Pengawasan Klinis Diltiazem
Pengawasan klinis pada penggunaan diltiazem yang dapat dilakukan meliputi pemantauan tekanan darah, laju denyut jantung, elektrokardiografi (EKG). Selain itu pengawasan klinis juga dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, seperti fungsi hepar dan glukosa darah.
Tekanan darah, Denyut Jantung dan Elektrokardiografi
Pemberian diltiazem dapat menyebabkan hipotensi dan perlambatan denyut jantung. Oleh karena itu pemantauan tekanan darah, denyut jantung, dan gelombang EKG perlu dilakukan, terutama saat memberikan diltiazem secara intravena, baik bolus maupun infus kontinyu.[3,11]
Fungsi Hepar
Pemberian diltiazem dapat meningkatkan kadar enzim hepar, yaitu SGOT, SGPT, laktat dehidrogenase (LDH), dan alkali fosfatase secara transien, tanpa harus menghentikan pemberian obat ini. Selain itu, terdapat laporan kasus kerusakan hepar akut akibat konsumsi obat ini. Namun, kerusakan hepar umumnya bersifat reversible setelah diltiazem dihentikan.[3,9]
Glukosa Darah
Pengawasan klinis diperlukan pada pasien diabetes mellitus yang mendapatkan diltiazem, sebab diltiazem dapat mengganggu sekresi dan kerja insulin melalui efek hambatan influks kalsium ke dalam sel. Peningkatan glukosa darah dapat terjadi dalam 2–6 bulan setelah terapi dimulai.[5]
Toksisitas
Toksisitas diltiazem pernah dilaporkan terjadi dalam dosis yang bervariasi, yaitu <1 gram hingga 18 gram. Gejala toksisitas, antara lain bradikardia berat, pusing, hipotensi, blok atrioventrikular (AV), serta gagal jantung dan kegagalan organ-organ lain.
Tata laksana toksisitas diltiazem dapat dilakukan dengan mengikuti protokol advanced cardiac life support (ACLS) untuk aritmia dan hipotensi. Pemberian atropin intravena (IV) dapat digunakan untuk mengatasi bradikardia. Glukagon IV dapat bermanfaat untuk meningkatkan denyut jantung. Pada hipotensi berat dan gagal jantung, dapat diberikan dopamine atau norepinefrin.[2]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra