Panduan e-Prescription Impetigo
Panduan e-prescription pada impetigo ini dapat digunakan Dokter pada saat akan memberikan terapi medikamentosa secara online.
Impetigo adalah infeksi bakteri pada epidermis atau kulit superfisial. Umumnya terjadi pada anak-anak. Berdasarkan jenis lesi, impetigo terdiri dari impetigo bulosa dan nonbulosa. Kebanyakan kasus (70%) adalah impetigo krustosa atau nonbulosa, dan disebabkan oleh bakteri Streptococcus β hemolyticus. Sementara itu, impetigo bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus.[1]
Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala impetigo krustosa adalah:
- Lesi awal papul eritematosa dan berkembang menjadi vesikel dan pustul
- Pada vesikel yang pecah, tampak krusta berwarna kuning dan tebal seperti madu dengan dasar eritematosa
- Dapat disertai limfadenitis
- Predileksi daerah wajah, terutama di sekitar lubang hidung dan mulut[1,2]
Tanda dan gejala impetigo bulosa adalah:
- Vesikel yang dapat berkembang menjadi bula flaccid (hipopion)
- Pada bula yang pecah, tampak cairan kekuningan. sisa krusta berwarna kecoklatan dan skar kolaret dengan dasar eritematosa
- Predileksi daerah dada, punggung, ekstremitas, dan intertriginosa
- Pada kasus impetigo bulosa di daerah selangkangan, bula dapat memicu terjadinya ulcerative diaper rash[1,2]
Peringatan
Impetigo jarang disertai demam, sehingga jika ada demam perlu dicurigai adanya infeksi lain. Segera rujuk pasien jika terdapat:
- Kecurigaan infeksi impetigo oleh bakteri methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) yang membutuhkan kultur bakteri
- Impetigo bulosa yang berkembang menjadi staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) merupakan kasus gawat darurat yang membutuhkan rawat inap, karena berisiko anak mengalami dehidrasi yang dapat berakibat kematian
Glomerulonefritis poststreptococcal dapat muncul dalam 1−2 minggu setelah infeksi, dapat bersifat asimtomatik dengan prognosis baik hingga muncul sindrom nefritik full-blown yang membutuhkan penatalaksanaan lebih lanjut[1,3-5]
Peringatan Medikamentosa
Impetigo merupakan penyakit yang mudah menular. Upayakan agar kuku tetap pendek, ingatkan agar anak tidak menggaruk lesi serta berikan edukasi untuk mencuci tangan secara berkala.
Penyerapan terapi topikal dapat terhalang oleh krusta yang terbentuk. Agar terapi bereaksi dengan maksimal, angkat krusta dengan kompres terbuka atau mandi dengan air yang telah ditambahkan pemutih klorin 4%. Konsumsi obat antibiotik harus sesuai dosis yang diberikan oleh dokter hingga seluruh lesi menghilang.[3,6]
Perawatan Suportif
Perawatan suportif termasuk edukasi mengenai higiene tangan dan linen, cara mandi, dan pembatasan sosialisasi anak.
Higiene Tangan
Edukasi hand-hygiene berperan penting untuk mencegah penularan. Ajarkan anak untuk mencuci tangan rutin dengan sabun dan air selama 20 detik, atau jika sabun dan air tidak tersedia dapat gunakan handrub berbasis alkohol. Hindari bersentuhan secara langsung kulit dengan kulit, misalnya berjabat tangan dengan orang lain.[6,7,8]
Higiene Linen
Impetigo dapat menular melalui penggunaan linen bekas pasien, sehingga pastikan untuk memisahkan penggunaan handuk, pakaian, dan sprei pada pasien impetigo dari individu sehat. Desinfeksi linen bekas pasien dapat rutin dengan menggunakan air panas saat mencuci atau dengan menyetrikanya.[9]
Cara Mandi
Sarankan orang tua untuk menambahkan 12 mL pemutih klorin 4% pada setiap 10 liter air yang digunakan anak untuk mandi. Hal ini untuk mencegah impetigo berulang dan penularannya. Untuk menghilangkan krusta, saat mandi dengan air yang telah diberikan sedikit pemutih tersebut, gosok krusta dengan menggunakan kain secara perlahan hingga terlepas.[6,8]
Pembatasan Sosialisasi Anak
Anak sebaiknya libur dari tempat penitipan anak atau sekolah hingga krusta telah terbentuk, atau 24 jam pasca terapi antibiotik. Saat berpergian, lesi sebaiknya ditutup dengan dressing kedap air untuk mencegah kontak langsung antara lesi dengan kulit sehat.[6]
Sekitar 20% kasus impetigo tanpa komplikasi dapat sembuh secara spontan, tetapi membutuhkan waktu 14‒21 hari. Sementara, terapi dapat mempercepat durasi penyembuhan menjadi 10 hari atau kurang. Oleh karena itu, impetigo sebaiknya diobati dengan medikamentosa untuk mengurangi lama pembatasan sosial anak.[3,6]
Medikamentosa Topikal
Tata laksana impetigo fokus pada penggunaan antibiotik topikal. Salep dioleskan tipis-tipis pada lesi, dianjurkan untuk mencuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan salep.
Lini pertama pemilihan salep adalah mupirocin atau retapamulin. Pemberian topikal asam fusidat sedapat mungkin dihindari, karena terdapat bukti peningkatan resistensi S.aureus terhadap asam fusidat.[27,28]
Cara penggunaan salep sebagai berikut:
Mupirocin 2%: dioleskan 2−3 kali sehari, selama 7 - 10 hari. Sebaiknya diberikan pada anak berusia >2 bulan
- Retapamulin 1%: dioleskan 2 kali sehari, selama 5 hari. Sebaiknya diberikan pada anak berusia >9 bulan
- Ozenoxacin 1%: dioleskan 2 kali sehari, selama 5 hari. Sebaiknya diberikan pada anak berusia >2 bulan
Asam fusidat 2%: dioleskan 2−3 kali sehari, selama 7 – 12 hari. Tidak terdapat batasan usia pada penggunaan obat ini[10-13]
Lesi yang tertutup pus atau krusta akan menghalangi penyerapan antibiotik topikal. Oleh karena itu, krusta dapat dihilangkan dengan kompres terbuka selama 10 menit, sebelum pemberian terapi topikal. Kompres terbuka dapat dilakukan dengan salah satu larutan di bawah ini:
- Asam salisilat 0,1%
- Rivanol 1%
- Povidone iodine 1%[2,3]
Medikamentosa Sistemik
Antibiotik sistemik direkomendasikan pada pasien impetigo dengan bula berukuran besar, mengalami demam dan limfadenopati ekstensif, serta jika terdapat epidemi impetigo. Antipruritus sistemik dapat diberikan pada anak dengan keluhan gatal, untuk menghindari anak menggaruk lesi.
Antibiotika pada Infeksi Non-MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus)
Antibiotik yang dapat diberikan pada infeksi non-MRSA antara lain amoxicillin, cefalexin, dicloxacillin, dan cefadroxil.
Dosis Amoxicillin/Clavulanate:
- Dewasa: dosis 875/125 mg setiap 12 jam, selama 7 hari
- Anak <3 bulan: dosis amoxicillin 30 mg/hari, dalam dosis terbagi setiap 12 jam, selama 7 hari
- Anak >3 bulan: dosis amoxicillin 25‒45 mg/hari, dalam dosis terbagi setiap 12 jam, selama 7 hari
- Amoxicillin/clavulanate tersedia dalam bentuk sediaan tablet (250/125 mg; 500/125 mg; 875/125 mg), tablet lepas lambat (1000/62,5mg), dan suspensi (125/31,25 mg/5mL; 250/62,5 mg/ 5mL) [10,13,14]
Dosis Cefalexin:
- Dewasa: dosis 250 mg setiap 6 jam, atau 500 mg setiap 12 jam, diberikan selama 7 hari
- Anak: dosis 25‒50 mg/kgBB/hari, dalam dosis terbagi setiap 12 jam, diberikan selama 7 hari
- Cefalexin tersedia dalam bentuk tablet 500 mg dan kapsul 500 mg[10,13,15]
Dosis Dicloxacillin:
- Dewasa: dosis 250−500 mg, 4 kali sehari, selama 7 hari
- Anak: dosis 12,5–25 mg/KgBB/hari, dalam dosis terbagi setiap 6 jam, diberikan selama 7 hari.
- Dicloxacillin tersedia dalam bentuk kapsul oral 250 mg dan 500 mg[11,13,16]
Dosis Cefadroxil:
- Dewasa: dosis 1‒2 gram, dalam dosis terbagi setiap 12 jam, selama 7 hari
- Anak >6 tahun dengan berat badan <40 kg: dosis 30–50 mg/kgBB/hari, dalam dosis terbagi setiap 12 jam, selama 7 hari, dosis maksimal 100 mg/kgBB/hari
- Cefadroxil tersedia dalam bentuk kapsul oral 500 mg[11,13,17]
Antibiotika pada Infeksi MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus)
Jika terdapat dugaan impetigo disebabkan infeksi MRSA, maka segera rujuk ke dokter spesialis. Antibiotik yang dapat diberikan misalnya vancomycin, clindamycin, doxycycline, atau trimethoprim-sulfamethoxazole.[11,13]
Antipruritus
Antihistamin memiliki efek antipruritus untuk mengurangi garukan pada pasien impetigo, sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya autoinokulasi pada pasien.[21]
Antihistamin sistemik yang dapat diberikan adalah antihistamin generasi kedua, seperti loratadine dan cetirizine. Peresepan antihistamin generasi pertama, yaitu chlorpheniramine maleate (CTM), harus dihindari dalam praktek klinis karena kurang efektif dan memiliki efek samping yang lebih berat dibandingkan antihistamin generasi kedua.
Dosis Cetirizine:
- Dewasa dan anak >12 tahun : dosis 10 mg, 1 kali/hari
- Anak 6‒12 tahun: dosis 5 mg, setiap 12 jam
- Anak 2‒5 tahun: dosis 2,5 mg, setiap 12 jam
- Cetirizine tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg; tablet salut 10 mg; kapsul 10 mg; serta sirup 5 mg/ 5 mL dan 10 mg/5 mL[22]
Dosis Loratadine:
- Dewasa dan anak >12 tahun: dosis 10 mg, 1 kali/hari, atau 5 mg setiap 12 jam
- Anak 2‒12 tahun dengan berat badan <30 kg: dosis 5 mg, setiap 24 jam
- Anak 6‒12 tahun dengan berat badan >30 kg: dosis 10 mg, setiap 24 jam
- Loratadine tersedia dalam bentuk tablet 10 mg; tablet kunyah 5 mg; kapsul 10 mg; serta sirup 5 mg/ 5 mL[23]
Pemberian pada Ibu Hamil
Obat topikal dapat diberikan pada ibu hamil dengan impetigo. Salep atau krim mupirocin dan retapamulin dimasukan oleh FDA dalam kategori B, sehingga dapat diberikan pada ibu hamil. Pemberian asam fusidat sebaiknya dihindari karena termasuk dalam kategori C. Sedangkan data keamanan ozenoxacin pada kehamilan saat ini belum tersedia.[21,24-26]
Antibiotik oral amoxicillin/clavulanate, cefalexin, dicloxacillin, vancomycin, dan clindamycin masuk dalam kategori B oleh FDA, sehingga dapat digunakan pada kehamilan jika manfaat melebihi risiko. Sedangkan doxycycline masuk kategori D, dan trimethoprim-sulfamethoxazole masuk kategori C, jadi sebaiknya dihindari penggunaannya pada ibu hamil.[24]
Antihistamin generasi kedua, cetirizine dan loratadine, termasuk dalam FDA kategori B. Keduanya juga dilaporkan diekskresikan ke dalam ASI dalam jumlah minimal.Oleh karena itu, penggunaannya pada kehamilan dan wanita menyusui menimbang aspek manfaat yang melebihi risiko.[24]
Ditulis oleh: dr. Luthfi Saiful Arif