Patofisiologi Impetigo
Patofisiologi impetigo didasari adanya infeksi dan kolonisasi, atau disebut inokulasi intradermal, dari Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, atau Group A Beta Haemolyticus Streptococcus (GABHS). Kolonisasi seringkali terjadi pada kulit yang mengalami diskontinuitas jaringan.
Peran Teichoic Acid dalam Impetigo
Mayoritas impetigo tidak terjadi pada kulit yang intak. Hal ini karena organisme penyebab impetigo memerlukan reseptor fibronektin untuk berikatan dengan teichoic acid bakteri agar dapat berkolonisasi. Reseptor ini tidak terdapat pada kulit yang intak.[4,5]
Impetigo berisiko terjadi pada kulit yang mengalami diskontinuitas jaringan, misalnya akibat garukan, trauma, luka bakar, infeksi, misalnya varicella, pedikulosis, dan skabies, dermatitis atopik, riwayat pembedahan, terapi radiasi, serta gigitan serangga. Pada kulit yang intak, beberapa faktor dapat merubah flora normal kulit dan mempermudah kolonisasi GABHS, seperti suhu tinggi atau udara yang lembap, penyakit kulit, usia yang muda, dan riwayat baru terapi dengan antibiotik.[4]
Transmisi
Impetigo merupakan penyakit yang sangat menular. Bakteri penyebab impetigo, misalnya Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, terdapat pada kulit yang sehat dan dapat berkolonisasi pada rongga hidung, aksila, faring, dan perineum. Keberadaan bakteri tersebut berbahaya untuk kulit yang tidak intak. Bakteri dapat menyebar ke bagian kulit lain melalui autoinokulasi dari kuku jari yang diakibatkan proses menggaruk, atau dari barang-barang, misalnya handuk dan pakaian.[5]
Transmisi lebih mudah terjadi pada daerah dengan iklim hangat dan lembap, serta pada kelompok orang yang tinggal bersama dalam satu rumah (close contact).[6]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra