Diagnosis Skrofuloderma
Diagnosis skrofuloderma atau scrofuloderma, setelah anamnesis dan pemeriksaan lesi, membutuhkan pemeriksaan penunjang, seperti histopatologi, tes tuberkulin, dan respon positif terhadap pengobatan tuberkulosis. Diagnosis pasti berdasarkan penemuan bakteri Mycobacterium tuberculosis (Mtb) pada kultur jaringan, atau hasil positif pada pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).[4]
Anamnesis
Pada anamnesis, perlu ditanyakan keluhan klinis yang dialami pasien, riwayat penyakit dahulu atau komorbiditas, dan faktor risiko skrofuloderma. Secara umum, pasien skrofuloderma akan datang dengan keluhan munculnya sebuah benjolan pada kulit, sering kali di area leher, aksila, supraklavikula, atau inguinal.
Benjolan tersebut umumnya teraba keras dan tidak menimbulkan nyeri sama sekali. Seiring dengan berjalannya waktu, pada permukaan dari benjolan tersebut akan muncul ulkus, dan kemudian benjolan akan pecah hingga mengeluarkan cairan seperti nanah.
Keluhan lain yang bisa dialami pasien adalah demam hilang timbul selama 2 minggu terakhir, meriang, menggigil, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, batuk, dan terkadang batuk darah.
Pada anamnesis, tanyakan pula riwayat infeksi tuberkulosis paru atau ekstra paru. Jika ya, apakah pasien sudah berobat secara tuntas dan dinyatakan sembuh oleh dokter yang menangani. Selain itu, penting untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan faktor risiko, seperti status imunitas pasien, kondisi tempat tinggal, adanya penyakit penyerta, usia, dan gaya hidup.[4,5]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada skrofuloderma dilakukan melalui inspeksi pada kulit secara langsung. Pada inspeksi kulit, tampakan klinis yang bisa ditemukan adalah nodul subkutan, eritema, teraba keras, berbatas tegas, mobile, dan tidak menimbulkan nyeri, gatal, atau perih.
Dalam beberapa bulan, nodul akan membesar dan melunak, kemudian akan pecah dan membentuk ulkus, sinus, dan fistula. Melalui sinus dan fistula tersebut akan keluar cairan atau materi kaseosa. Seiring dengan berjalannya waktu, nodul bisa sembuh sendiri dan membentuk keloid dan atrofi kulit. Lokasi lesi yang tersering adalah leher, aksila, supraklavikula, dan inguinal.[1,4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding skrofuloderma adalah, hidradenitis supurativa, sifilis gumatosa, dan abses kulit.[10]
Hidradenitis Supurativa
Hidradenitis supurativa, atau dikenal dengan nama lain acne inversus, merupakan kondisi inflamasi kulit yang bersifat kronis dengan tampakan klinis berupa nodul bersifat deep seated dan abses, disertai saluran dan luka fibrotik. Lokasi munculnya lesi kulit serupa dengan skrofuloderma, yakni pada area aksila dan inguinal, tetapi bisa juga muncul pada area perianal, perineal dan area intertriginosa lain yang memiliki banyak kelenjar apokrin.
Berbeda dengan skrofuloderma, hidradenitis suppurativa disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, dan perilaku. Hidradenitis suppurativa lebih sering terjadi pada orang-orang dengan berat badan berlebih, gangguan hormone, dan sering berkeringat.[11]
Sifilis Gumatosa
Sifilis adalah penyakit infeksi yang masuk ke dalam kategori penyakit menular seksual. Infeksi disebabkan oleh Treponema pallidum. Sifilis terbagi menjadi 3 jenis, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pada sifilis tersier atau late syphilis, lesi kulit yang muncul adalah yang paling sulit dibedakan dengan skrofuloderma.
Lesi berbentuk nodul subkutan, keras, tidak nyeri, dan lama kelamaan bisa membentuk ulkus pada permukaan nodul hingga mengeluarkan materi nekrotika. Hal yang bisa membantu dokter membedakan dengan skrofuloderma adalah adanya riwayat penyakit sifilis dan hasil biopsi yang tidak menunjukkan nekrosis kaseosa seperti pada skrofuloderma.[12]
Abses Kulit
Abses adalah jenis infeksi kulit yang paling sering disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Lesi kulit pada penderita abses adalah sebuah benjolan kemerahan. Tidak seperti skrofuloderma, abses biasanya disertai nyeri dan rasa panas pada perabaan. Abses pada kulit bisa muncul pada area tubuh manapun.[13]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berperan penting dalam diagnosis skrofuloderma. Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi yang diambil dari hasil biopsi (aspirasi jarum atau eksisi nodul), kultur, polymerase chain reaction (PCR), tuberculin skin test (TST), dan rontgen toraks.[1,2,14]
Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi biasanya menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsen pada jaringan yang di biopsi untuk mendeteksi acid fast bacilli. Hal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi pada jaringan skrofuloderma adalah adanya reaksi atau proses granulomatosa yang terdiri dari sel epiteloid histiosit, limfosit, dan sel Langhans (Giant cell) dengan atau tanpa nekrosis kaseosa.[14]
Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan kultur Mycobacterium sebenarnya adalah baku emas untuk mendiagnosis berbagai kasus tuberkulosis, terutama pada kasus tuberkulosis kutis seperti skrofuloderma. Spesifisitas pemeriksaan ini mencapai 98,5%, namun waktu yang dibutuhkan untuk mendapat hasil kultur berkisar 4-6 minggu.[2]
Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan PCR masuk kategori kriteria absolut untuk diagnosis skrofuloderma. Namun pada prakteknya, pemeriksaan PCR dilakukan hanya sebagai pemeriksaan tambahan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang lain, seperti histopatologi. Pada pemeriksaan PCR yang akan ditemukan adalah DNA dari Mtb yang didapatkan dari jaringan yang di biopsi dan darah.[2]
Tuberculin Skin Test (TST)
Tes tuberkulin sangat umum dilakukan pada kasus-kasus infeksi tuberkulosis. Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikan materi tuberculin purified protein derivative secara intradermal pada bagian depan dari lengan kiri. Hasil dibaca 48‒72 jam pasca penyuntikkan. Positif jika terdapat indurasi 10 mm, atau 5 mm pada pasien dengan kondisi HIV atau kondisi immunocompromised lain.[2,9]
Rontgen Toraks
Rontgen toraks tidak wajib yang dilakukan untuk diagnosis skrofuloderma. Namun, pemeriksaan ini dapat dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan. Hal ini dikarenakan pasien dengan tuberkulosis ekstra paru biasanya juga mengalami tuberkulosis paru.[4]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini