Penatalaksanaan Intususepsi
Penatalaksanaan intususepsi atau intussusception dapat menggunakan enema udara, enema cairan, atau tindakan operatif. Karena ada risiko syok akibat intususepsi, dokter sebaiknya memasang akses intravena pada pasien.
Tata Laksana Awal
Pasien intususepsi dapat mengalami hipovolemia dan dehidrasi. Pada keadaan ini, pasien sebaiknya diberikan cairan intravena. Pada pasien dengan hidrasi yang baik, cairan intravena mungkin tidak diperlukan.[4,10,11]
Pemberian antibiotik sebenarnya masih belum diketahui pasti manfaatnya. Beberapa pusat kesehatan sudah tidak menggunakan antibiotik pada anak-anak yang mengalami intususepsi, kecuali jika ada indikasi seperti syok sepsis atau perforasi usus.[10,11]
Antibiotik biasanya diberikan 1 jam sebelum prosedur dan dilanjutkan hingga 48 jam jika ada iskemia atau dilatasi usus yang signifikan. Namun, bila abses atau perforasi terjadi, pemberian antibiotik yang lebih panjang perlu dipertimbangkan.[10-12]
Reduksi dengan Enema
Penatalaksanaan dengan enema dapat dilakukan jika pasien dalam keadaan stabil. Komplikasi reduksi enema ini meliputi perforasi dan kegagalan reduksi, sehingga memerlukan intervensi operatif. Reduksi dengan kontras enema secara klasik dapat dilakukan dengan cairan (liquid enema) ataupun dengan udara (air enema).[10,11]
Enema Udara
Enema udara atau air enema dapat diberikan menggunakan gas yang dimasukkan ke dalam usus dengan tekanan 80 mmHg dan dapat ditingkatkan hingga 120 mmHg. Pada anak usia < 6 bulan, tekanan awal yang disarankan adalah 60 mmHg.[4]
Enema Cairan
Enema cairan atau liquid enema dapat diberikan menggunakan gastrografin dengan tekanan 100 cmH2O dan dapat ditingkatkan secara bertahap hingga 120 cmH2O. Pada anak usia <6 bulan, risiko perforasi lebih tinggi, sehingga tekanan awal yang disarankan adalah 80 cmH2O.[4]
Perbandingan Enema Udara dan Enema Cairan
Menurut tinjauan Cochrane tahun 2017, enema udara memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Namun, hal ini didasari pada kualitas bukti yang lemah.[13]
Pembedahan
Tindakan operatif diindikasikan pada pasien dengan syok yang menetap, kecurigaan nekrosis usus atau perforasi, intususepsi yang tidak tereduksi dengan modalitas tata laksana nonoperatif, dan intususepsi dengan pathological lead point (penyakit yang mendasari).[4,10,11]
Reseksi usus diindikasikan jika terdapat nekrosis, perforasi, dan intususepsi yang tidak dapat direduksi dengan tindakan operatif tanpa reseksi. Iliopexy dan ileocaecal band tidak terbukti mengurangi risiko rekurensi.[4,10,11]
Laparoskopi
Operasi laparoskopi mulai populer digunakan untuk intususepsi. Namun, laparoskopi tidak memiliki perbedaan bermakna dengan pembedahan terbuka dalam hal durasi operasi dan timbulnya komplikasi.[4,10,11]
Pasien yang dilaparoskopi dilaporkan memiliki durasi perawatan yang lebih pendek dan kemampuan toleransi asupan oral lebih dini. Namun, kekurangan laparoskopi adalah cedera pada dinding usus dan sulit mengidentifikasi pathological lead point. Konversi ke bedah terbuka diperlukan pada 12,5–32% kasus.[4,10,11]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur