Penatalaksanaan Keracunan Makanan
Penatalaksanaan keracunan makanan secara umum adalah rehidrasi, obat-obatan antidiare, dan antiemetik. Di sisi lain, tata laksana khusus diberikan sesuai dengan etiologi penyebab.
Tata Laksana Umum
Rehidrasi merupakan tata laksana suportif yang utama dalam penatalaksanaan keracunan makanan.
Rehidrasi
Rehidrasi dapat diberikan menggunakan cairan rehidrasi oral yang telah distandarisasi oleh WHO. Larutan ini mengandung elektrolit dan karbohidrat yang seimbang. Terapi ini terbukti dapat menangani dehidrasi pada segala kelompok usia, terutama pada anak dengan risiko dehidrasi yang lebih tinggi.[23,25]
Untuk anak, jumlah cairan yang diberikan adalah:
- Pasien tanpa dehidrasi: 5-10 mL/kgBB setiap diare cair atau muntah
- Dehidrasi ringan-sedang: 75 mL/kgBB dalam 3 jam dan 5 – 10 mL/kg setiap diare cair atau muntah
- Dehidrasi berat: 30 mL/kgBB dalam 60 menit untuk anak di bawah usia 12 bulan dan dalam 30 menit untuk anak diatas 12 bulan, dilanjutkan 70 mL/kg dalam 5 jam berikutnya[26]
Anak yang sedang diberikan ASI dapat terus melanjutkan ASI. Pemberian cairan lain seperti jus, minuman bersoda, atau minuman elektrolit untuk olahraga sebaiknya dihindari. Pasien dewasa dapat diberikan cairan sebanyak yang dapat diberikan (kira-kira 3 sampai 4 liter dalam satu hari).[27,28]
Antidiare dan Antiemetik
Antidiare seperti antimotilitas, antikolinergik, maupun adsorben tidak direkomendasikan diberikan kepada anak, terutama anak berusia di bawah 2 tahun.[29] Akan tetapi, pemberian loperamide dan bismuth subsalisilat dinilai efektif pada pasien dewasa dengan diare.[30]
Penggunaan antiemetik pada anak dapat mengurangi gejala, kebutuhan rawat inap, dan pemberian cairan melalui intravena. Ondansentron dosis tunggal pada anak dapat digunakan untuk mengurangi muntah.[31]
Tata Laksana Khusus
Tata laksana khusus untuk keracunan makanan yang belum diketahui penyebabnya adalah pemberian antibiotik empiris.
Antibiotik Empiris
Antibiotik empiris dapat diberikan pada kasus keracunan makanan yang mengalami demam, tanda penyakit invasif, gejala menetap lebih dari satu minggu, atau membutuhkan rawat inap. Antibiotik yang diberikan adalah fluorokuinolon untuk dewasa dan kotrimoksazol pada anak.[23]
Tata Laksana Khusus untuk Keracunan Makanan Akibat Bakteri
Keracunan makanan yang diakibatkan oleh Clostridium perfringens, Enterohemorrhagic E. coli, dan staphylococcus aureus tidak memiliki tata laksana spesifik. Tata laksana khusus untuk penyebab bakterial lainnya dapat dilihat pada Tabel 5.[8,9]
Tabel 6. Tata Laksana Khusus untuk Keracunan Makanan Akibat Bakteri
Patogen | Tata Laksana Khusus |
Bacillus anthracis | Penisilin atau ciprofloxacin |
Bacillus cereus | Suportif |
Brucella | Rifampin dan doxycycline selama minimal 6 minggu atau rifampin, tetracycline dan aminoglikosida untuk infeksi dengan komplikasi |
Campylobacter jejuni | Erythromycin atau kuinolon jika ada infeksi berat |
Clostridium botulinum | Antitoxin IV berguna jika diberikan saat awal, persiapan ventilasi mekanik jika terjadi gagal respirasi |
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) | Antibiotik jika ditemukan diare persisten |
Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) | Rifaximin, fluorokuinolon, atau azithromycin jika terjadi infeksi berat |
Listeria monocytogenes | Ampicillin untuk infeksi invasif |
Salmonella | Ciprofloksasin, ceftriaxone, dan kotrimoksazol untuk pasien dengan risiko tinggi infeksi berat |
Shigella | Antibiotik untuk infeksi berat |
Vibrio cholerae | Tetracycline atau doxycycline untuk dewasa, kotrimoksazol untuk anak di bawah 8 tahun (pada kasus yang telah dikonfirmasi) |
Vibrio parahaemolyticus | Antibiotik diperlukan untuk kasus dengan komplikasi ● Tetracycline untuk kasus ringan ● Sefalosporin generasi ketiga untuk bakteremia |
Vibrio vulnificus | Tetracycline, doksisiklin, dan ceftazidime jika infeksi berat |
Yersinia | Fluoroquinolone, aminoglikosida, kotrimoksazol, dan sefalosporin generasi ketiga jika terdapat infeksi berat |
Sumber: dr. Shofa, Alomedika, 2019.[8,9]
Tata Laksana Khusus untuk Keracunan Makanan Akibat Virus
Keracunan makanan akibat hepatitis A dan rotavirus tidak memerlukan tata laksana spesifik. Keracunan makanan akibat norovirus dapat ditata laksana menggunakan nitazoksanid.
Tata Laksana Khusus untuk Keracunan Makanan Akibat Parasit
Tata laksana khusus untuk keracunan makanan akibat parasit dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Tata Laksana Khusus untuk Keracunan Makanan Akibat Parasit
Patogen | Tata Laksana Khusus |
Angiostrongylus cantonensis | Pungsi lumbal dan analgetik untuk meningitis eosinofilik, kortikosteroid, antihelmintik, pembedahan untuk mengambil cacing di mata (hanya untuk infeksi berat) |
Anisakiasis | Albendazole atau pembedahan untuk mengambil larva |
Cryptosporidium | Nitazoksanid |
Cyclospora cayetanesis | Kotrimoksazol (lini pertama); ciprofloxacin atau nitazoksanid (untuk pasien alergi sulfametoksazol) |
Entamoeba histolytica | Metronidazole + agen luminal (iodoquinol atau paromomisin) |
Giardia lamblia | Metronidazole, tinidazol, atau ornidazol |
Toxoplasma gondii | ● Dewasa: Pirimetamin + sulfadiazin + asam folinit (luekovorin) ● Hamil trimester pertama dan kedua: Spiramisin ● Hamil trimester ketiga: Pirimetamin + sulfadiazin + leukovorin ● Infeksi kongenital: Pirimetamin + leukovorin selama 1 tahun |
Trichinella | Antiparasit (mebendazole atau albendazole) + steroid untuk infeksi berat |
Sumber: dr. Shofa, 2019.[8,9]
Tata Laksana Khusus untuk Keracunan Makanan Noninfeksius
Kebanyakan penyebab noninfeksius tidak memerlukan tata laksana khusus. Penyebab noninfeksius yang membutuhkan tata laksana khusus dan tata laksananya dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Tata Laksana Khusus untuk Keracunan Makanan Noninfeksius
Patogen | Tata Laksana Khusus |
Arsenik | Whole bowel irrigation dengan polyethylene glycol jika pasien kooperatif dan sadar penuh, terapi kelasi |
Nitrit | Methylene blue |
Pestisida | Atropin dan/atau pralidoksim |
Scombroid | Antihistamin atau epinefrin untuk kasus berat |
Toksin ciguatera | Manitol IV ketika ada gangguan neurologis berat |
Toksin pada hewan laut | Suportif, pada kasus paralitik membutuhkan ventilasi mekanik |
Toksin jamur kerja lambat | Suportif, pada kasus berat membutuhkan ventilasi mekanik |
Sumber: dr. Shofa, 2019.
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja