Penggunaan Pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Fluoxetine
Fluoxetine dikategorikan oleh Food and Drug Administration atau FDA ke dalam kategori C. Penggunaan fluoxetine pada kehamilan hanya diperbolehkan jika manfaat melebihi potensi risiko terhadap janin. Pada ibu menyusui, fluoxetine dapat diekskresikan melalui air susu ibu, sehingga penggunaannya harus dengan berhati-hati.
Penggunaan pada Kehamilan
Fluoxetine termasuk ke dalam kategori C berdasarkan Food and Drugs Administration (FDA), yang berarti studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, tetapi belum ada studi terkontrol pada wanita hamil.[4,5]
Berdasarkan Therapeutic Goods Australia (TGA), fluoxetine termasuk ke dalam kategori C. Artinya, berdasarkan efek farmakologi obat, mungkin obat dapat menyebabkan efek membahayakan bagi janin manusia atau neonatus, tetapi tidak menyebabkan malformasi.[14]
Penggunaan fluoxetine selama kehamilan pada pasien-pasien dengan indikasi yang sesuai sebaiknya tetap dilanjutkan. Sampai sampai saat ini, belum ada laporan bahwa fluoxetine berbahaya bagi fetus. Obat ini boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin.[13]
Namun, dokter harus berhati-hati dengan risiko terjadinya neonatal abstinence syndrome (NAS) pada neonatus dari ibu yang mendapat selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), seperti fluoxetine, pada trimester ketiga. Pantau gejala toksisitas obat atau sindrom serotonin pada neonatus.
Penggunaan pada Ibu Menyusui
Fluoxetine dapat disekresikan ke dalam ASI, dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan golongan serotonin reuptake inhibitor (SSRI) lainnya, seperti escitalopram atau sertraline. Pengobatan dengan dapat dilanjutkan jika selama kehamilan fluoxetine telah digunakan, atau bila antidepresan lain tidak efektif. Namun, bila memungkinkan gunakan antidepresan alternatif dengan kadar ekskresi pada ASI yang lebih rendah.
Bayi yang mendapatkan ASI dari ibu yang mengonsumsi fluoxetine dapat mengalami gejala irritable, gangguan tidur, diare, dan muntah. Namun, tidak ditemukan efek samping terhadap perkembangan bayi setelah 1 tahun kemudian.[15]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra