Epidemiologi Anemia Sel Sabit
Data epidemiologi anemia sel sabit atau sickle cell anemia menunjukkan adanya kecenderungan penyakit ini timbul pada etnis tertentu, termasuk keturunan Afrika, Mediterania, atau Hispanik-Amerika. Di Asia, prevalensi penyakit sel sabit paling banyak ditemukan di India. Sementara itu, data epidemiologi anemia sel sabit di Indonesia masih sangat terbatas.[3,4]
Global
Data epidemiologi global menunjukkan penyakit sel sabit lebih sering ditemukan pada etnis Afrika, dengan prevalensi yang lebih rendah pada etnis Mediterania Timur dan populasi Timur Tengah. Di Amerika Serikat, diperkirakan sebanyak 100,000 orang memiliki penyakit sel sabit. Lebih dari 2 juta orang di Amerika Serikat dengan keturunan Afrika-Amerika merupakan karier gen sel sabit, dan anemia sel sabit adalah bentuk kelainan darah herediter yang paling sering ditemukan.[3-5]
Berdasarkan studi yang mengamati beban penyakit sel sabit secara global dari tahun 2000-2021, terdapat peningkatan tingkat kelahiran anak dengan penyakit sel sabit sebesar 13,7%, menjadi sebanyak 515,000. Peningkatan ini dipengaruhi oleh peningkatan populasi di area Karibia dan area sub-sahara Afrika. Di Asia Selatan, prevalensi tertinggi penyakit sel sabit ditemukan di India, dengan perkiraan sebanyak lebih dari 20 juta pasien.[3,5,13]
Indonesia
Data epidemiologi terkait anemia sel sabit di Indonesia masih sangat minim. Angka kelahiran anak dengan anemia sel sabit diperkirakan sangat rendah di Indonesia, yakni 0–5 kasus per tahun.[3,14]
Mortalitas
Tingkat mortalitas anemia sel sabit tinggi terutama pada usia awal kehidupan anak. Berdasarkan studi terbaru pada area Sub-Sahara Afrika, tingkat mortalitas anemia sel sabit mencapai 15,3% pada usia bayi, 36,4% pada balita, dan 43,3% pada anak usia <10 tahun. Angka ini telah menunjukkan perbaikan dibandingkan data tingkat mortalitas sebelumnya yakni mencapai 50-90% pada anak usia <5 tahun.[3,7,15]
Dibandingkan dengan negara berpendapatan rendah, tingkat mortalitas penyakit sel sabit lebih rendah pada negara maju. Hal ini berhubungan dengan mulai diberlakukannya vaksinasi yang melindungi dari infeksi pneumokokus, peningkatan tindakan skrining secara intensif, serta kemajuan pengembangan terapi.[3,5,7]
Penulisan pertama oleh: dr. Reren Ramanda