Diagnosis Inkontinensia Alvi
Diagnosis inkontinensia alvi dapat ditegakkan secara klinis dari anamnesis mengenai ketidakmampuan untuk mengontrol pengeluaran feses. Pemeriksaan penunjang hanya diperlukan untuk menentukan penyakit yang mendasari.[2,3]
Anamnesis
Anamnesis awal pada pasien inkontinensia alvi bertujuan untuk menentukan derajat keparahan dan membedakannya dari peningkatan frekuensi dan urgency yang dapat terjadi akibat penyakit inflamasi, irritable bowel syndrome, dan iritasi pelvis.[2]
Anamnesis juga perlu membedakan subtipe, onset, durasi, frekuensi, serta konsistensi dan volume feses. Gali faktor risiko seperti riwayat trauma atau operasi dan dampak gangguan terhadap kehidupan harian.[3]
Subtipe
Inkontinensia alvi terbagi menjadi 3 subtipe, yaitu:
- Inkontinensia pasif: ada pengeluaran feses tanpa disadari akibat suatu penyakit neurologis, gangguan refleks anorektal, atau disfungsi sfingter
Urge incontinence: ada ketidakmampuan untuk menahan defekasi meskipun ada sensasi ingin buang air. Kondisi ini umumnya berkaitan dengan disfungsi sfingter atau ketidakmampuan rektum menahan feses
Fecal seepage: ada pengeluaran feses yang tidak diinginkan, biasanya setelah defekasi dengan normal continence[1]
Derajat Keparahan
Derajat keparahan inkontinensia alvi perlu diukur untuk menentukan penatalaksanaan dan pemantauan respons terhadap terapi. Ada beberapa sistem skoring yang dapat digunakan, misalnya skor Jorge-Wexner dan skor Vaizey.[14,15]
Skor Jorge-Wexner:
Sistem skoring ini umum digunakan untuk menilai efektivitas tindakan operatif. Skor Jorge-Wexner mengevaluasi inkontinensia berdasarkan konsistensi dan frekuensi.[15]
Konsistensi dibedakan menjadi kategori padat, kategori cair, kategori gas, kategori yang membutuhkan pembalut atau popok, dan kategori yang telah menyebabkan perubahan gaya hidup. Kemudian, setiap konsistensi diberikan skor berdasarkan frekuensinya:
- Skor 0: tidak pernah
- Skor 1: jarang, <1 kali per bulan
- Skor 2: kadang-kadang, <1 kali per minggu tetapi >1 kali per bulan
- Skor 3: biasanya, <1 kali per hari tetapi >1 kali per minggu
- Skor 4: selalu, ≥1 kali per hari[14,15]
Skor minimal adalah 0 (normal), sedangkan skor maksimal adalah 20. Skor maksimal ini diinterpretasikan sebagai complete incontinence.[14,15]
Tabel 1. Skor Jorge-Wexner
Tidak pernah | Jarang | Kadang | Biasanya | Selalu | |
Padat | 0 | 1 | 2 | 3 | 4 |
Cair | 0 | 1 | 2 | 3 | 4 |
Gas | 0 | 1 | 2 | 3 | 4 |
Perlu pembalut atau popok | 0 | 1 | 2 | 3 | 4 |
Ada perubahan gaya hidup | 0 | 1 | 2 | 3 | 4 |
Sumber: Hayden DM, 2011.
Skor Vaizey:
Skor Vaizey serupa dengan sistem skoring Jorge-Wexner, tetapi memiliki penambahan 2 penilaian tentang kebutuhan penggunaan obat pencahar dan urgency (berkurangnya kemampuan menahan defekasi selama 15 menit).[8,14]
Frekuensi masing-masing faktor ini diberi skor sebagai berikut:
- Skor 0: tidak pernah, tidak ada episode dalam 4 minggu terakhir
- Skor 1: jarang, 1 episode dalam 4 minggu terakhir
- Skor 2: kadang-kadang, ≥1 episode dalam 4 minggu terakhir tetapi <1 episode per minggu
- Skor 3: biasanya, ≥1 episode per minggu tetapi <1 episode per hari
- Skor 4: selalu, setiap hari, ≥1 episode per hari[14,15]
Skor minimal adalah 0 (normal), sedangkan skor maksimal adalah 24. Skor maksimal ini diinterpretasikan sebagai total incontinence.[14]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik inkontinensia alvi dimulai dengan inspeksi area perianal untuk menilai ada tidaknya feses, bekas luka, ekskoriasi kulit, hemoroid, fistula, atau perineal descent (>3 cm). Selain itu, nilai juga ada tidaknya dermatitis kimia dan prolaps hemoroid atau prolaps rektum.[1-3]
Pada wanita dengan riwayat trauma obstetri, umumnya terdapat cacat sfingter bagian anterior, hilangnya perineal body, atau hilangnya fascia rektovagina. Jika sfingter anal intact, lipatan pada kulit anal tersusun secara radial di sekitar anal. Namun, jika sfingter terganggu dan kulit perineum intact, distribusi radial lipatan kulit anal di bagian anterior tidak akan terlihat.[3]
Pemeriksaan refleks anal dilakukan dengan cara menggores kulit perineal memakai cotton bud untuk menilai kontraksi sfingter anal eksternal. Tidak adanya refleks anal menunjukkan hilangnya spinal arc dan kemungkinan adanya penyakit neurologis.[1-3]
Digital rectal examination dilakukan untuk deteksi patologi anal, seperti impaksi feses atau massa. Pemeriksaan ini juga dapat menilai kekuatan tonus sfingter anal. Pasien diinstruksikan untuk mengejan dan menjepit telunjuk pemeriksa untuk menilai pergerakan dan sudut otot puborektalis, pelvic floor descent, dan kekuatan tonus.[1,2]
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding yang perlu disingkirkan sebelum menegakkan diagnosis inkontinensia alvi adalah kanker kolorektal dan inflammatory bowel disease.
Kanker Kolorektal
Pada kanker kolorektal, terdapat keluhan perubahan bowel habit, feses berdarah, dan riwayat keluarga dengan kanker usus. Kolonoskopi dapat menilai ada tidaknya massa pada kolon, sementara barium enema dapat melihat gambaran apple core stricture.[8]
Inflammatory Bowel Disease (IBD)
Inflammatory bowel disease (IBD) merupakan inflamasi saluran cerna yang terbagi menjadi penyakit Crohn dan kolitis ulseratif. Pada IBD, terdapat keluhan perubahan bowel habit, diare berlendir darah, konstipasi, inkontinensia alvi, nyeri atau perdarahan rektum, urgency, tenesmus, dan nyeri perut.[16,17]
Barium enema akan menunjukkan gambaran lead-pipe/stove-pipe pada kolitis ulseratif kronis. Sementara itu, pada pasien penyakit Crohn, barium enema akan menunjukkan gambaran gambaran rectal sparing, thumbprinting, dan skip lesions.[8,16,18]
Pada endoskopi dan biopsi, terlihat ulserasi pada penyakit Crohn. Mukosa eritematosa, ulserasi, dan friable mucosa akan tampak pada kolitis ulseratif.[8,16,18]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat menentukan penyakit yang mendasari inkontinensia alvi. Pemeriksaan penunjang dapat dibedakan berdasarkan ada tidaknya keluhan diare.
Jika Ada Keluhan Diare
Bila ada keluhan diare, beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah:
- Pemeriksaan feses lengkap untuk menilai osmolalitas, kadar lemak, infeksi, dan insufisiensi pankreas
- Evaluasi gangguan tiroid dan diabetes mellitus
- Evaluasi pertumbuhan bakteri berlebih dan intoleransi laktosa atau fruktosa
- Kolonoskopi untuk evaluasi IBD, massa, striktur, dan ulserasi[2,3,8]
Jika Tanpa Keluhan Diare
Bila tidak ada keluhan diare, pasien mungkin memerlukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik, misalnya manometri anorektal, ultrasonografi endoanal, MRI endoanal, pudendal nerve terminal latency, atau defecography.[2-4,8]
Manometri Anorektal:
Manometri anorektal dapat menilai tekanan maksimal resting anal, amplitudo, durasi squeeze pressure, refleks inhibisi rektoanal, ambang sensasi rektum, rectal compliance, serta tekanan rektoanal saat mengejan.[2]
Ultrasonografi atau USG Endoanal:
Pemeriksaan ini dapat mengukur ketebalan otot sfingter anal internal dan eksternal. Dalam prosedur ini, pasien diposisikan litotomi atau lateral kiri. Defek pada sfingter anal internal dan eksternal akan terdeteksi dengan adanya asimetri konfigurasi “cincin” dari kompleks sfingter, pola hipoekoik, serta perubahan ketebalan dinding otot.[8]
MRI Endoanal:
MRI endoanal dilakukan sebagai alternatif USG endoanal. Defek pada sfingter anal eksternal teridentifikasi lebih jelas dan lebih akurat untuk diagnosis atrofi.[3]
Pudendal Nerve Terminal Latency:
Pudendal nerve terminal latency (PNTL) bisa mengukur waktu yang diperlukan setelah stimulasi saraf pudendal dengan elektroda yang melintasi spina ischiadika untuk menginduksi kontraksi sfingter anal eksternal. Perpanjangan latensi (>2,1 milidetik) menunjukkan kerusakan saraf dan mengindikasikan prognosis yang buruk setelah tindakan perbaikan sfingter.[2,8]
Defecography:
Defecography memakai kontras yang dimasukkan ke dalam rektum untuk mendapat gambaran radiografi selama istirahat, mengejan, dan defekasi, sehingga dapat menilai dasar panggul, pelvic descent, sudut anorektal, adanya rektokel atau intususepsi, serta tingkat penurunan perineum.[2,4]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur