Diagnosis Diabetes Insipidus
Diagnosis diabetes insipidus dapat dicurigai pada pasien dengan poliuria, polidipsia, dan nokturia. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hidronefrosis, dehidrasi, atau pembesaran vesika urinaria. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan water deprivation test.
Anamnesis
Poliuria, polidipsia, dan nokturia adalah keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien diabetes insipidus. Volume urin pada diabetes insipidus dapat berkisar antara 3–20 L. Jumlah minum harian pasien dapat diukur dengan menanyakan jumlah gelas air yang dikonsumsi per hari. Penting pula ditanyakan mengenai riwayat seringnya buang air kecil dan riwayat minum di malam hari. Bila poliuria dan polidipsia hanya terjadi pada siang hari, kemungkinan keluhan merupakan polidipsia fisiologis.
Bentuk paling umum dari diabetes insipidus adalah diabetes insipidus sentral akibat trauma atau tindakan operasi pada regio pituitari dan hipotalamus. Gejala klinis sering bermanifestasi dalam bentuk trifasik.
Fase pertama adalah poliuria selama 4–5 hari akibat inhibisi hormon arginine vasopressin (AVP). Fase kedua adalah fase antidiuretik selama 5–6 hari akibat pelepasan dari hormon yang tersimpan, menyebabkan peningkatan osmolalitas urine. Fase ketiga adalah fase permanen, di mana AVP yang disimpan telah terpakai seluruhnya dan sel yang menghasilkan AVP tidak mampu berproduksi lagi.
Pada bayi, gejala diabetes insipidus dapat berupa iritabilitas, keterlambatan pertumbuhan, hipertermia, dan penurunan berat badan. Pada anak, gejala yang sering muncul adalah enuresis, anoreksia, konstipasi, vomitus, demam, iritabilitas, dan gagal tumbuh.[2,4,7]
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik bervariasi tergantung keparahan dan kronisitas penyakit. Pasien diabetes insipidus bisa saja tidak menunjukkan tanda abnormal pada pemeriksaan fisik. Namun, pada beberapa kasus mungkin tampak hidronefrosis, ditandai dengan nyeri punggung, nyeri yang menjalar ke inguinal, serta pembesaran vesika urinaria, dan tanda-tanda dehidrasi.[2]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding diabetes insipidus adalah sindrom Barter, yang dapat dibedakan dengan adanya riwayat polihidramnion, dan diabetes melitus tipe I, yang disebabkan tubuh tidak mampu memproduksi insulin. Diagnosis banding lain adalah polidipsia primer yang dapat dibedakan dengan indirect water deprivation test (WDT).
Sindrom Barter
Sindrom Barter dapat memiliki gejala yang mirip dengan diabetes insipidus akibat keadaan hipokalemia dan hiperkalsiuria yang menyebabkan berkurangnya jumlah aquaporin (AQP2).
Namun, perbedaan sindrom Barter dan diabetes insipidus herediter adalah pada riwayat antenatal. Pada sindrom Barter, terdapat riwayat polihidramnion, yang tidak ditemukan pada diabetes insipidus.[4]
Diabetes Mellitus Tipe I
Gejala diabetes mellitus tipe I serupa dengan diabetes insipidus, yaitu poliuria, polidipsia, tetapi pada diabetes melitus juga disertai dengan polifagia dan penurunan berat badan. Untuk membedakan dengan diabetes insipidus, dapat dilakukan dengan pemeriksaan glukosa darah. Pada diabetes mellitus akan didapatkan hasil glukosa darah yang lebih tinggi dari normal.[8]
Polidipsia Primer
Polidipsia primer merupakan kondisi medis yang diakibatkan konsumsi air berlebihan, sehingga terjadi poliuria dengan urin yang terdilusi, dan pada akhirnya menyebabkan hiponatremia. Untuk membedakan dengan diabetes insipidus, dapat dilakukan water deprivation test (WDT) indirek. Pada polidipsia primer, hasil WDT akan menunjukkan adanya peningkatan osmolalitas urin, biasanya menjadi 600–700 mOSm/ kg, tetapi tidak disertai dengan peningkatan osmolalitas plasma.[10,11]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis diabetes insipidus dapat dilakukan setelah poliuria dikonfirmasi. Sebab, keluhan poliuria terkadang sering disalahartikan, dan sesungguhnya merupakan urinary urgency, inkontinensia urin, infeksi salurah kemih, atau benign prostatic hyperplasia. Poliuria didefinisikan sebagai urine output lebih dari 3 L/24 jam pada orang dewasa dan lebih dari 2 L/m2 pada anak-anak.
Setelah poliuria terkonfirmasi, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, antara lain analisis water deprivation test, analisis urin 24 jam, hypertonic saline examination, dan evaluasi kelenjar pituitari menggunakan magnetic resonance imaging (MRI).
Water Deprivation Test
Pemeriksaan water deprivation test (WDT) dikenal juga dengan nama tes dehidrasi. Pada pemeriksaan ini, pasien dipuasakan dari makan dan minum sekitar 8 jam atau hingga berat badan berkurang 3%. Pada pasien dengan fungsi hipofisis posterior dan ginjal yang normal, osmolalitas urine meningkat menjadi 800–1200 mOSm/kg.
Pada pasien yang dengan diabetes insipidus, urin tetap tidak dapat terkonsentrasi, meskipun tubuh dalam keadaan dehidrasi. Pada pasien diabetes insipidus, nilai osmolalitas <300 mOsm/kg, dengan osmolalitas plasma >300 mOsm/kg atau nilai natrium >146 mmol/L.[7,11]
WDT biasanya diikuti dengan pemberian desmopressin 2 mikrogram, untuk membedakan antara central diabetes insipidus (CDI) dan nephrogenic diabetes insipidus (NDI). Pada CDI, setelah pemberian desmopressin, osmolalitas urin akan meningkat di atas 300 mOsm/kg. Sedangkan pada NDI, osmolalitas urin tetap tidak meningkat sebab ginjal tidak merespon efek desmopressin.[4,5,7,11]
Analisis Urin 24 Jam
Lakukan pengumpulan urin 24 jam dengan kondisi pasien terdehidrasi semaksimal yang bisa ditoleransi. Jika urinary specific gravity ≤1,005 dan osmolalitas urine ≤200 mOsm/kg, maka pasien dapat didiagnosis mengalami diabetes insipidus. Modalitas terbaik adalah pengukuran osmolalitas, karena osmolalitas yang didapat dari perhitungan manual kurang bisa diandalkan.[2]
Hypertonic Saline Examination
Pemeriksaan ini dilakukan dengan pemberian NaCl 5% dengan kecepatan 0,05 mL/kg/menit intravena selama 2 jam. Kadar serum natrium dan kadar plasma arginine vasopressin (AVP) diukur sebelum dan tiap 30 menit setelah memulai injeksi.
Kadar serum natrium biasanya meningkat hingga 10 mEq/L dan kadar plasma AVP meningkat sesuai dengan peningkatan kadar natrium pada orang normal. Sebaliknya, peningkatan pelepasan AVP pada pasien dengan cranial diabetes insipidus (CDI) hanya sangat minimal atau bahkan tidak terjadi.[12]
Evaluasi Pituitari
Pada MRI orang normal, pencitraan T1-weighted akan menampakkan sinyal hiperintens di pituitari posterior. Pada pasien dengan CDI dan kebanyakan pasien NDI, sinyal ini tidak tampak.
Selain itu, pengukuran hormon-hormon pituitari, termasuk AVP, perlu dilakukan pada pasien yang mengalami cedera otak traumatik, dan dicurigai memiliki komplikasi diabetes insipidus.[2]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra