Patofisiologi Anemia Sel Sabit
Patofisiologi anemia sel sabit atau sickle cell anemia dan sickle cell disease (SCD) melibatkan mutasi pada gen rantai beta di hemoglobin (HbB) yang menyebabkan perubahan sel darah merah membentuk sabit, bersifat lebih kaku, dengan umur sel yang memendek. Kondisi ini terjadi secara berulang hingga pada akhirnya bermanifestasi sebagai anemia hemolisis, vasooklusi mikrovaskular yang memicu infark, dan kerusakan organ.[1,8]
Mutasi Gen HbB
Mutasi pada gen HbB memicu produksi varian hemoglobin abnormal yang disebut sebagai hemoglobin S (HbS). Perubahan asam amino ke-6 pada rantai protein globin beta dari asam glutamat menjadi valin memengaruhi morfologi maupun interaksi hemoglobin dalam sel darah tersebut.[2,8]
Dalam kondisi deoksigenisasi, HbS cenderung berikatan dengan HbS lain sehingga terjadi polimerisasi. Sel darah merah tidak lagi berbentuk bikonkaf, melainkan menyerupai sabit.[4,8,9]
Peningkatan Viskositas Darah
Polimerisasi juga menyebabkan penurunan solubilitas serta peningkatan viskositas darah sehingga darah menjadi lebih kental. Awalnya, eritrosit yang mengalami polimerisasi masih bersifat reversibel. Namun, ada suatu titik di mana eritrosit membentuk sabit secara permanen sehingga terjadi peningkatan risiko hemolisis serta vasooklusi.[2,8,9]
Karena tingginya kadar fetal hemoglobin dalam sirkulasi darah penderita di awal kelahirannya, biasanya gejala penyakit sel sabit tidak berkembang sampai penderita berusia 6-12 bulan. Setelah masa bayi, eritrosit pasien anemia sel sabit mengandung sekitar 90% hemoglobin S (HbS), 2-10% hemoglobin F (HbF), dan sejumlah kecil hemoglobin dewasa (HbA2) dalam jumlah normal. Hemoglobin dewasa (HbA), yang biasanya menonjol pada usia 3 bulan, tidak ada.[4,10]
Patomekanisme Manifestasi Klinis
Secara klinis, abnormalitas pada anemia sel sabit bermanifestasi sebagai anemia hemolitik dan siklus vasooklusi mikrovaskular yang menyebabkan ischemic reperfusion injury dan infark pada organ. Kerusakan beberapa organ akibat mikroinfark meliputi jantung, tulang, limpa, dan sistem saraf pusat. Kejadian vasooklusi dan hemolisis intravaskular menyebabkan inflamasi dan instabilitas redoks yang berakhir pada vaskulopati pembuluh darah.[8,9]
Infark serebral yang terjadi perlahan atau silent infarct dapat berdampak pada gangguan neurologi dan kognitif penderita anemia sel sabit. Hipoksia jaringan kronis, yang diperburuk oleh oklusi mikrosirkulasi secara episodik oleh sel sabit yang abnormal menyebabkan destruksi jaringan tulang dan sendi.[1,11]
Limpa akan membesar pada akhir tahun pertama kehidupan anak dengan anemia sel sabit. Pada beberapa kasus dapat terjadi fenomena krisis sekuestrasi limpa, di mana limpa tiba-tiba mengalami pembesaran yang sangat menyakitkan akibat pengumpulan sejumlah besar sel sabit.[5,12]
Limpa mengalami infark berulang hingga seiring waktu menjadi fibrotik dan ukurannya menyusut. Proses ini disebut dengan autosplenektomi. Menurunnya fungsi limpa berhubungan dengan defisiensi imun dan risiko terjadinya infeksi pada penderita anemia sel sabit.[2,4,12]
Penulisan pertama oleh: dr. Reren Ramanda