Pengawasan Klinis Fluoxetine
Pengawasan klinis terutama dibutuhkan pada tahap awal penggunaan fluoxetine, karena terdapat peningkatan risiko ide bunuh diri, serta perburukan gejala depresi. Pengawasan klinis ini terutama perlu dilakukan pada pasien dengan depresi berat.
Pengawasan Klinis terhadap Risiko Bunuh Diri dan Perburukan Gejala
Penggunaan antidepresan, termasuk fluoxetine, dilaporkan meningkatkan ide bunuh diri pada populasi anak, remaja, dan dewasa muda, yang berusia <24 tahun. Risiko ini tidak ditemukan pada pasien >24 tahun, bahkan risiko munculnya ide bunuh diri diketahui menurun pada pasien >65 tahun.
Pasien perlu dipantau untuk perburukan gejala depresi, maupun munculnya gejala baru yang tidak biasa, misalnya ansietas, agitasi, serangan panik, insomnia, atau perilaku agresif. Bila ditemukan gejala-gejala tersebut, laporkan kepada tenaga kesehatan.
Pengawasan klinis juga harus dilakukan terhadap respons terapi untuk depresi atau gangguan obsesif kompulsif. Respons terapi baru muncul setelah 4–5 minggu. Jika masih belum ada perbaikan klinis, pertimbangkan untuk meningkatkan dosis obat atau mengganti dengan antidepresan lain.[4,5]
Pengawasan Klinis pada Pasien dengan Gangguan Bipolar
Penggunaan fluoxetine pada pasien-pasien dengan gangguan bipolar juga membutuhkan pengawasan, karena penggunaan obat golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI) bisa menginduksi timbulnya gejala-gejala manik. Bila pada pasien bipolar yang mendapatkan fluoxetine ditemukan adanya gejala-gejala manik, maka obat sebaiknya segera dihentikan.[4,11]
Pemeriksaan Lainnya
Pada pasien sehat, tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium rutin. Namun, pada pasien usia lanjut mungkin dibutuhkan pemeriksaan gula darah dan fungsi hepar. Selain itu, pemeriksaan elektrokardiografi juga mungkin dibutuhkan bagi pasien yang berisiko mengalami pemanjangan gelombang QT dan aritmia ventrikel.[2]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra