Patofisiologi Dermatitis Stasis
Patofisiologi dermatitis stasis terjadi akibat refluks vena yang mengakibatkan terjadinya hipertensi vena. Hal ini dapat disebabkan oleh inkompetensi katup vena, obstruksi aliran vena, serta kegagalan pompa otot ekstremitas bawah. Kondisi ini mengakibatkan air dan sel darah merah terkumpul di tungkai bawah dan menimbulkan gejala.[1,2,4]
Terjadinya hipertensi vena memicu perubahan pada struktur kulit dan jaringan subkutan di sekitarnya, meliputi aktivasi sel endotel, ekstravasasi eritrosit dan makromolekul, diapedesis leukosit, dan inflamasi. Hal ini mengakibatkan pelemahan dan kerusakan dinding serta katup vena. Perubahan inflamasi meliputi peningkatan jumlah limfosit T, makrofag, dan sel mast, yang semuanya dapat dijumpai pada hasil biopsi.[1,2,4]
Pada kondisi kronis dapat terjadi hiperpigmentasi akibat deposisi hemosiderin, produk pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang mengalami ekstravasasi. Pelepasan feritin dan ion besi dari ekstravasasi eritrosit mengakibatkan stres oksidatif dan aktivasi MMPs (matrix metalloproteinase), yang memicu kerusakan jaringan kulit, pembentukan ulkus dan menghambat penyembuhan.[2]
Peningkatan ekspresi MMPs dan proteinase lain dapat menyebabkan degradasi matriks ekstraseluler vaskular dan mengakibatkan gangguan permeabilitas vaskular yang menghasilkan edema. Sawar epidermis yang mengalami kerusakan meningkatkan risiko terjadi infeksi sekunder seperti impetigo, selulitis, dan erisipelas.[2]
Fosfodiesterase 4 (PDE4) diketahui meningkat pada kondisi inflamasi, begitu juga pada pasien dengan dermatitis stasis. PDE4 merupakan enzim non-reseptor intraseluler spesifik-cAMP yang meregulasi respons inflamasi. Inhibisi PDE4 diketahui menurunkan produksi sitokin proinflamasi dan membatasi eksaserbasi gejala dermatitis stasis.[3]
Pruritus pada dermatitis stasis diketahui bersifat non-histaminergik karena antihistamin tidak memperbaiki keluhan. Pruritus jenis non-histaminergik melibatkan berbagai mediator seperti sitokin/kemokin (interleukin [IL]-31), amine, neuropeptida, protease, kanal ion, serta sel imun. Suatu penelitian berhasil menunjukkan keterlibatan IL-31 yang dihasilkan oleh makrofag terhadap keluhan pruritus.[2,3]