Diagnosis Abses Perianal
Diagnosis abses perianal dicurigai berdasarkan keluhan nyeri dan bengkak pada regio perianal. Pada inspeksi anoperineal, dapat terlihat eritema superfisial, disertai fluktuasi dan nyeri tekan.[6]
Anamnesis
Pasien dengan abses perianal biasanya mengeluhkan nyeri sekitar anus, dengan bengkak dan kemerahan. Karakteristik nyeri pada umumnya terasa tumpul, tetapi bisa juga dirasakan sebagai nyeri yang tajam, ngilu, atau berdenyut. Nyeri dirasakan terus-menerus, dan dapat diperburuk dengan gerakan atau akibat peningkatan tekanan pada perineum, misalnya karena duduk lama atau saat berdefekasi.
Bila abses pecah spontan, maka pasien mungkin melaporkan adanya cairan bernanah dan darah yang mengalir keluar. Gejala lain juga kadang menyertai, di antaranya demam, menggigil, konstipasi, dan diare. Hal ini terutama ditemukan pada abses ischiorectal.
Abses yang letaknya lebih dalam, terkadang sulit didiagnosis. Riwayat sepsis,infeksi pelvis, dan Crohn’s disease dapat mengarahkan kecurigaan pada abses letak dalam. Pada pasien dengan kecurigaan abses akibat Crohn’s disease, mungkin akan diperlukan pencitraan, misalnya dengan computed tomography (CT) scan abdomen atau magnetic resonance imaging (MRI).
Dokter juga sebaiknya menanyakan riwayat seksual pasien, untuk menyingkirkan kecurigaan adanya penyakit menular seksual, misalnya sifilis, yang juga dapat menyebabkan lesi perianal. Selain itu, riwayat penurunan berat badan berlebihan juga perlu ditanyakan, untuk membedakan dengan benjolan akibat keganasan, misalnya kanker rektum.[2–4,17]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berperan penting dalam diagnosis abses perianal. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital, biasanya didapatkan hasil yang normal, sebab hanya 21% pasien yang mengalami demam.
Pada inspeksi regio perianal, dapat tampak massa subkutan yang eritema, berbatas tegas, dan fluktuatif. Dokter juga perlu memperhatikan adanya hemoroid atau fissura ani, untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab nyeri perianal yang lain. Diagnosis selulitis perlu dipertimbangkan jika kemerahan pada perianal meluas ke area tanpa fluktuasi.
Digital rectal examination atau colok dubur juga sebaiknya dilakukan, terutama pada abses letak dalam. Pada colok dubur, dapat teraba massa indurasi yang fluktuatif. Terkadang, pemeriksaan colok dubur perlu dilakukan dengan memberikan anestesi pada pasien, sebab jika pasien sangat kesakitan pemeriksaan mungkin menjadi kurang optimal.[2,3]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding abses perianal antara lain hemoroid dan fisura anal. Kedua penyakit ini sama-sama dapat menyebabkan nyeri pada area anus.
Hemoroid
Hemoroid dan abses perianal sama-sama memiliki gejala nyeri pada anus. Hemoroid terjadi akibat pelebaran pembuluh darah pada rektum bagian distal karena adanya kongesti pada vena hemoroidalis. Namun, nyeri pada hemoroid biasanya dirasakan terutama saat buang air besar. Selain itu, pada hemoroid biasanya terdapat perdarahan dan rasa gatal pada anus.[9]
Fisura Ani
Fisura ani merupakan robekan kecil pada mukosa anus, umumnya akibat konsistensi feses yang keras. Pasien dengan fisura anal juga akan mengeluhkan nyeri hebat pada anus. Namun karakteristik nyeri biasanya seperti dirobek, dirasakan 1–2 jam setelah defekasi, dan juga disertai perdarahan. Pada pemeriksaan fisik, akan didapatkan fisura dan nyeri tekan.[10]
Hidradenitis Suppurativa
Salah satu manifestasi klinis hidradenitis suppurativa adalah pembentukan abses. Namun, tidak hanya abses, manifestasi klinis dapat berupa nodul profunda dan jaringan fibrotik. Lesi kulit biasanya terjadi di daerah intertriginosa, termasuk perianal. Namun pada hidradenitis suppurativa, biasanya terdapat gejala prodromal berupa rasa panas, nyeri, gatal, atau hiperhidrosis 12–48 jam sebelum lesi muncul.[11,12]
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis abses superfisial umumnya tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun, computed tomography (CT) scan, ultrasonografi (USG), magnetic resonance imaging (MRI), atau fistulografi dilaporkan bermanfaat dalam penilaian pasien dengan abses anorektal tersembunyi, fistula-in-ano rekuren, dan abses perianal terkait Crohn’s disease.
CT Scan
Studi retrospektif pada pasien dengan abses anorektal menunjukan sensitivitas CT scan sebesar 77% pada pasien imunokompeten. Keunggulan MRI dibandingkan CT scan adalah mampu mengidentifikasi abses beserta jalur fistula yang terbentuk.[4,6]
Magnetic Resonance Imaging
MRI pelvis dilaporkan memiliki positive predictive value 93% dan negative predictive value 90% untuk abses anorektal. MRI memiliki sensitivitas lebih dari 90% untuk fistula-in-ano dan mendeteksi bukaan internal fistula.[6,13]
Ultrasonografi Transperineal
Studi terkait penggunaan endoanal ultrasound (EUS) 2 atau 3 dimensi, dengan atau tanpa peroxide enhancement, juga menunjukan bahwa modalitas ini berguna dalam diagnosis dan klasifikasi abses anorektal dan fistula-in-ano. Gambaran EUS yang sesuai dengan temuan intraoperatif didapatkan pada 73–100% pasien.
Transperineal ultrasound (TPUS) adalah alternatif EUS. TPUS bersifat lebih tidak invasif. Pada studi yang membandingkan EUS dan TPUS untuk pasien dengan Crohn’s disease perianal, di mana EUS digunakan sebagai standar referensi, didapatkan bahwa TPUS memiliki sensitivitas 85% dan positive predictive value 86% untuk fistula anal. Studi yang sama juga menunjukkan nilai diagnosis TPUS sama baik dengan EUS terhadap abses anorektal.[4,6]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra