Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Patofisiologi hiperbilirubinemia berkaitan erat dengan proses metabolisme bilirubin. Hiperbilirubinemia dapat terjadi bila hepar tidak dapat menjalankan metabolisme atau ekskresi bilirubin dengan baik.
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin darah lebih dari 3 mg/dL. Secara klinis, hiperbilirubinemia tampak sebagai ikterus pada jaringan seperti sklera, mukosa, dan kulit, karena penumpukan bilirubin di jaringan–jaringan tersebut.
Metabolisme Bilirubin
Eritrosit memiliki masa hidup kurang lebih 120 hari. Setelah 120 hari, eritrosit difagositosis oleh makrofag pada sistem retikuloendotelial (RES). Hemoglobin (Hb) dari eritrosit dipecah menjadi heme dan globin, sementara heme mengalami degradasi oleh heme oxygenase menjadi biliverdin IX alfa, karbon monoksida, dan Fe.
Biliverdin IX alfa kemudian direduksi oleh biliverdin reduktase menjadi bilirubin tidak terkonjugasi. Bilirubin tidak terkonjugasi masuk ke plasma, kemudian berikatan secara reversibel dengan albumin. Bilirubin tidak terkonjugasi kemudian dibawa ke hepar.[1,3,24]
Dalam hepatosit, bilirubin berikatan dengan glutation–S–transferase dan dibawa ke retikulum endoplasma, untuk dikonjugasi. Bilirubin tidak terkonjugasi mengalami glukuronidasi sebanyak dua kali oleh enzim uridin 5–difosfo–glukoronil–transferase 1A1 (UGT1A1) menjadi bilirubin diglukoronida (bilirubin terkonjugasi).
Bilirubin terkonjugasi lebih larut dalam air dan bersifat kurang sitotoksik. Bilirubin kemudian melewati sistem bilier dan masuk ke usus duodenum. Sebagian kecil bilirubin mengalami reabsorbsi dan masuk ke sirkulasi enterohepatik.[1,3,24]
Di kolon, bilirubin dihidrolisis oleh bakteri menjadi urobilinogen, yang kemudian diekskresikan pada feses. Sebagian urobilinogen dan derivatnya juga direabsorbsi pada kolon, dibawa ke hepar, dan diekskresi ulang atau masuk ke sirkulasi sistemik menuju ginjal untuk kemudian diekskresikan melalui urin.[1,3,24]
Kolestasis terjadi karena adanya gangguan pada aliran cairan empedu, yang dapat disebabkan oleh penyakit pada hepatosit, sistem bilier intrahepatik, maupun ekstrahepatik. Aliran empedu yang inadekuat menyebabkan akumulasi bilirubin, asam empedu, dan lipid pada hepar.[1]
Hiperbilirubinemia Ekstrahepatik dan Intrahepatik
Ikterus adalah manifestasi klinis hiperbilirubinemia yang terjadi karena deposit bilirubin berlebih pada organ akibat gangguan metabolisme atau ekskresi bilirubin. Hiperbilirubinemia dapat terjadi karena kondisi intrahepatik maupun ekstrahepatik.
Hiperbilirubinemia Intrahepatik
Hiperbilirubinemia intrahepatik dapat terjadi karena berbagai kondisi, salah satunya adalah kerusakan pada hepatosit. Kerusakan hepatosit dapat disebabkan oleh infeksi virus hepatitis A, hepatitis B, atau hepatitis C. Infeksi virus lain juga dapat menyebabkan kerusakan hepatosit, seperti virus Epstein–Barr.
Selain infeksi, penyebab lain adalah penyakit yang disebabkan obat, toksin, sirosis hepatis, hepatitis autoimun, penyakit hepar akibat kehamilan, hepatitis yang diinduksi alkohol, Wilson disease, ataupun sindrom Budd–Chiari.[4,9]
Selain gangguan pada hepatosit, kolestasis intrahepatik juga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Kondisi ini terjadi bila transport asam empedu dari hepar ke duodenum terganggu. Penyebab kolestasis intrahepatik antara lain adalah primary biliary cholangitis, primary biliary cirrhosis, dan primary sclerosing cholangitis, yang diduga disebabkan proses autoimun.
Kelainan lainnya seperti reaksi transplantasi (graft–versus–host–disease) juga dapat menyebabkan kerusakan duktus bilier. Fibrosis kistik dapat menyebabkan cystic fibrosis–associated liver disease (CFLD) yang mengganggu aliran empedu.[4,9]
Hiperbilirubinemia Ekstrahepatik
Hiperbilirubinemia ekstrahepatik disebabkan oleh obstruksi bilier. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan obstruksi antara lain adalah koledokolitiasis dan karsinoma pankreas, duktus koledokus, atau ampulla vater.[5,9]
Adenokarsinoma pankreas dapat menyebabkan obstruksi bilier. Obstruksi bilier pada pasien–pasien ini seringkali tanpa nyeri, dan disebabkan karena striktur. Striktur juga dapat disebabkan oleh kondisi jinak, seperti primary sclerosing cholangitis, pankreatitis, kolangitis autoimun, ischemia reperfusion injury setelah transplantasi, ataupun infeksi seperti tuberkulosis dan askariasis.
Selain itu, sindrom Mirizzi dapat menyebabkan hiperbilirubinemia akibat kompresi eksternal batu empedu pada duktus hepatikus komunis.[5,9]
Hiperbilirubinemia Terisolasi
Hiperbilirubinemia terisolasi umumnya ditemukan pada kondisi intrahepatik yang diturunkan. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi dapat ditemukan pada sindrom Crigler–Najjar tipe 1, Crigler–Najjar tipe 2, dan sindrom Gilbert.
Sindrom Crigler–Najjar:
Sindrom Crigler–Najjar tipe 1 adalah keadaan autosomal resesif yang menyebabkan hiperbilirubinemia berat (>20 mg/dL) karena tidak adanya aktivitas UGT1A1.
Crigler-Najjar tipe 2 menyebabkan penurunan aktivitas UGT1A1, sehingga kadar bilirubin berkisar antara 6–25 mg/dL. Pada keadaan sindrom Crigler–Najjar, phenobarbital dapat digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin di bawah 10–15 mg/dL.[1,3,9]
Sindrom Gilbert:
Sindrom Gilbert menyebabkan penurunan aktivitas UGT1A1 dengan hiperbilirubinemia yang lebih ringan.[1,3,9]
Hiperbilirubinemia Terkonjugasi dan Campuran
Hiperbilirubinemia terkonjugasi atau campuran dapat ditemukan pada sindrom Dubin-Johnson atau sindrom Rotor. Sindrom Dubin Johnson menyebabkan mutasi gen MRP2, yang mengakibatkan kelainan transport bilirubin. Sindrom Rotor menyebabkan defisiensi OATP1B1 dan OATP1B3 (hepatic drug transporter).[1,3,25]
Dampak Hiperbilirubinemia
Bilirubin dalam kadar normal dan peningkatan ringan memiliki efek sitoprotektif. Akan tetapi, kadar bilirubin jaringan dan plasma yang meningkat memiliki sifat sitotoksik.
Pada hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi, seperti pada neonatus dan sindrom Crigler–Najjar tipe 1, deposit bilirubin tidak terkonjugasi pada sistem saraf pusat akan menyebabkan bilirubin induced neurologic damage (BIND).[6,26]
Hiperbilirubinemia juga dapat menyebabkan pembentukan kolelitiasis bila terjadi supersaturasi empedu dengan garam kalsium atau kolesterol.[6,26]
Hiperbilirubinemia pada Neonatus
Ikterus pada neonatus adalah kondisi yang umum ditemukan pada neonatus sehat dengan usia gestasi ≥35 minggu. Pada beberapa neonatus, hiperbilirubinemia bisa berkembang menjadi kondisi yang berat seperti kernikterus.
Neonatus memiliki kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang lebih tinggi. Hal ini karena peningkatan degradasi heme, deteksi oleh hepatosit yang rendah, aktivitas UGT1A1 yang rendah, dan peningkatan reabsorbsi setelah dekonjugasi oleh enzim beta–glukoronidase di usus.[7]
Aktivitas enzim UGT1A1 pada neonatus adalah 1% dari aktivitas enzim pada dewasa. Hal ini menyebabkan imaturitas konjugasi bilirubin. Hemolisis merupakan faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia pada neonatus. Hemolisis dapat disebabkan oleh penyakit isoimun hemolitik (Coombs’ test positif), defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (defisiensi G6PD), dan sferositosis herediter.[8]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli