Pendahuluan Inseminasi Buatan
Inseminasi buatan sering disebut juga sebagai inseminasi artifisial (artificial insemination) atau assisted insemination. Metode inseminasi buatan yang sering digunakan adalah intrauterine insemination (IUI), yaitu memasukkan sperma ke dalam uterus bagian atas melalui kateter tipis untuk memfasilitasi pembuahan.[1,2]
Terdapat teknik inseminasi alternatif, seperti memasukkan sperma intraservikal (intracervical insemination / ICI), intratubal, bahkan Fallopian tube sperm perfusion. Teknik-teknik tersebut diperkirakan tidak memberikan manfaat tambahan daripada IUI. Namun, metaanalisis Cochrane pada tahun 2018 menyimpulkan bahwa bukti saat ini terlalu terbatas untuk memilih antara IUI atau ICI.[1,3]
Inseminasi buatan adalah salah satu prosedur tata laksana infertilitas, dengan cara melakukan manipulasi proses fertilisasi atau pembuahan. Oleh karena IUI dilakukan di dalam uterus, maka metode IUI disebut sebagai in vivo fertilization. Berbeda dengan prosedur bayi tabung yang mempertemukan sperma dan ovum di luar uterus, dan in vitro fertilization (IVF).[2]
Tujuan IUI adalah untuk meningkatkan jumlah sperma yang dapat mencapai tuba fallopi, sehingga meningkatkan probabilitas fertilisasi. Mengingat prosedurnya yang lebih tidak invasif dan tidak semahal bayi tabung (IVF), maka IUI seringkali menjadi pilihan awal oleh pasangan infertilitas yang hendak memiliki anak.[1,2,4]
Tingkat kehamilan klinis per siklus dari inseminasi buatan sekitar 10‒20%. Prosedur ini dianjurkan untuk infertilitas wanita dengan saluran reproduksi yang berfungsi normal, tetapi memiliki gangguan pada serviks atau anovulasi. Sedangkan pada infertilitas pria, IUI dianjurkan pada kondisi yang tidak dapat dijelaskan, gangguan faktor imunologi, gangguan ejakulasi, dan disfungsi ereksi.[1]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini