Diagnosis Diabetes Mellitus Tipe 1
Diagnosis diabetes mellitus tipe 1 perlu dicurigai pada pasien yang mengalami gejala hiperglikemia, seperti polidipsia, poliuria, dan polifagia, disertai riwayat yang mengarah pada kemungkinan autoimunitas terhadap sel beta pankreas. Pasien umumnya terdiagnosis saat anak atau remaja, namun juga bisa mengalami onset akut saat dewasa. Pasien juga bisa datang dalam kondisi ketosis.[3,7,12]
Anamnesis
Banyak pasien yang menderita diabetes mellitus tipe 1 tidak memiliki gejala awal sehingga deteksi dini dari penyakit ini cukup sulit. Gejala klinis pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 umumnya berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan menurunnya berat badan secara signifikan meskipun pasien makan dengan adekuat. Meski demikian, pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 juga bisa terdiagnosis setelah berada dalam kondisi akut, yaitu ketoasidosis diabetik.
Kelelahan dan kelemahan dapat disebabkan oleh pengecilan otot akibat keadaan katabolik defisiensi insulin, hipovolemia, dan hipokalemia. Kram otot dapat terjadi akibat gangguan elektrolit. Pasien juga bisa mengeluhkan penglihatan kabur karena kondisi hiperosmolar pada lensa dan humor vitreus.
Keluhan lain yang sering dialami adalah gangguan gastrointestinal seperti mual, nyeri perut, dan perubahan pola defekasi. Pasien juga bisa mengeluhkan nyeri kuadran kanan atas akibat adanya perlemakan hati akut.
Pada kasus hiperglikemia yang berkepanjangan, pasien akan mengalami neuropati yang ditandai dengan mati rasa dan kesemutan di kedua tangan dan kaki, dalam pola sarung tangan dan stoking. Keluhan umumnya bersifat bilateral dan simetris.[1,2,13]
Membedakan Diabetes Mellitus Tipe 1 dan Tipe 2
Membedakan apakah orang dewasa dengan diabetes yang baru didiagnosis mengalami diabetes mellitus tipe 1 atau diabetes mellitus tipe 2 cukup sulit karena tidak ada fitur klinis yang spesifik. Kesalahan klasifikasi diabetes pada orang dewasa sangat umum terjadi.
Secara garis besar, pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 didiagnosis pada usia yang lebih muda (<35 tahun) dan memiliki indeks massa tubuh (IMT) yang lebih rendah (<25 kg/m2). Pasien diabetes mellitus tipe 1 juga lebih rentan mengalami penurunan berat badan, ketoasidosis, dan kadar glukosa melebihi 20 mmol/L (>360 mg/dL).[3]
Komplikasi
Anamnesis juga perlu menggali kemungkinan adanya komplikasi diabetes mellitus tipe 1. Tanyakan mengenai riwayat pemeriksaan mata, ginjal, profil lipid, dan kondisi kardiovaskular, beserta hasilnya. Jika pasien telah diketahui mengalami komplikasi mikro atau makrovaskular, gali langkah terapi yang telah dilakukan.[1,2,13]
Riwayat Pengobatan
Jika menangani pasien yang sudah terdiagnosis diabetes mellitus tipe 1, dokter perlu menanyakan mengenai regimen terapi yang digunakan. Tanyakan jenis insulin yang dipakai, berapa dosisnya, dan apakah ada terapi tambahan lain selain insulin.
Gali juga mengenai seberapa baik kontrol glikemik pasien. Seberapa sering pasien melakukan pengecekan gula darah mandiri, kontrol ke dokter, serta apakah pasien pernah dirawat inap akibat diabetes mellitus tipe 1 yang dideritanya.[1-3,7,13]
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik pada pasien diabetes mellitus tipe 1 bisa normal. Jika pasien datang dalam keadaan akut, yaitu ketoasidosis diabetik, bisa didapatkan respirasi Kussmaul, tanda-tanda dehidrasi, hipotensi, dan perubahan status mental.
Pada pasien yang sudah terdiagnosis, hasil pemeriksaan fisik dapat menunjukkan tanda dari komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Pemantauan berkala setiap 3 bulan diperlukan. Pasien akan menjalani pemeriksaan funduskopi untuk retinopati dan pengujian monofilamen untuk neuropati perifer.
Tanda Vital
Hipotensi ortostatik dapat ditemukan pada pasien yang mengalami komplikasi neuropati autonom. Selain itu, jika pasien datang dengan tanda respirasi Kussmaul, maka ketoasidosis diabetik perlu dicurigai.
Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi dilakukan berkala pada pasien yang sudah terdiagnosis. Jika ditemukan adanya eksudat pada retina ataupun kelainan lain yang mencurigakan, maka pasien harus dirujuk ke spesialis mata.
Pemeriksaan Kaki
Pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dapat mengalami komplikasi jangka panjang berupa penyakit arteri perifer ataupun neuropati. Kedua kondisi ini, pada ekstremitas bawah, memiliki kontribusi sangat besar terhadap terjadinya ulkus kronis yang sering disebut diabetic foot. Lakukan pemeriksaan kaki pada setiap kunjungan dan waspadai kemungkinan terjadinya ulkus diabetikum yang meningkatkan risiko amputasi.[1-3,7,12,13]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding utama dari diabetes mellitus tipe 1 adalah diabetes mellitus tipe 2. Diagnosis banding lain yang perlu dipikirkan adalah tumor endokrin dan glukosuria renal.
Diabetes Mellitus Tipe 2
Pada diabetes mellitus tipe 2 juga terjadi hiperglikemia dengan manifestasi klinis yang sulit dibedakan dari diabetes mellitus tipe 1. Pada diabetes mellitus tipe 1 terjadi defisiensi insulin, sehingga pasien membutuhkan insulin eksogen. Sementara itu, pada diabetes mellitus tipe 2 terjadi resistensi insulin dengan defisiensi insulin. Pada pemeriksaan laboratorium, pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 tidak memiliki autoantibodi.[6,9]
Tumor Endokrin
Tumor endokrin dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa sebagai akibat dari gangguan produksi hormon. Pada kondisi ini tidak ditemukan autoantibodi terhadap sel beta pankreas. Pemeriksaan dengan CT scan atau MRI dapat mengonfirmasi diagnosis.
Glukosuria Renal
Pada pasien dengan glukosuria renal, glukosa terdeteksi pada urine meskipun pasien memiliki kadar glukosa darah yang normal. Kondisi ini dapat terjadi akibat kelainan genetik autosomal atau disfungsi tubulus ginjal proksimal. Proses fisiologis pada ibu hamil juga bisa menyebabkan glukosuria sebagai akibat adanya peningkatan beban glukosa dan peningkatan laju filtrasi glukosa.[1,2,8]
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus tipe 1 diperlukan beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan gula darah, hemoglobin A1C, dan pemeriksaan autoantibodi sel beta pankreas.[2,3]
Pemeriksaan Gula Darah
Pasien diabetes mellitus tipe 1 memiliki kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL atau kadar glukosa darah sewaktu atau Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ≥ 200 mg/dL. Perlu dicatat bahwa pemeriksaan ini hanya menunjukkan kondisi hiperglikemia, tetapi tidak bisa membedakan diabetes mellitus tipe 1 dari diagnosis banding lainnya.
Pada pasien yang sudah terdiagnosis, pemeriksaan gula darah perlu dilakukan 3-4 kali dalam sehari bila pasien memperoleh beberapa injeksi insulin dalam satu hari atau dalam terapi pompa insulin. Walaupun demikian, pemeriksaan gula darah ini tidak selamanya akurat karena bergantung pada akurasi alat dan faktor sampel seperti kadar hematokrit, oksigen darah, pH, dan adanya substansi lain yang mengganggu.[2]
Hemoglobin A1C (HbA1C)
Pemeriksaan hemoglobin A1C (HbA1C) dapat digunakan untuk mendiagnosis diabetes dengan ambang batas ≥ 6,5%. Pasien tidak perlu puasa saat akan melakukan tes HbA1C.[2,13]
Pada pasien yang sudah terdiagnosis diabetes mellitus tipe 1, kadar HbA1C diharapkan dapat dijaga kurang dari 7%. Pemeriksaan ini dilakukan paling tidak 2 kali dalam 1 tahun untuk mengevaluasi keberhasilan terapi. Bila target tidak tercapai, maka diperlukan perubahan pada penatalaksanaan yang selama ini tengah dijalani.[2]
Pemeriksaan Autoantibodi
Diabetes mellitus tipe 1 dapat diidentifikasi dengan penanda genetik dan kehadiran autoantibodi spesifik. Penanda antibodi dari autoimun terhadap sel beta pankreas antara lain GAD (glutamic acid decarboxylase antibody), IA-2 (islet antigen-2), IAA (insulin antibody), dan ICA (islet cell cytoplasmic antibody). Sebanyak 85-90% pasien yang memiliki autoantibodi ini pada akhirnya akan menderita penyakit diabetes mellitus tipe 1.[2,3]
Pemeriksaan C-Peptida
C-peptida dapat diperiksa untuk membantu membedakan antara diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Pada diabetes mellitus tipe 1, pankreas memproduksi sedikit atau tidak sama sekali insulin dan C-peptida. Sementara itu, pada diabetes mellitus tipe 2, pankreas memproduksi insulin tetapi terjadi resistensi, sehingga kadar C-peptida lebih tinggi.[2]
Pemeriksaan Laboratorium Lainnya
Pengukuran keton urine dapat dilakukan untuk penapisan adanya ketonemia. Meski demikian, pemeriksaan ini tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis atau memantau ketoasidosis diabetik. Sebagai gantinya, dapat dilakukan pemeriksaan kadar aseton plasma, seperti kadar beta-hidroksibutirat, bersama dengan pengukuran bikarbonat plasma atau pH arteri.[2]
Penulisan pertama oleh: dr. DrRiawati MMedPH