Kontraindikasi dan Peringatan Vaksin Difteri
Kontraindikasi vaksin difteri adalah adanya riwayat hipersensitivitas terhadap vaksin ini atau komponen lain dalam sediaan, serta ensefalopati yang tidak dapat ditemukan sebabnya setelah 7 hari pemberian vaksin sejenis. Peringatan dan perhatian khusus diperlukan pada pasien dengan gangguan perdarahan dan pasien imunokompromais.[1,12]
Kontraindikasi
Vaksin difteri dikontraindikasikan pada pasien yang mengalami reaksi alergi berat atau anafilaksis terhadap vaksin ini ataupun komponen lain dalam sediaan.[1,12]
Selain itu, karena adanya peningkatan kewaspadaan terhadap kemungkinan peran komponen vaksin pertusis aseluler terhadap reaksi merugikan neurologis, ACIP (Advisory Committee on Immunization Practices) merekomendasikan DTaP/DTwP dikontraindikasikan pada anak dengan riwayat ensefalopati yang tidak diketahui sebabnya yang terjadi dalam 7 hari setelah pemberian vaksinasi DTaP/DTwP.[1]
Peringatan
Meskipun efek samping berat jarang terjadi pada penggunaan vaksin difteri, tenaga kesehatan dan orang tua pasien harus tetap mewaspadai potensi efek merugikan pada pasien dengan riwayat gangguan neurologis atau reaksi hipersensitivitas.[1]
Anak-anak maupun orang dewasa yang sedang sakit sedang atau berat dengan atau tanpa demam harus menunggu hingga sembuh sebelum menerima vaksin ini.[3,7]
Risiko Sindrom Guillain Barre
Vaksin difteri umumnya tersedia dalam bentuk kombinasi dengan vaksin tetanus. Perlu diwaspadai risiko sindrom Guillain Barre (GBS) yang muncul setelah pemberian vaksin tetanus. Risiko GBS dapat meningkat pada individu dengan riwayat GBS dalam waktu 6 minggu setelah menerima dosis sebelumnya.[12]
Pemberian pada Individu Imunokompromais
Jika diberikan kepada individu yang mengalami imunosupresi, pertimbangkan kemungkinan bahwa respon imun terhadap vaksin dan kemanjuran dapat berkurang.
Pada pasien HIV, penggunaan vaksin difteri sama dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Meski begitu, imunogenisitas vaksin mungkin lebih rendah dibandingkan individu imunokompeten.[12]
Penulisan pertama oleh: dr. Aghnia Jolanda Putri