Patofisiologi Keracunan Makanan
Patofisiologi keracunan makanan dibagi berdasarkan mekanisme yang mendasarinya dan patogennya. Secara umum, patofisiologi dapat dibagi menjadi toksin dan nontoksin; patogen pada usus halus dan usus besar; patogen invasif dan noninvasif.
Toksin dan Nontoksin
Beberapa patogen yang menyebabkan keracunan makanan menghasilkan toksin yang menyebabkan manifestasi keracunan. Toksin ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu toksin yang dihasilkan sebelum ditelan dan toksin yang dihasilkan setelah tertelan.[7]
Toksin yang dihasilkan di makanan atau sebelum tertelan umumnya menimbulkan gejala yang lebih cepat, yaitu sekitar 2–12 jam. Toksin ini dapat menyerang sistem gastrointestinal atau sistem saraf pusat. Beberapa patogen yang menghasilkan toksin di luar tubuh adalah Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium botulinum, dan Clostridium perfringens. Umumnya gejala akan menghilang dengan cepat kecuali pada kasus Clostridium botulinum.[7] Salah satu penyakit lain yang dapat menyerang sistem gastrointestinal adalah intoleransi makanan.
Toxin yang diproduksi di dalam tubuh atau terbentuk setelah tertelan memiliki masa inkubasi yang lebih lama yaitu 24 jam atau lebih. Manifestasi yang dihasilkan dapat berupa diare, baik berdarah maupun tidak. Contoh patogen yang menghasilkan toksin dalam tubuh adalah Escherichia coli.[7]
Patogen yang tidak memproduksi toksin akan merusak sel epitel saluran pencernaan dan dapat menginvasi melewati sawar di intestinal. Hal ini dapat menyebabkan diare terus menerus, diare inflamatori, atau infeksi sistemik. Contoh patogen yang tidak memproduksi toksin adalah Cryptosporidium, Shigella, Salmonella, Listeria monocytogenes dan virus.[7]
Lokasi Patogen (Usus Halus dan Usus Besar)
Patogen dapat berada di usus halus maupun usus besar. Patogen di usus halus akan mengganggu sekresi dan absorpsi sehingga diare yang timbul biasanya dalam jumlah banyak dan sangat berair. Diare dalam jumlah banyak ini dapat menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit atau asam basa.[7]
Usus besar memiliki fungsi sekresi dan absorpsi yang lebih sedikit dibandingkan usus halus sehingga diare tidak profus, namun sering mengandug mukus atau darah.[7]
Patogen Invasif dan Noninvasif
Patogen yang bersifat invasif akan menyebabkan diare inflamatori. Proses invasi ini melalui kerusakan sel epitel saluran pencernaan, baik yang dirusak secara langsung, maupun kerusakan oleh sitotoksin. Manifestasi yang timbul biasanya adalah diare berdarah. Pada pemeriksaan feses, dapat ditemukan sel darah putih. Untuk patogen yang tidak menginvasi, epitel saluran pencernaan akan mengalami iritasi dan timbul diare yang berair tanpa adanya sel darah putih pada pemeriksaan feses.[7]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja