Farmakologi Vaksin Polio
Secara farmakologi, vaksin polio bekerja dengan cara merangsang sistem imun tubuh seolah telah terjadi infeksi virus polio tanpa menyebabkan gangguan ke sistem saraf pusat.[1]
Farmakodinamik
Sama seperti vaksin lain, aspek penting dari farmakologi vaksin polio adalah dengan merangsang sistem imun untuk bereaksi seolah telah terjadi infeksi tanpa menimbulkan gangguan seperti saat terkena virus polio secara langsung. Terdapat dua jenis vaksin polio yakni vaksin inaktif (IPV) dan vaksin polio oral (OPV).[1,5]
Vaksin Inaktif
Vaksin inaktif memberikan kekebalan dengan mensuplai sistem kekebalan tubuh melalui dosis antigen yang tidak aktif. Oleh karena antigen yang tidak hidup maka antigen tidak dapat bereplikasi pada tubuh host, sehingga vaksin inaktif tidak menyebabkan penyakit dan dapat diberikan pada host yang imunokompromais. Namun, ketidakmampuan untuk bereplikasi juga menyebabkan tingkat kekebalan yang dihasilkan rendah sehingga harus diberikan secara berurutan.[1,5]
Vaksin Polio Oral
Vaksin polio oral menggunakan virus hidup yang dilemahkan. Tiga tipe strain virus liar dilemahkan di laboratorium sebelum dimasukkan ke dalam vaksin oral. Pemberian vaksin oral dapat menyebabkan terbentuknya respon imun lokal di lapisan mukosa usus yang menjadi lokasi utama multiplikasi virus polio. Diharapkan nantinya akan terbentuk antibodi di mukosa usus untuk menghambat multiplikasi virus polio liar.[1,5]
Farmakokinetik
Terdapat dua jenis vaksin polio yakni vaksin inaktif (IPV) dan vaksin polio oral (OPV).
Vaksin Inaktif
Vaksin polio diinaktivasi (IPV) terdiri dari gabungan tiga tipe poliovirus yang dikembangkan di kultur sel manusia atau dari kultur sel ginjal monyet. Sebagai vaksin yang disuntikkan, IPV dapat diberikan sendiri atau dikombinasikan dengan vaksin lain seperti vaksin pertusis, vaksin difteri, vaksin Haemophillus influenzae, dan tetanus toksoid.
Pada pemberian IPV, tingkat kekebalan mukosa di usus secara signifikan lebih rendah dibandingkan pada pemberian OPV. Setelah pemberian dua dosis, penerima akan terlindungi 90% dari virus polio, dan setelah pemberian tiga dosis imunitas mencapai 99%.[5,10]
Vaksin Polio Oral
OPV mengandung virus polio hidup yang dilemahkan. OPV mengontrol sirkulasi virus polio liar dalam tubuh dengan menginduksi kekebalan di mukosa usus terhadap adanya infeksi ulang virus polio.
Vaksin ini bertahan di faring selama satu sampai dua minggu yang kemudian dikeluarkan melalui feses selama beberapa minggu atau lebih setelah pemberian vaksin. Selain menghasilkan respon imun lokal di lapisan mukosa usus, OPV juga menghasilkan antibodi dalam darah (imunitas serum atau humoral) untuk ketiga jenis virus polio. OPV akan melindungi individu dari kelumpuhan akibat polio, termasuk mencegah penyebaran virus polio ke sistem saraf.[10,11]
Resistensi
Virus polio dapat ditemukan dalam bentuk virus polio vaksin/sabin, virus polio liar (wild poliovirus), dan VDPV (vaccine derived poliovirus). VDPV merupakan virus polio sabin yang mengalami mutasi dan bisa menyebabkan kelumpuhan. Adanya mutasi akan mengurangi efikasi vaksin terhadap strain virus.
VDPV diklasifikasikan dalam 3 kategori, yakni:
Immunodeficient-related VDPV (iVDPV) yang terlihat dari pasien dengan imunodefisiensi
Circulating VDPV (cVDPV) yang ditemukan pada keadaan dimana cakupan OPV rendah
Ambiguous VDPV (aVDPV) apabila tidak dapat diklasifikasikan sebagai cVDPV atau iVDPV.
Virus polio tipe 2 diduga sebagai penyebab tersering VDPV sehingga WHO kemudian merekomendasikan perubahan pemberian dari OPV trivalen menjadi OPV bivalen yang hanya berisi virus polio tipe 1 dan 3, sebelum beralih ke vaksin virus yang dapat disuntikkan tanpa risiko terkait.
VDPV bisa menyebabkan epidemik di daerah dengan tingkat vaksinasi yang buruk. Selain itu, orang dengan kondisi imunodefisiensi tertentu dapat menyebarkan virus dalam waktu yang lama, dimana virus dapat terus berkembang dan menginfeksi individu yang tidak terlindungi.
Beberapa waktu terakhir telah terjadi wabah di Amerika Serikat, Inggris, dan Afrika. CDC juga mengumumkan di Juli 2022 tentang kasus polio yang disebabkan oleh VDPV2 pada individu yang tidak divaksinasi di New York. Di Indonesia sendiri belum ada data terkait resistensi vaksin polio.[12,13]
Penulisan pertama oleh: dr. Graciella N. T. Wahjoepramono