Efek Samping dan Interaksi Obat Chloramphenicol
Efek samping terkait penggunaan chloramphenicol atau kloramfenikol sediaan sistemik dapat berupa kelainan hematologi, grey baby syndrome, dan kelainan neurologis. Sediaan topikal chloramphenicol dapat menyebabkan gatal dan eritema. Interaksi obat dapat terjadi antara chloramphenicol dengan obat antikonvulsi, yang bisa mengakibatkan intoksikasi pada pasien epilepsi.[1,7]
Efek Samping
Chloramphenicol dapat menyebabkan efek samping hematologi, seperti supresi sumsum tulang dan anemia aplastik, grey baby syndrome, serta kelainan neurologis.
Efek Samping Hematologi
Penggunaan chloramphenicol dapat menyebabkan kelainan hematologi atau dikenal dengan istilah diskrasia darah. Terdapat 2 jenis kelainan hematologi yang dapat timbul, yaitu dose dependent myelosuppression dan reaksi idiosinkratik berat.
Reaksi idiosinkratik bersifat tidak terduga, irreversible dan tidak berhubungan dengan besarnya dosis chloramphenicol. Gambaran hematologi pada reaksi idiosinkratik, antara lain anemia aplastik, trombositopenia, dan granulositopenia. Bahkan, terdapat laporan terjadinya leukopenia yang muncul setelah anemia aplastik akibat penggunaan chloramphenicol. Reaksi idiosinkratik dapat berakibat fatal.
Depresi sumsum tulang yang reversibel, yang bersifat dose-dependent juga dapat terjadi. Pada pasien dapat ditemukan anemia ringan, trombositopenia, dan neutropenia. Peningkatan serum ferritin dan total iron binding capacity juga dapat ditemukan.
Biasanya, dose dependent myelosuppression terjadi pada penggunaan chloramphenicol di atas 4 gram/hari, dan pada pasien dengan konsentrasi plasma chloramphenicol di atas 25 mcg/mL. Kelainan yang terjadi akan membaik begitu terapi chloramphenicol dihentikan.[1,7,15]
Grey Baby Syndrome
Grey baby syndrome merupakan efek samping chloramphenicol yang dapat ditemukan pada bayi, terutama bayi prematur. Sebagian besar kasus ditemukan pada pemberian chloramphenicol dalam 48 jam pertama kehidupan. Selain itu, kondisi ini juga dapat terjadi pada bayi yang menyusu dari ibu yang mengonsumsi chloramphenicol. Sindrom serupa dilaporkan pernah terjadi pada anak-anak lebih dewasa dan orang dewasa akibat overdosis chloramphenicol.
Grey baby syndrome diduga terjadi karena kurangnya kemampuan bayi dalam mengkonjugasi chloramphenicol. Gejala grey baby syndrome, antara lain bayi menolak menyusu, tampak gelisah, distensi abdomen, muntah, dan kulit berwarna keabu-abuan, Perburukan mendadak dapat terjadi akibat komplikasi pada kardiovaskular, seperti gangguan kontraksi miokardium atau akibat gangguan pernapasan.[1,7,16]
Efe Samping Neurologis
Efek samping neurologis yang dapat terjadi akibat chloramphenicol, antara lain neuritis optik dan neuropati perifer. Neuritis optik merupakan komplikasi neurologis yang paling sering ditemukan. Terapi chloramphenicol harus segera dihentikan jika terjadi efek samping neurologis.
Neuritis optik dapat terjadi lebih dari 6 minggu setelah penggunaan chloramphenicol, dengan gejala kehilangan penglihatan secara akut atau subakut. Penghentian chloramphenicol dapat mengembalikan penglihatan secara total atau parsial. Neuropati perifer memiliki gejala mati rasa atau rasa kesemutan.[7,17]
Interaksi Obat
Interaksi obat antara chloramphenicol dengan golongan makrolida lain, misalnya azithromycin atau dengan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen, dapat menurunkan efek obat. Interaksi obat antara chloramphenicol dengan warfarin atau phenytoin dapat meningkatkan efek obat.
Menurunkan Efek Obat
Interaksi obat chloramphenicol dengan makrolida, misalnya azithromycin, erythromycin, atau clindamycin, dapat menimbulkan inhibisi kompetitif sehingga menurunkan efektivitas kedua obat. Chloramphenicol yang digunakan bersamaan dengan sulfonilurea, misalnya glibenclamide, dapat menyebabkan pemanjangan efek hipoglikemik.
Penggunaan chloramphenicol jangka panjang bersamaan dengan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen, dapat menurunkan reliabilitas kontrasepsi, dan meningkatkan risiko breakthrough bleeding. Interaksi obat antara chloramphenicol dengan obat-obatan yang menginduksi enzim liver, misalnya phenobarbital dan rifampicin, dapat meningkatkan metabolisme chloramphenicol, sehingga kadarnya dalam serum menurun.
Meningkatkan Efek Obat
Penggunaan chloramphenicol bersama warfarin dapat menghambat CYP3A4 sehingga mengganggu metabolisme warfarin. Hal ini akan meningkatkan efek warfarin, sehingga risiko perdarahan bertambah.
Penggunaan chloramphenicol bersama phenytoin akan menghambat reaksi yang dikatalis oleh CYP2C19, sehingga meningkatkan konsentrasi plasma phenytoin. Hal ini akan meningkatkan risiko toksisitas phenytoin.
Chloramphenicol yang diberikan bersamaan dengan tacrolimus dapat meningkatkan konsentrasi tacrolimus. Penyesuaian dosis tacrolimus dan pemantauan kadar serum tacrolimus mungkin diperlukan, untuk menghindari toksisitas.[6,16]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra