Diagnosis Botulisme
Penegakan diagnosis botulisme dapat diidentifikasi dari paralisis neuromuskular yang bersifat descending, bilateral dan simetris, klinis afebril, serta temuan toksin botulinum dan C. botulinum pada kultur.[15]
Anamnesis
Onset dan progresi gejala botulisme penting untuk digali saat anamnesis penderita yang diduga menderita botulisme. Penderita biasanya datang dengan keluhan paralisis neuromuskular yang bersifat mendadak dan memburuk dalam beberapa hari. Paralisis bersifat descending dan simetris, dimulai dari otot leher, otot respirasi, hingga ke tungkai.[3,8]
Penderita juga biasa mengeluhkan keluhan neurologis lain, seperti gangguan penglihatan, sulit menelan, dan gangguan berbicara atau berbicara pelo, akibat terganggunya saraf kranial.
Pada beberapa kasus, terutama botulisme tipe foodborne, pasien biasa mengalami gejala gastrointestinal sebelum manifestasi paralisis. Gejala yang sering dialami, antara lain nyeri perut, mual, dan muntah. Pasien juga dapat mengeluhkan adanya sesak atau gangguan pernapasan. Pada kasus botulisme jenis infant, gejala diawali dengan konstipasi yang diikuti dengan letargi, penurunan nafsu makan, dan penurunan aktivitas spontan.[1,5]
Anamnesis juga ditujukan untuk mengetahui sumber transmisi penyakit dengan menanyakan riwayat konsumsi makanan, kebiasaan buang air besar, riwayat trauma, dan penggunaan obat–obatan terlarang. Gejala botulisme terkait konsumsi makanan umumnya terjadi dalam 12–36 jam setelah konsumsi makanan yang terkontaminasi. Pada botulisme yang ditransmisikan lewat luka, masa inkubasi penyakit adalah 4–14 hari.[3,6,24]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita botulisme akan menunjukkan adanya afebril serta paralisis pada otot-otot tubuh, seperti otot leher, tungkai, dan pernapasan, yang bersifat descending, bilateral, dan simetris. Kelemahan pada ekstremitas biasanya dimulai dari proksimal ke arah distal. Kelemahan motorik tidak diikuti oleh gangguan pada sensorik dan tanpa disertai demam.[3,6,8,23,24]
Botulisme ditandai dengan adanya gangguan pada saraf kranial, kecuali saraf kranial 1 dan 2, yang juga bersifat simetris. Gangguan saraf kranial dapat ditemukan dengan pemeriksaan nervus kranialis dan ditandai dengan gejala sebagai berikut:
- Ptosis, gangguan penglihatan, diplopia, penurunan refleks kornea
- Disfagia
- Kelemahan otot wajah
- Gangguan berbicara atau disartria
- Penurunan refleks menelan[3,6,8]
Penderita botulisme juga menunjukkan gangguan saraf otonom yang ditunjukkan oleh pemeriksaan fisik, yaitu dilatasi gaster dan vesika urinaria, ileus, hipotensi ortostatik, berkurangnya lakrimasi, serta berkurangnya salivasi. Pada bayi, gangguan saraf otonom yang sudah lanjut ditunjukkan dengan penurunan variabilitas denyut jantung. Pemeriksaan refleks tendon juga dapat menunjukkan penurunan.
Pada botulisme lanjut, penderita akan mengalami kelemahan otot napas yang bersifat progresif yang dapat berujung pada gangguan pernapasan dan kematian. Sebanyak 29,8% penderita membutuhkan ventilasi mekanik untuk membantu bernapas.[5,6,8]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding botulisme adalah penyakit dengan paralisis general, seperti myasthenia gravis, Guillain-Barré syndrome, dan sindrom Lambert-Eaton. Botulisme harus dipertimbangkan pada pasien dengan paralisis descending tanpa gangguan sensorik, afebril, dan tanpa gangguan status mental.[15,16]
Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis adalah suatu kondisi autoimun yang yang menyerang reseptor asetilkolin di neuromuscular junction (NMJ). Penyakit ini ditandai dengan adanya kelemahan dan paralisis flaksid, manifestasi yang juga dijumpai pada botulisme. Akan tetapi, gambaran paralisis atau kelelahan otot pada miastenia gravis biasa terjadi seiring dengan peningkatan aktivitas otot.
Eksklusi penyakit miastenia gravis dari penyakit botulisme dilakukan pula dengan uji Tensilon (edrofonium). Penderita miastenia gravis akan mengalami perbaikan gejala kelemahan otot pasca pemberian edrofonium pada uji tersebut.[3,16,17]
Guillain-Barré Syndrome
Guillain-Barré syndrome (GBS) merupakan kondisi demielinasi dan kerusakan akson yang disebabkan oleh autoimun dan didahului oleh infeksi Campylobacter jejuni. Pada beberapa kasus, kondisi botulisme sering salah didiagnosis sebagai GBS karena memberikan manifestasi klinis yang serupa, yaitu paralisis flaksid.
Kondisi GBS dibedakan dengan botulisme melalui karakteristik manifestasi klinis berupa kelemahan anggota tubuh yang diawali pada daerah lengan dan tungkai bawah yang bersifat ascending. Progresi kelemahan dapat berlangsung hingga 6 minggu setelah onset gejala. Selain disertai dengan gangguan pada sistem otonom dan bersifat simetris, kondisi GBS juga mempengaruhi fungsi sensorik.[16,18]
Sindrom Lambert-Eaton
Sindrom Lambert-Eaton ditandai dengan adanya kelemahan proksimal dan disfungsi sistem otonom akibat antibodi yang menyerang kanal kalsium tipe P/Q. Sindrom ini berbeda dengan botulisme karena kelemahan terjadi dari kaudal ke arah kranial dan dari proksimal menuju distal hingga akhirnya mencapai regio okulobulbar. Kondisi ini sering dikaitkan dengan karsinoma paru tipe small cell.
Selain klinis, penegakan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan penunjang spesifik berupa deteksi antibodi voltage-gated calcium channels (VGCC) dan SOX1. Pemeriksaan elektromiografi (EMG) akan menunjukkan trias berupa rendahnya amplitudo compound muscle action potential (CMAP) saat istirahat, penurunan respons pada stimulasi saraf berulang (repetitive nerve stimulation/RNS) derajat rendah, dan peningkatan respons terhadap stimulasi derajat tinggi atau setelah latihan singkat.[6,19]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus botulisme umumnya dilakukan untuk mengonfirmasi diagnosis dan mengeksklusi diagnosis banding. Pemeriksaan yang dilakukan, antara lain pemeriksaan toksin, kultur, dan elektromiografi.
Pemeriksaan Toksin
Deteksi toksin botulinum digunakan untuk mengonfirmasi temuan klinis yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu, temuan toksin dapat memberikan prognosis terkait keparahan penyakit.
Spesimen pemeriksaan biasanya didapatkan dari tinja, aspirat lambung, muntahan, serum, eksudat luka, maupun sumber makanan yang diduga mengandung toksin. Toksin dideteksi melalui metode mouse neutralization assay dan spesimen harus didinginkan terlebih dahulu.[3,6]
Kultur
Serupa dengan pemeriksaan toksin, kultur juga dapat dilakukan untuk mengonfirmasi keberadaan C.botulinum. Bakteri tersebut bukan merupakan flora normal yang ada pada manusia sehingga penemuan bakteri dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis botulisme.
Meskipun bisa didapatkan dari beberapa sumber, namun tinja, enema, dan aspirat lambung lebih disarankan untuk pengambilan spesimen. Berbeda dengan sampel untuk pemeriksaan toksin, spesimen untuk kultur tidak boleh didinginkan. Bakteri C.botulinum dapat ditemukan di kultur tinja pada 70% kasus dan dapat bertahan hingga 5 bulan pada penderita botulisme tipe infant.[3,6]
Elektromiografi (EMG)
Pemeriksaan EMG dapat digunakan untuk mengeksklusi kasus yang menyerupai botulisme, seperti GBS atau diferensial diagnosis lainnya. Pemeriksaan menunjukkan adanya voltase rendah pada satuan motorik, amplitudo rendah gelombang M, dan potensial aksi yang berlebih.
Namun, kekurangannya, temuan pemeriksaan EMG tersebut tidak dapat ditemukan pada botulisme tipe infant. Selain itu, EMG dapat menimbulkan rasa nyeri selama pemeriksaan.[3,6]
Analisis Gas Darah
Salah satu komplikasi penyakit botulisme adalah gangguan pada saluran pernapasan. Pemantauan progresifitas penyakit terkait komplikasi tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya abnormalitas pada analisis gas darah, yaitu penurunan pH dan PaO2.[3,20]
Pencitraan
Pencitraan seperti CT scan dan MRI biasanya dipakai untuk mengeksklusi kondisi lain yang dapat menyebabkan paralisis seperti tumor otak atau stroke apabila penderita menunjukkan gejala yang samar.[6]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli