Penatalaksanaan Perforasi Intestinal
Penatalaksanaan perforasi intestinal atau perforasi usus adalah tindakan operasi, walaupun tidak semua kasus harus dilakukan tindakan operasi. Apabila terjadi peritonitis ataupun sepsis, maka dibutuhkan tindakan operasi laparotomi atau eksplorasi laparoskopi.
Pada prinsipnya penanganan perforasi dimulai dari penilaian awal, resusitasi, penegakan diagnosis, dan penatalaksanaan yang cepat. Apabila pada penilaian awal sudah dicurigai adanya perforasi intestinal, maka manajemen dan evaluasi selanjutnya harus dirujuk ke dokter bedah baik bedah umum maupun bedah digestif.[1,2,13]
Persiapan Rujukan
Pasien dengan dugaan perforasi intestinal, yang datang ke klinik fasilitas kesehatan tingkat pertama, harus segera dirujuk ke rumah sakit yang memiliki fasilitas dokter spesialis bedah.
Sebelum dirujuk, pasien harus diberikan edukasi mengenai kondisinya dan kemungkinan adanya tindakan operasi. Pada pasien berusia lanjut disertai penyakit komorbid, pasien dan keluarga harus mengetahui risiko dan kelebihan tindakan operasi sebelum dilakukan tindakan operasi.[1,2]
Terapi awal yang dapat dilakukan adalah pasien dipuasakan, resusitasi cairan untuk mempertahankan perfusi, dan antibiotik spektrum luas. Pasien yang dicurigai mengalami perforasi intestinal tidak boleh diberikan rawat jalan, harus menjalani rawat inap untuk dilakukan evaluasi dan terapi sesuai kondisi, termasuk perlu tidaknya tindakan operasi.[1-3]
Pembedahan
Terapi utama untuk perforasi intestinal adalah operasi. Operasi laparotomi merupakan terapi intervensi utama, akan tetapi saat ini laparoskopi juga dapat menjadi terapi pilihan.
Sebelum pembedahan sangat dibutuhkan tindakan resusitasi yang adekuat untuk menjamin keberhasilan tindakan. Operasi dapat menjadi kontraindikasi apabila ada kendala pada proses anestesi dan operasi, seperti gagal jantung berat, gagal napas, atau kegagalan multiorgan.
Pada kondisi ini, pasien dan keluarga harus diberikan pemahaman. Operasi juga dapat tidak dilakukan jika pasien menolak, atau bila tidak ada tanda-tanda peritonitis secara umum.[1-3]
Tujuan dari tindakan operasi yaitu:
- Memperbaiki defek anatomis perforasi intestinal, bila diperlukan dilakukan ileostomi sementara atau permanen
- Memperbaiki dan membersihkan penyebab dan area peritonitis
- Mengeluarkan material asing dari rongga peritoneum yang dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri, misalnya makanan, feses, cairan intestinal, cairan empedu, dan darah[1-3]
Medikamentosa Antibiotik
Golongan antibiotik yang dipilih harus mencakup organisme aerob dan anaerob. Beberapa antibiotik pilihan pada perforasi intestinal adalah metronidazole yang diberikan bersamaan dengan golongan aminoglikosida seperti gentamisin.[1,13]
Apabila tidak ada tanda dan gejala peritonitis secara umum, antibiotik dapat langsung diberikan kepada pasien dengan sasaran organisme bakteri gram negatif dan bakteri anaerob. Pemberian antibiotik selain dapat menurunkan infeksi sebelum operasi, tetapi juga terbukti dapat mengurangi jumlah infeksi luka setelah operasi, serta penyebaran infeksi peritoneal maupun intravaskular.[1,11]
Medikamentosa Analgetik - Antiinflamasi
Pemberian glukokortikoid sebelum operasi efektif dalam menekan inflamasi setelah operasi. Pemberian 24 mg deksametason efektif dalam mengurangi nyeri, mengurangi disfungsi endotel, dan vasodilatasi. Sebuah penelitian metaanalisis menjelaskan bahwa pemberian glukokortikoid intravena pasca operasi dapat mengurangi nyeri lebih awal, mengurangi mual setelah operasi, dan mengurangi lamanya waktu perawatan setelah operasi.[1,13,19]
Pemberian nonsteroidal antiinflammatory drug (NSAID) setelah operasi merupakan terapi yang efektif untuk mengurangi nyeri. Pemberian NSAID setelah operasi harus dievaluasi dalam beberapa hari penggunaan. Contoh NSAID yang dapat digunakan adalah paracetamol minimal 2 gr/24 jam, ibuprofen minimal 800 mg/24 jam, atau natrium diklofenak minimal 50 mg/24 jam.
Namun, pemberian NSAID sebaiknya dihindari untuk pasien dengan peritonitis dan sepsis karena gangguan fungsi ginjal. Selain itu, perlu pengawasan fungsi ginjal saat pemberian NSAID dengan antibiotik aminoglikosida yang berpotensi menyebabkan nefrotoksik.[1,13]
Pilihan untuk memberikan opioid dapat mencapai efek analgetik yang diharapkan. Opioid sudah banyak digunakan sebagai analgesik setelah operasi, tetapi opioid memiliki banyak efek samping sehingga sering dikombinasikan dengan NSAID, atau diberikan dosis secara titrasi hingga memberikan efek.[1,14]
Terapi Suportif
Terapi suportif yang dapat dilakukan pada pasien perforasi intestinal yaitu:
- Pemberian cairan intravena untuk mengganti cairan yang hilang dan memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit
- Monitor central venous pressure (CVP) untuk menilai status kardiopulmonal terutama pada pasien kritis atau pasien usia lanjut
- Pemasangan nasogastric tube untuk mengosongkan lambung dan mengurangi risiko terjadinya muntah
- Pemasangan kateter urin untuk menilai urine output dan menghitung penggantian cairan yang hilang[1,2]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja