Pengawasan Klinis Cefotaxime
Pengawasan klinis pada penggunaan cefotaxime diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan hepar, pasien dengan gejala kolitis, serta pada penggunaan cefotaxime lebih dari 10 hari. Pengawasan juga diperlukan bagi pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap penisilin.
Gangguan Fungsi Ginjal dan Hepar
Pemberian cefotaxime dapat menyebabkan peningkatan transien enzim hepar, seperti SGOT, SGPT, LDH serum, dan alkaline fosfatase serum. Urea dan kreatinin juga pernah dilaporkan meningkat akibat pemberian cefotaxime.
Gagal ginjal stadium lanjut dapat menyebabkan pemanjangan waktu paruh cefotaxime dan metabolitnya, desacetylcefotaxime. Hal ini meningkatkan risiko terjadinya toksisitas akibat cefotaxime. Lakukan penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal.[2,11]
Kolitis Pseudomembranosa
Pada pasien yang mengalami diare persisten setelah pemberian cefotaxime, patut dicurigai mengalami infeksi Clostridium difficile. Bentuk paling berat dari gangguan gastrointestinal akibat C. difficile adalah kolitis pseudomembranosa. Jika pasien dicurigai mengalami kolitis pseudomembranosa, terapi cefotaxime harus dihentikan. Diagnosis kolitis pseudomembranosa dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi atau histologi.[2,11]
Abnormalitas Darah
Penggunaan cefotaxime berpotensi menyebabkan abnormalitas darah, berupa leukopenia, neutropenia, trombositopenia, granulositopenia, bahkan kegagalan sumsum tulang. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap pada pasien yang menerima cefotaxime lebih dari 10 hari. Jika didapatkan hasil darah abnormal, pengobatan cefotaxime perlu dihentikan.[2,4]
Reaksi Hipersensitivitas
Pasien yang memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap penicillin berpotensi mengalami hipersensitivitas juga terhadap cefotaxime, karena adanya reaksi silang. Pada pasien seperti ini, pemberian cefotaxime harus di bawah pengawasan ketat tenaga medis. Reaksi hipersensitivitas, misalnya anafilaksis, dapat berakibat fatal. Pemberian cefotaxime sebaiknya dihentikan jika muncul urtikaria, ruam kulit, sakit kepala, nausea, atau jika pasien tampak gelisah.[2]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra