Pendahuluan Resusitasi Cairan
Resusitasi cairan merupakan tata laksana yang paling sering dilakukan pada manajemen kasus akut. Secara umum, resusitasi cairan diindikasikan pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik yang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti sepsis, trauma, maupun gangguan kardiovaskuler. Tindakan resusitasi cairan ini dilakukan sebagai tindakan life-saving sebelum klinisi mencari sebab dari ketidakstabilan hemodinamik. Pemberian cairan secara agresif pada keadaan yang tidak sesuai indikasi resusitasi cairan dapat menyebabkan komplikasi seperti edema paru akut yang justru memperburuk keadaan pasien.[1,2,3]
Resusitasi cairan dapat dilakukan dengan berbagai jenis cairan. Secara umum, cairan terbagi menjadi dua, yaitu kristaloid dan koloid. Pemilihan dan penggunaan cairan dalam resusitasi harus tepat, agar target terapi tercapai dan komplikasi dapat dihindari. Resusitasi cairan diikuti dengan pemantauan pasien secara berkala, seperti tanda vital dan urine output, untuk menilai fluid responsiveness secara objektif kepada pasien. Bila pasien tidak berespons terhadap resusitasi cairan, klinisi harus menentukan alur tata laksana selanjutnya dalam menangani ketidakstabilan hemodinamik.[1,4]
Pemilihan cairan resusitasi yang ideal adalah cairan yang dapat membawa atau mentransport oksigen ke jaringan,bertahan di ruangan intravaskular beberapa jam, memiliki komposisi yang serupa dengan cairan ekstraseluler, isi dari cairan mudah di metabolisme dan diekskresikan, steril, tidak toksik, dan biaya yang terjangkau. Namun, cairan resusitasi yang ideal tersebut tidak ada. Sehingga pemilihan cairan resusitasi tergantung dari keadaan dan kondisi pasien.[5]