maksila dimana bagian sinus maksilaris juga ikut terangkat saat tindakan ekstraksi gigi
- Pengambilan tulang yang terlalu banyak saat ekstraksi gigi impaksi atau akar[4,9]
Cedera Saraf
Saraf yang sering mengalami cedera antara lain saraf inferior alveolar, saraf mental, dan saraf lingual. Cedera saraf dapat menyebabkan gangguan sensori seperti anestesia, parestesia, dan disestesia pada area persarafan.
Cedera saraf dapat terjadi saat:
- Administrasi anestesi blok pada saraf inferior alveolar dan saraf mental
- Insisi yang memanjang hingga foramen mental dan lipatan vestibula lingual
- insisi ridge alveolar pada pasien edentulous dimana foramen mental berada lebih superfisial dari anatomi biasanya karena resorpsi tulang
- Retraksi flap dan kompresi yang berlebihan pada regio saraf mental atau regio lingual
- Bor yang digunakan tidak teririgasi dengan baik sehingga menyebabkan tulang di dekat saraf menjadi panas
- Posisi gigi atau akar gigi terlalu dalam di tulang dan dekat dengan saraf mental atau inferior alveolar
- Bor bedah tidak sengaja masuk ke kanal mandibula
- Fraktur plate kortikal lingual
- Bergeraknya gigi ke dalam kanal mandibula[9]
Trismus
Trismus merupakan kondisi pembukaan mulut yang terbatas akibat spasme otot mastikasi. Hal ini dapat terjadi akibat cedera otot media pterygoid karena penyuntikan berulang, trauma, dan waktu tindakan ekstraksi yang lama. Inflamasi luka post ekstraksi, hematoma, dan edema post tindakan juga bisa menyebabkan trismus.[8,9]
Hematoma
Hematoma terjadi akibat hemostasis yang tidak adekuat atau kurangnya drainase. Penjahitan luka yang terlalu rapat juga dapat menyebabkan kondisi hematoma. Hematoma dapat terjadi pada area submukosa, subperiosteal, intramuscular, atau fascial. Pada pasien dengan kelainan darah, hematoma yang terbentuk pada area palatofaringeal merupakan kondisi yang paling berbahaya di antara semuanya.[8,9]
Edema
Edema terjadi akibat ekstravasasi cairan dari jaringan yang trauma akibat kerusakan atau obstruksi pembuluh getah bening sehingga menyebabkan penghentian drainase getah bening yang terakumulasi pada jaringan. Pembengkakan mencapai maksimum dalam waktu 48 hingga 72 jam setelah tindakan ekstraksi dan mulai mereda pada hari ketiga atau keempat setelah tindakan.
Jika edema berukuran kecil, maka tidak perlu penanganan khusus. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan yaitu kompres dingin setelah tindakan 10-15 menit setiap setengah jam kemudian 4 hingga 6 jam berikutnya. Jika kondisi edema yang terjadi parah dan tidak mereda, maka diperlukan pemberian obat proteolitik atau fibrinolitik.
Edema yang terjadi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan fibrosis dan pembentukan simfisis. Jika edema disebabkan karena peradangan, maka pasien perlu diresepkan antibiotik spektrum luas. Jika edema menyebar hingga daerah faringomaksila, pemberiaan hydrocortisone 250-500 mg intravena perlu dilakukan.[9]
Terbentuknya Granuloma Post Tindakan Ekstraksi
Granuloma disebabkan oleh adanya benda asing pada soket, seperti sisa amalgam, tulang, fragmen gigi, atau kalkulus. Komplikasi ini dapat terjadi 4-5 hari setelah tindakan ekstraksi. Benda asing dapat menyebabkan iritasi pada soket dan menyebabkan supurasi pada luka sehingga menghambat proses penyembuhan. Penanganan granuloma adalah dengan debridemen soket dan eliminasi agen penyebab.[9]
Nyeri
Rasa nyeri merupakan komplikasi yang umum terjadi. Rasa nyeri dapat disebabkan karena luka bekas ekstraksi, luka pada jaringan lunak, terdapat tepi tulang yang tajam dan terekspos, ataupun soket yang terinfeksi. Penanganan nyeri adalah dengan eliminasi faktor penyebab dan pemberian analgesik untuk meredakan rasa nyeri.[8,9]
Dry Socket (Fibrinolytic Alveolitis)
Komplikasi ini muncul 2-3 hari post ekstraksi gigi. Dry socket terjadi karena hancur dan lepasnya bekuan darah sehingga tertundanya proses penyembuhan dan menyebabkan nekrosis permukaan tulang soket. Hal ini dapat disebabkan karena infeksi saat atau setelah ekstraksi, ataupun cedera pada alveolus. Keluhan pasien berupa nafas bau, nyeri hebat, dan rasa tidak enak di mulut. Soket tampak dilapisi lapisan kuning keabu-abuan berisi debris dan jaringan nekrosis serta tulang yang terekspos.
Penanganan dry socket adalah dengan irigasi cairan salin pada soket, lalu aplikasikan dressing pada soket yang diganti setiap 24 jam sekali hingga rasa nyeri mereda. Pasien diinstruksikan untuk tetap menjaga kebersihan rongga mulut dan berkumur chlorhexidine.[8,9]
Infeksi Luka
Infeksi luka merupakan komplikasi yang dapat terjadi dan menyebar tidak hanya di bagian superfisial bekas operasi namun hingga ke jaringan dalam. Infeksi dapat disebabkan karena penggunaan instrumen dan material disposable yang tidak steril atau sudah terkontaminasi, terdapat substrat septik di area tindakan, defek tulang yang rusak akibat osteopetrosis, terapi radiasi, dan penyakit sistemik yang menyebabkan pasien rentan terhadap infeksi.[8,9]