Prognosis Moluskum Kontagiosum
Prognosis moluskum kontagiosum bergantung pada status imun pasien. Pada pasien yang imunokompeten, terutama anak-anak, moluskum kontagiosum dapat mengalami resolusi spontan dan tidak menyebabkan komplikasi. Komplikasi karena moluskum kontagiosum jarang terjadi, tetapi pada beberapa kasus dapat menyebabkan bekas luka yang dalam atau infeksi sekunder.[1,2,5]
Komplikasi
Mayoritas pasien moluskum kontagiosum contohnya anak-anak, tidak mengalami komplikasi. Namun, beberapa komplikasi dapat muncul akibat moluskum kontagiosum. Lesi yang muncul di kelopak mata dapat menyebabkan konjungtivitis kronis dan keratokonjungtivitis akibat adanya reaksi hipersensitivitas terhadap protein Molluscipox (MCV). Seiring dengan resolusi dari lesi moluskum, komplikasi mata juga akan mengalami perbaikan.[1]
Pada pasien imunokompromais seperti pasien HIV, lesi moluskum kontagiosum dapat menjadi generalisata. Dilaporkan bahwa penyebaran lesi berkaitan dengan penurunan kadar CD4, dimana semakin rendah kadar CD4 semakin banyak lesi yang muncul.[2,3,6,7]
Moluskum kontagiosum dapat menyebabkan infeksi sekunder dan jaringan parut. Namun, mortalitas akibat moluskum kontagiosum belum pernah terjadi.[2,3,6,7]
Komplikasi juga dapat timbul akibat terapi. Terapi ablasi dapat menyebabkan nyeri, rasa tidak nyaman, hiperpigmentasi atau hipopigmentasi pascainflamasi, dan bekas luka. Terapi sistemik dapat menyebabkan nefrotoksisitas.[1]
Prognosis
Prognosis moluskum kontagiosum pada individu imunokompeten umumnya baik, karena penyakit ini dapat mengalami resolusi dalam waktu 6-12 bulan. Meski demikian, perjalanan penyakit dapat berjalan hingga 4 tahun. Hal ini terjadi karena beberapa moluska dapat menghilang sementara moluska baru juga dapat muncul dalam kurun waktu yang sama.[1,2,5]
Prognosis moluskum kontagiosum buruk dan bergantung pada level CD4. Semakin rendah level CD4, semakin parah penyakit sehingga semakin sulit lesi untuk sembuh. Pada penderita imunokompromais, lesi jarang mengalami resolusi spontan.[1,2,5]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja