Penatalaksanaan Prolaps Rektum
Tata laksana definitif untuk prolaps rektum adalah terapi operatif yang dibagi menjadi prosedur abdominal dan perineal. Terapi non operatif tidak dianjurkan karena hanya akan memperburuk gangguan fungsi dan menurunkan kualitas hidup.
Terapi farmakologi diberikan hanya untuk mengurangi gejala (simptomatik), tetapi bukan merupakan tata laksana definitif. Hal ini kembali lagi pada kondisi masing-masing pasien seperti usia, penyakit komorbid, derajat keparahan, dan keputusan pasien.[1,4]
Pembedahan
Berdasarkan jenis pendekatannya, prosedur operatif untuk prolaps rektum dibagi menjadi pendekatan abdomen dan perineal. Masing-masing pendekatan mempunyai kelebihan dan keterbatasan, serta indikasi yang berbeda.[8,13]
Prosedur Abdominal
Prosedur ini mencegah rekurensi 4 kali lebih baik serta tidak mengganggu fungsi rektum dibandingkan dengan prosedur perineal. Prosedur ini diterapkan pada pasien yang masih muda dan sehat. Akan tetapi, tingkat morbiditas dan mortalitas pada prosedur ini sedikit lebih tinggi dibandingkan prosedur perineal. Prosedur abdominal ini terdiri dari anterior resection, mesh rectopexy, dan suture rectopexy.[8,13]
Anterior Resection:
Pasien dengan prolaps rektum umumnya memiliki usus yang lebih panjang atau redundant colon. Pada prosedur anterior resection, dilakukan reseksi pada redundant colon, dengan harapan akan mengurangi rekurensi prolaps rektum dan memperbaiki fungsi. Reseksi redundant colon dilakukan pada bagian kolon sigmoid, kemudian kolon bagian ujungnya akan dilakukan anastomosis dengan bagian atas rektum, sehingga rektum akan terangkat ke atas.
Akan tetapi saat ini, prosedur ini jarang dilakukan mengingat pada beberapa kasus, tingkat rekurensi justru meningkat dalam 2, 5, dan 10 tahun mencapai 3%, 6%, dan 12%. Selain itu, apabila reseksi dilakukan terlalu rendah, maka akan terjadi gangguan fungsi defekasi secara permanen. Maka dari itu, prosedur ini tidak direkomendasikan.[4,8,13,14]
Mesh Rectopexy:
Pada prosedur mesh rectopexy (Ripstein procedure), sebuah mesh nonabsorbable akan diletakan pada dinding anterior rektum yang immobile dan difiksasi pada fascia presacral, dibawah promontorium sakrum. Kemudian mesh akan dijahit ke dinding anterior rektum, dan sisi lain mesh akan dijahit ke fascia presacral, sehingga rektum tertarik ke atas dan posterior.
Hal ini bertujuan untuk mencegah rekurensi. Tingkat rekurensi pada prosedur ini mencapai 4-10%, tetapi komplikasi mencapai 50%. Hal ini karena penempatan mesh. Komplikasi tersebut dapat berupa obstruksi kolon, obstruksi usus halus, erosi akibat mesh, cedera dan fibrosis uretra, fistula rektovaginal, impaksi feses.
Oleh karena itu, metode ini dimodifikasi dengan cara memfiksasi posterior mesh ke sakrum dengan perlekatan bagian ujung mesh ke rektum secara lateral. Hal ini membuat komplikasi semakin minimal mencapai 20%.
Fiksasi dengan menggunakan mesh sempat diganti dengan Ivalon sponge (polyvinyl alcohol), dengan harapan dapat meminimalisasi skar dan jaringan fibrotik oleh reaksi inflamasi yang ditimbulkan mesh, namun angka komplikasi tetap tinggi. Selain itu, penggantian material mesh dengan bahan polyester atau polypropylene cukup banyak digunakan, terutama pada metode laparoskopi.[4,8,13,14]
Suture Rectopexy:
Prosedur suture rectopexy ini mirip dengan prosedur mesh retroflex. Akan tetapi, fiksasi menggunakan mesh diganti dengan jahitan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir skar dan jaringan fibrotik yang disebabkan prosedur mesh. Angka rekurensi pada prosedur ini mencapai 3–9%.
Prosedur ini menimbulkan komplikasi konstipasi atau memperburuk komplikasi preoperatif yang telah ada sebelumnya. Penyebabnya belum diketahui secara pasti. Kombinasi dengan reseksi redundant colon sigmoid dapat mengurangi angka rekurensi mencapai 2–5%, serta meminimalisasi gangguan konstipasi pada pasien dengan konstipasi preoperatif. Namun reseksi ini tidak perlu dilakukan pada pasien tanpa gejala konstipasi preoperatif. Selain itu, dilakukannya reseksi juga dapat memperbaiki gejala inkontinensia alvi.[4,8,13,14]
Prosedur Perineal
Prosedur perineal dapat dilakukan tanpa anestesi umum, dimana hal ini dapat mengurangi durasi perawatan dan komplikasi lebih minimal, sehingga dapat dilakukan untuk pasien dengan usia tua, dan/atau disertai penyakit komorbid.
Akan tetapi, tingkat rekurensinya 4 kali lebih tinggi dibandingkan prosedur abdominal. Teknik operasi dengan prosedur perineal terdiri dari delorme mucosal sleeve resection dan perineal rectosigmoidectomy. Prosedur transperineal untuk memperbaiki prolaps organ pelvis sudah tidak lagi melakukan pemasangan mesh, karena menurut FDA pemasangan mesh tidak efektif dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai keamanannya.[8,13,17]
Delorme Mucosal Sleeve Resection:
Indikasi dilakukannya prosedur ini yaitu pada full-thickness prolaps rektum serta bagian yang prolaps cukup pendek. Prosedur dilakukan dengan cara melakukan insisi secara sirkumferensial pada mukosa rektum dekat linea dentata, kemudian bagian mukosa dilepaskan, dan direseksi dari dinding rektum.
Setelah itu, lapisan muskularis dijahit secara vertikal. Angka rekurensi mencapai 10–15%. Apabila bagian yang prolaps cukup panjang, maka angka rekurensi dapat lebih tinggi maka tidak cocok untuk dilakukan prosedur ini.
Komplikasi seperti infeksi, retensi urin, perdarahan, dan impaksi feses ditemukan pada beberapa kasus. Gangguan pola defekasi seperti konstipasi dan inkontinensia alvi ditemukan membaik setelah dilakukan prosedur ini. Prosedur ini dianjurkan karena lebih rendah risikonya dibandingkan prosedur abdominal, terutama jika terdapat penyakit komorbiditas dan mencegah kerusakan sistem saraf.[4,8,13,15]
Perineal Rectosigmoidectomy:
Prosedur ini dilakukan dengan cara reseksi rektum dan kolon sigmoid via anus, kemudian dilakukan anastomosis. Sebelum dilakukan anastomosis, umumnya dilakukan lipatan muskulus levator ani ke arah anterior untuk memperbaiki fungsi inkontinensia.
Prosedur ini dapat dilakukan tanpa anestesi umum, dimana hal ini dapat mengurangi durasi perawatan, komplikasi lebih minimal (<10%) seperti perdarahan, abses pelvis, dan kebocoran dari anastomosis. Pasien dengan usia tua dan penyakit komorbid juga lebih aman melakukan prosedur ini. Akan tetapi, angka rekurensi dengan prosedur ini lebih besar yaitu mencapai 16-30%.[4,8,13,15]
Reduksi Manual
Terapi non-operatif pada pasien prolaps rektum, yaitu reduksi manual masa prolaps dengan atau tanpa anestesi. Akan tetapi, terapi ini tidak direkomendasikan, karena prolaps rektum tidak dapat membaik dengan sendirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, derajat prolaps akan bertambah.
Selain itu, yang harus pasien ketahui bahwa semakin lama pasien menunda terapi operatif, maka semakin besar kemungkinan pasien mengalami gangguan defekasi seperti inkontinensia alvi secara permanen. Hal ini disebabkan karena dilatasi mukosa rektum kronis yang menyebabkan tonus sfingter ani menurun dan kerusakan sistem saraf. Kerusakan ini bersifat non-reversible, sehingga dapat menyebabkan penurunan fungsi defekasi secara permanen.[1,4,8]
Medikamentosa
Terapi farmakologi pada kasus prolaps rektum diberikan hanya untuk mengurangi gejala (simptomatik) seperti konstipasi kronik, diare kronis, prolaps rektum berukuran kecil, perdarahan, atau pada kondisi tertentu dimana tidak memungkinkan untuk dilakukannya terapi operatif.
Terapi yang dapat diberikan berupa pelunak feses atau stool softener seperti laktulosa, antispasmodik, dan analgesik, seperti paracetamol. Terapi farmakologi bukan terapi definitif prolaps rektum.[1,4]
Terapi Suportif
Terapi suportif pada pasien dengan prolaps rektum meliputi konseling nutrisi, edukasi untuk menghindari mengejan, serta aktivitas fisik seperti Kegel exercise. Belum ada panduan nutrisi baku untuk pasien dengan prolaps rektum. Akan tetapi, diet tinggi serat merupakan diet yang disarankan untuk prolaps rektum. Selain itu, pada pasien postoperasi pemberian cairan intravena mungkin harus dipertahankan sampai fungsi usus kembali normal.[4,6]
Kegel exercise dapat membantu memperkuat otot-otot yang membentuk pelvis, sehingga mungkin benefisial untuk pasien dengan prolaps rektum. Selain itu, keadaan lain yang dapat dimodifikasi seperti konstipasi dan diare kronis harus dicari penyebabnya dan dilakukan terapi untuk mencegah terjadinya rekurensi prolaps rektum.[4,6]
Biofeedback
Biofeedback dilakukan dengan menggunakan sensor elektrik, kemudian tubuh akan menerima sensor dan membuat feedback terhadap sensor tersebut, misalnya dengan melakukan relaksasi otot. Biofeedback dapat dilakukan pada untuk mencegah terjadinya prolaps rektum, memperbaiki otot-otot yang membentuk pelvic floor agar dapat berkontraksi secara sinergis, dan mencegah agar tidak mengejan berlebihan.
Biofeedback ini juga dapat digunakan untuk pasien postoperasi, supaya kontraksi otot yang membentuk pelvic floor menjadi sinergis, sehingga mencegah rekurensi. Akan tetapi, biofeedback ini mungkin hanya akan berguna pada pasien prolaps rektum yang memiliki kontraksi paradoksal, yaitu gangguan kontraksi otot yang membentuk pelvic floor yang kontraksi saat defekasi, dimana normalnya relaksasi.[4,6]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli