Penatalaksanaan Anemia Sel Sabit
Penatalaksanaan anemia sel sabit, atau sickle cell anemia, meliputi manajemen nyeri akut dan kronik, pemberian hydroxyurea sebagai disease modifier drug, transfusi darah sesuai indikasi, serta tata laksana suportif untuk komplikasi yang mungkin muncul.[4,5]
Manajemen Nyeri Akut
Manajemen nyeri akut harus disesuaikan dengan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Terapi analgesik idealnya diberikan dalam 30 menit awal sejak pasien datang sembari mengevaluasi penyebab nyeri. Terapi dapat berupa obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), opioid, atau anestesi regional disesuaikan dengan derajat nyeri yang dialami.[4–6]
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS)
Analgesik dapat diberikan pada pasien dengan nyeri ringan menggunakan OAINS, seperti ibuprofen dan ketorolac, atau analgesik nonopioid lain. Akan tetapi, untuk mengurangi risiko terjadinya gagal ginjal akut dan toksisitas gastrointestinal, pemilihan terapi sebaiknya menimbang rasio manfaat dan risiko, serta klinis masing-masing pasien. Terapi nyeri ini tidak disarankan melebihi 5–7 hari.[4–6]
Opioid
Opioid dapat diberikan pada pasien dengan nyeri yang lebih berat. Dosis opioid harus dipersonalisasi sesuai kondisi pasien. Gunakan dosis opioid berdasarkan dosis opioid kerja cepat yang selama ini pasien konsumsi di rumah. Opioid dapat diberikan secara subkutan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk diberikan secara parenteral. Evaluasi nyeri tiap 15–30 menit sekali dan naikkan dosis opioid sebanyak 25% secara perlahan hingga nyeri terkontrol.[4–6]
Pemberian morfin secara intravena dilakukan per jam pada awalnya. Setelah dosis efektif didapatkan, morfin diberikan setiap 3 jam sekali. Setelah 24–48 jam, dan nyeri pasien sudah terkontrol, morfin oral lepas perlahan atau sustained-release oral morphine dapat diberikan dengan dosis yang setara. Pasien dapat dipulangkan dari rawat inap bila kondisi pasien telah jauh membaik.[4–6]
Ketamine
Pada pasien nyeri akut yang tidak membaik dengan opioid dapat diberi infus ketamine sebagai terapi tambahan. Dosis yang direkomendasikan dimulai dari 0,1–0,3 mg/kg per jam dengan dosis maksimal 1 mg/kg per jam.[4–6]
Terapi Lain
Pada pasien nyeri akut lokal yang refraktori atau tidak membaik dengan terapi opioid, dapat diberikan terapi anestesi regional. Terapi dapat berupa anestesi epidural atau blok saraf perifer untuk nyeri area abdomen, pinggul atau tungkai.[4–6]
Manajemen Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah rasa nyeri yang dirasakan hampir di setiap hari selama 6 bulan pada 1 area atau berbagai area di tubuh. Perencanaan pilihan jenis dan dosis terapi harus dipersonalisasi berdasarkan kondisi tiap pasien. Rencana terapi ini nantinya perlu dievaluasi dan disesuaikan tiap tahunnya. Pasien dengan nyeri derajat ringan hingga sedang dapat diberikan paracetamol atau OAINS, sementara opioid diberikan pada nyeri sedang hingga berat.[4–6]
Baik bagi pasien dewasa mau pun anak, opioid kerja ringan seperti codeine dan hidrokodon umumnya diberikan terlebih dahulu. Pada kasus yang lebih berat, morfin lepas lambat kerja panjang dapat diresepkan. Terapi opioid jangka panjang ini diberikan menggunakan dosis efektif terendah. Pasien harus menjalani evaluasi langsung tiap 2–3 bulan sekali agar peresepan terapi analgesik menyesuaikan kondisi terkini pasien.[6,21]
Pada pasien dengan nyeri kronik akibat nekrosis avaskular tulang atau pada nyeri yang penyebabnya tidak diketahui, dapat ditambahkan pemberian obat-obatan antikonvulsan seperti duloxetine dan gabapentin. Penambahan antidepresan trisiklik seperti amitriptyline dapat menurunkan kebutuhan terhadap opioid.[4–6]
Hydroxyurea
Hydroxyurea merupakan metode terapi yang aman dan efektif untuk diberikan pada pasien dengan anemia sel sabit. Hydroxyurea meningkatkan kadar hemoglobin total dan fetal pada anak dengan penyakit sel sabit, sehingga gelasi dan penyabitan dari sel darah merah mampu dihambat. Hydroxyurea juga menurunkan kadar leukosit di sirkulasi, sehingga menurunkan perlengketan ke endotel yang akan menurunkan frekuensi episod nyeri dan acute chest syndrome.[4–6]
Indikasi pemberian hydroxyurea adalah episode nyeri ≥6 kali per tahun, riwayat acute chest syndrome, riwayat kejadian vasooklusif berat lain, anemia simptomatik derajat berat, nyeri kronis berat yang tidak remisi walaupun telah mendapat terapi adekuat, riwayat riwayat atau risiko tinggi stroke.[4–6,11]
Dosis awal hydroxyurea sediaan tablet adalah 15 mg/kg/hari bagi pasien dewasa dan 20 mg/kg/hari bagi pasien pediatri. Dosis dapat ditingkatkan 5 mg/kg/hari tiap 8 minggu atau jika krisis nyeri muncul. Lakukan pemantauan laboratorium darah lengkap dengan hitung jenis dan retikulosit setidaknya setiap 4 minggu.
Peningkatan dosis hydroxyurea dapat dilakukan bila hasil laboratorium darah memenuhi kondisi berikut, yakni neutrofil ≥ 2000 sel/mm3, trombosit ≥ 80,000/mm3, hemoglobin >5,5 g/dL atau >5,3 g/dL pada pasien anak, serta retikulosit ≥ 80,000/mm3 jika konsentrasi hemoglobin <9 g/dL. Jika pasien memiliki nilai klirens kreatinin <60 mL/menit, dosis diturunkan menjadi setengah dosis awal.[4–6]
Transfusi Darah
Transfusi darah darurat diberikan jika terjadi anemia berat akibat sekuestrasi splenik akut, infeksi parvovirus B19, atau krisis hiperhemolisis. Transfusi juga bisa dimanfaatkan pada kasus anemia sel sabit dengan acute chest syndrome, perioperatif, dan kehamilan. Transfusi dapat dengan menggunakan packed red blood cells (PRBC) atau melalui metode transfusi tukar.[4–6]
Transfusi tukar merupakan metode transfusi yang menukar darah pasien dengan darah donor menggunakan PRBC. Indikasi transfusi tukar akut adalah stroke iskemik akut, acute chest syndrome derajat berat, sindrom gagal organ multipel, sindrom kuadran kanan atas, serta priapismus yang tidak membaik setelah hidrasi dan analgesia adekuat.[4–6,11]
Pemberian transfusi sel darah merah jangka panjang sebagai pencegahan terjadinya stroke pada anak-anak penderita penyakit sel sabit yang berisiko mengalami stroke. Hemoglobin S diharapkan dapat ditekan hingga kurang dari 30% pada tiga tahun pertama terapi, selanjutnya penekanan hanya ditargetkan kurang dari 50%.[4,11,22]
Komplikasi akibat transfusi darah meliputi risiko hiperviskositas, aloimunisasi, hemolisis, dan kelebihan besi. Awasi adanya delayed hemolytic transfusion reaction yang ditandai dengan anemia akut, nyeri, atau ikterus dalam 3 minggu setelah transfusi darah. Pada pasien yang mendapat terapi transfusi jangka panjang perlu dilakukan pemantauan kelebihan besi secara berkala, misalnya menggunakanan biopsi hepar dan MRI.[6,11]
Pencegahan dan Tata Laksana Infeksi
Pencegahan dan tata laksana infeksi yang adekuat pada anemia dan penyakit sel sabit akan mengurangi morbiditas dan mortalitas. Pada pasien dewasa, penyakit infeksi harus ditangani dengan antibiotik spektrum luas. Kemudian jika organisme penyebab infeksi telah diketahui, terapi antibiotik dapat disesuaikan sesuai dengan sensitivitasnya.[2,4,5,22]
Penicillin
Pemberian penicillin profilaksis dilaporkan mampu mengurangi insidensi infeksi organisme berkapsul, terutama S. pneumoniae, sehingga menurunkan risiko mortalitas. Selain efektif mencegah morbiditas, pemberian penicilin profilaksis juga dilaporkan memiliki efek samping yang minimal.
Pemberian profilaksis penicillin dapat dimulai pada usia 2 bulan dengan memberikan penicillin V atau penicillin G 125 mg 2 kali sehari. Saat pasien berusia 3 tahun, dosis ditingkatkan menjadi 250 mg dua kali sehari. Pemberian profilaksis penicillin sebaiknya dilanjutkan hingga usia 5 tahun atau sampai pasien remaja. Jika pasien alergi terhadap penicillin, maka erythromycin dapat menjadi alternatif.[2,4,5,22]
Vaksin Pneumokokus
Peningkatan risiko bakteremia akibat Streptococcus pneumoniae mengindikasikan perlunya vaksin pneumokokus pada anak dengan penyakit sel sabit. Vaksinasi dapat diberikan dengan 13-valent pneumococcal conjugate vaccine dan pneumococcal polysaccharide vaccine. Vaksin diberikan di usia 2 tahun, dan dilakukan booster saat usia 5 tahun.[2,4,5]
Transplantasi Stem Cell
Hematopoietic stem cell transplantation (HSCT) merupakan metode terapi pengobatan potensial untuk pasien anemia sel sabit. Meskipun pengembangan metode terapi ini masih terus dilakukan, telah banyak studi yang melaporkan efikasinya dalam merestorasi hematopoiesis yang normal. Terapi ini terutama direkomendasikan bagi pasien dengan riwayat cedera neurologi, nyeri berulang, atau acute chest syndrome.[4,24]
Tata Laksana Komplikasi
Sebagai bagian dari penyakit sel sabit, tata laksana anemia sel sabit juga melibatkan manajemen krisis vasooklusif, tata laksana krisis sekuestrasi, ulkus ekstremitas, dan manifestasi oftalmologi.
Krisis Sekuestrasi
Tata laksana krisis sekuestrasi mencakup terapi hidrasi, kontrol nyeri, dan transfusi darah. Anemia tidak boleh dikoreksi secara komplit, hal ini karena ketika krisis telah tertangani, dan organ menyusut, darah yang ter-sekuestrasi kembali masuk dalam sirkulasi yang mana meningkatkan hematokrit dan viskositas darah. Hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi trombotik dan iskemik pada pasien.[4,5]
Manajemen Krisis Vasooklusif
Tata laksana krisis vasooklusif meliputi hidrasi dan analgesik intravena. Pasien sebaiknya dirawat inap. Terapi cairan dengan cairan salin normal atau dextrose 5% diberikan hingga dehidrasi teratasi dengan mempertimbangkan kehilangan cairan tambahan akibat demam. Pemberian hydroxyurea dan crizanlizumab dilaporkan mampu menurunkan frekuensi timbulnya krisis vasooklusif.[4,5]
Acute Chest Syndrome
Tata laksana acute chest syndrome (ACS) meliputi hospitalisasi, kontrol nyeri, pemberian cairan intravena, antibiotik, terapi oksigen suplemental, dan transfusi darah. Pemantauan secara ketat harus dilakukan secara ketat terhadap status pernapasan, bronkospasme, dan perburukan anemia.[5,16]
Ketorolac dapat menjadi pilihan analgesik awal baik bagi pasien anak mau pun dewasa. Jika nyeri tidak membaik, obat golongan opioid dapat diberikan. Pemberian terapi cairan harus berhati-hati dan disesuaikan dengan kondisi hidrasi pasien untuk mencegah terjadinya kelebihan cairan.[5,16]
Transfusi darah perlu diberikan jika hemoglobin <7 g/dL, terdapat peningkatan nilai hematokrit yang abnormal, perburukan gambaran radiografi atau gejala pada pasien. Bila memungkinkan, transfusi tukar lebih disarankan untuk dilakukan sedini mungkin. Pada pasien anemia sel sabit berusia ≥9 bulan, ACS dapat menjadi indikasi untuk memulai pemberian terapi hydroxyurea dan transfusi darah jangka panjang.[5,6,16]
Tata Laksana Ulkus Ekstremitas
Ulkus ekstremitas dapat timbul akibat stasis vena dan hipoksia kronis. Ulkus dapat disertai infeksi sekunder, sehingga tata laksana melibatkan debridemen dan pemberian antibiotik. Beberapa literatur menyarankan pemberian dressing oklusif dengan zinc oksida disertai elevasi kaki. Transfusi darah dilaporkan mampu mempercepat penyembuhan ulkus.[4,6]
Tata Laksana Manifestasi Oftalmologi
Tata laksana manifestasi oftalmologi dari penyakit sel sabit ditujukan untuk mencegah penurunan tajam penglihatan akibat perdarahan vitreus, retinal detachment, dan membran epiretina. Tata laksana dapat meliputi pemberian agen topikal, namun hindari penyekat anhidrase karbonik karena dapat memperparah manifestasi.
Terapi bedah mungkin diperlukan pada pasien yang mengalami peningkatan tekanan intraokular yang tidak turun dengan medikamentosa. Retinopati dapat diobati dengan diatermi, cryotherapy, dan fotokoagulasi. Tujuan tata laksana adalah menghilangkan neovaskularisasi sehingga mencegah sekuele dari retinopati.[4,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Reren Ramanda