Patofisiologi Dermatitis Seboroik
Patofisiologi dermatitis seboroik belum sepenuhnya diketahui tetapi diduga berkaitan dengan disrupsi mikrobiota kulit dan reaksi imun antara Malassezia yang berhubungan dengan respons sel-T dan aktivasi komplemen.[1,2]
Teori lain mengenai patofisiologi dermatitis seboroik adalah meningkatnya unsaturated fatty acid pada permukaan kulit, perubahan neurotransmitter kulit, pertumbuhan yang abnormal pada keratinosit, dan gangguan barrier kulit yang berhubungan dengan faktor genetik. Obat tertentu juga bisa memicu dermatitis seboroik, seperti buspirone, lithium, dan cimetidine.[1,2]
Dari banyak teori tersebut, terdapat tiga besar teori yang paling dicurigai mengenai patofisiologi dermatitis seboroik, yaitu kolonisasi Malassezia, sekresi lipid oleh kelenjar sebaseus, dan kerentanan sistem kekebalan tubuh. Selain itu, faktor endogen dan eksogen turut berpengaruh pada patofisiologi dermatitis seboroik, termasuk obat-obatan, suhu musim dingin, dan stres yang dapat memperburuk kondisi ini.[6,18]
Secara alami, kelenjar sebaseus akan mensekresikan lipid pada permukaan kulit. Malassezia yang merupakan patogen umum pada kulit akan membentuk koloni pada area yang diselimuti oleh lipid. Lipase akan disekresikan oleh Malassezia, membentuk free fatty acid dan lipid peroksida yang mengaktivasi respons inflamasi.[6]
Tahap selanjutnya, sistem imun akan menghasilkan sitokin seperti IL-1α, IL-1β, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10, IL-12, dan TNF-α. Proses ini akan menstimulasi proliferasi dan diferensiasi keratinosit. Hasil akhir dari proses ini adalah gangguan lapisan kulit yang bermanifestasi sebagai eritema, pruritus, dan scalling atau munculnya lapisan kerak.[6]
Penulisan pertama oleh: dr. Athieqah Asy Syahidah