Diagnosis Dermatitis Stasis
Diagnosis dermatitis stasis dapat ditegakkan secara klinis melalui anamnesis gejala gatal, nyeri, bengkak, dan perubahan warna kulit, serta melalui pemeriksaan fisik status lokalis pada area yang terlibat. Penting untuk membedakan dermatitis stasis akut dan kronis. Pada kondisi akut sering dijumpai edema akut atau perburukan dengan eritema, bulla, serta vesikel. Sementara itu, pada kondisi kronis, sering dijumpai eritema dan hiperpigmentasi dengan peninggian tidak teratur.[2]
Anamnesis
Anamnesis pada dermatitis stasis terutama mengarah pada gejala yang dialami pasien dan riwayat penyakit pasien. Keluhan utama yang sering disampaikan oleh pasien yaitu gatal, nyeri, bengkak, dan perubahan warna kulit pada area yang terlibat. Keluhan lain meliputi kram, kesemutan, dan rasa tidak nyaman pada tungkai bawah.[2,4]
Pasien sering mengeluh gejala yang memburuk pada malam hari, setelah berkegiatan dan setelah berdiri lama. Nyeri pada malam hari sering menimbulkan gangguan tidur pada pasien. Bengkak pada area tungkai bawah mengakibatkan batasan aktivitas fisik dan penurunan range of movement (ROM) pada area pergelangan kaki. Keluhan gatal dapat mengakibatkan kebiasaan menggaruk yang dapat meningkatkan risiko infeksi sekunder, penebalan kulit, hingga likenifikasi.[2]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi tanda-tanda vital serta status lokalis pada area yang terlibat. Tanda vital yang berhubungan dengan penyakit ini yaitu tekanan darah untuk tahu ada tidaknya faktor risiko hipertensi. Dermatitis stasis sering terjadi secara bilateral, tidak berhubungan dengan nyeri yang signifikan, bersifat kronis, serta sering diikuti edema pitting.[2,4,5]
Pada inspeksi dapat ditemukan eritema dengan peninggian tidak teratur, patch dan plak eksim pada tungkai bawah, terutama pada malleolus medial dan dapat meluas hingga lutut, yang disebut eritroderma stocking. Sifat eksim dapat dijumpai berupa sisik, eritema, dan xerosis kulit. Pada kondisi yang lebih buruk dapat dijumpai perubahan oozing dan ulserasi pada area yang terlibat.[2,4,5]
Palpasi dapat menemukan tanda inflamasi seperti rubor (kemerahan), calor (sensasi hangat-panas), tumor (bengkak), dan dolor (nyeri tekan). Varises vena perlu diamati karena merupakan faktor risiko utama pada dermatitis stasis.[4,5]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan meliputi: selulitis, erisipelas, dermatitis kontak alergi (DKA), pigmented purpuric dermatoses (PPDs), dermatitis atopik, dan dermopati diabetikum, serta eksim xerotik.[2]
Selulitis
Selulitis merupakan misdiagnosis paling sering terjadi pada kondisi dermatitis stasis, yaitu mencapai 10–30% kasus. Selulitis umumnya terjadi berkaitan dengan riwayat trauma atau sawar epitel kulit yang rusak pada area yang terlibat, sebagai suatu port de entry dari bakteri penyebab.[2,4]
Selulitis dapat dibedakan dengan dermatitis stasis melalui cirinya yang umumnya terjadi secara unilateral, nyeri tekan pada area yang terlibat, dan sering disertai demam. Selain itu, pasien mungkin mengalami sensasi dingin pada tubuh, takikardia, dan peningkatan sel darah putih. Onset umumnya cepat, serta respons baik terhadap terapi antibiotik intravena. Terkadang terjadi limfadenopati regional dan/atau limfangitis asenden.[2,4]
Erisipelas
Erisipelas merupakan bentuk infeksi kulit yang mirip dengan selulitis. Perbedaan antara selulitis dan erisipelas yaitu kedalaman infeksi. Erisipelas lebih superfisial dan sering terjadi pada area wajah dan tungkai bawah, sementara selulitis sering mencapai dermis dalam dan lapisan subkutan, sering terjadi pada telapak tangan dan tungkai bawah.[2]
Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
DKA merupakan misdiagnosis lain yang sering terjadi. Pada kasus curiga DKA riwayat penggunaan bahan-bahan topikal seperti sabun, losion, obat-obatan topikal harus digali dengan detail. Namun, pada kondisi dermatitis stasis dapat pula terjadi DKA akibat gangguan sawar kulit dan paparan obat topikal. Uji skin-patch dapat menunjukkan reaksi alergi terhadap bahan yang dicurigai.[4]
Autoeksimatisasi atau dikenal sebagai reaksi id merupakan erupsi papulovesikular atau morbiliformis, yang sangat gatal dan eritematosa, dengan onset akut akibat paparan stimulus. Hal ini sering terjadi pada dermatitis stasis akibat kerusakan sawar epitel kulit. Tenaga medis harus bisa membedakan DKA dengan reaksi id ini yaitu dengan melakukan uji skin-patch.[2]
Pigmented Purpuric Dermatoses (PPDs)
Dermatosis purpura berpigmen dapat menginduksi vaskulitis yang memiliki gambaran mirip dermatitis stasis yaitu adanya petekie pungtata akibat ekstravasasi eritrosit. PPDs juga terjadi secara bilateral pada tungkai bawah dan sering kali terjadi secara kronis atau eksaserbasi. Deposisi hemosiderin pada PPDs ditemukan pada dermis superfisial, sementara pada dermatitis stasis terjadi lebih dalam.[2]
Kondisi Lain
Kondisi lain yang dapat menunjukkan gambaran mirip dengan dermatitis stasis yaitu dermatitis atopik, dermopati diabetikum, dan eksim xerotik. Kondisi tersebut dapat dibedakan dengan dermatitis stasis melalui proses penegakkan diagnosis yang runtut dan sistematik dengan menggali faktor risiko serta tanda dan gejala yang dialami oleh pasien, dilanjutkan dengan pemeriksaan klinis yang tepat.[2]
Pemeriksaan Penunjang
Pada kondisi dengan diagnosis meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan meliputi pemeriksaan darah, biopsi kulit, USG dupleks, CT dan MRI.
Pemeriksaan Darah
Pada dermatitis stasis, pemeriksaan darah kurang memberikan hasil yang bermanfaat. Namun, pada kondisi komplikasi infeksi sekunder seperti selulitis atau sepsis ada hasil peningkatan leukosit. Selain itu, pada pasien dengan deep vein thrombosis (DVT) perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui status hiperkoagulabilitas darah.[5]
Biopsi
Gambaran histologi klasik pada dermatitis stasis yaitu hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, dan spongiosis pada epidermis. Serta dijumpai makrofag yang mengandung hemosiderin, fibrosis dermis, ekstravasasi eritrosit, infiltrasi limfosit perivaskuler, dan proliferasi pembuluh darah yang melebar di dermis papiler pada dermis.[2,3]
Namun, biopsi sering dihindari karena area yang terlibat memiliki gangguan aliran darah sehingga bisa menyebabkan penyembuhan yang buruk dan dapat berkembang menjadi ulkus.[2]
USG Dupleks
Pemeriksaan USG dupleks dapat digunakan untuk mendeteksi aliran darah, menilai refluks vena, dan mengidentifikasi potensi obstruksi vena. Penggunaan luas USG dupleks dipengaruhi oleh tingkat akurasinya, merupakan suatu tindakan non-invasif, dan biaya yang terjangkau.[2]
CT dan MRI
Bantuan penunjang pencitraan seperti CT dan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi obstruksi pada vena proksimal dan struktur di sekitarnya.[2]
Patch Test
Uji patch dapat dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis dermatitis kontak alergi baik sebagai diagnosis banding maupun suatu komplikasi reaksi id atau autoeksimatisasi. Produk yang digunakan oleh pasien sebelum keluhan muncul dapat dipertimbangkan sebagai alergen pada pemeriksaan.[4]