Diagnosis Kardiomiopati Takotsubo
Dalam penegakan diagnosis, fase akut kardiomiopati takotsubo perlu dibedakan dengan sindrom koroner akut. Pemeriksaan laboratorium, seperti biomarker nekrosis miokardium dan natriuretic peptide dapat membantu membedakan keduanya. Pemeriksaan coronary angiography tidak dapat ditunda.
Anamnesis
Gejala yang paling sering ditemui pada kardiomiopati takotsubo adalah nyeri dada (>75%), sesak napas (±50%), dizziness (>25%), dan sinkop (5-10%). Karakteristik nyeri dada yang timbul menyerupai angina. Sesak napas dapat muncul akibat edema paru.
Sinkop atau dizziness dapat ditemukan akibat syok atau hipoperfusi jaringan. Pada pasien yang sudah dirawat sebelumnya, kardiomiopati takotsubo tampak sebagai pemburukan kondisi dengan kelainan gambaran elektrokardiografi (EKG), atau kelainan biomarker. Gejala kardiomiopati takotsubo dipicu stres, baik stres fisik maupun emosional. Riwayat tindakan medis atau operasi dapat mendahului gejala.
Pemicu lainnya, seperti postresusitasi henti jantung dan diare akut juga dilaporkan dapat menimbulkan kardiomiopati takotsubo. Walaupun begitu, pemicu tidak ditemukan pada beberapa kasus.[1,3-5,9,12]
Pada pasien dengan stroke iskemik atau diinduksi oleh kejadian kejang, gejala utama yang muncul bukanlah nyeri dada, melainkan gangguan kesadaran, komplikasi neurologis, atau gangguan hemodinamik yang mendadak. Sedangkan pada pasien yang diinduksi oleh stres emosional, nyeri dada dan palpitasi merupakan gejala yang mendominasi.[5]
Gejala lainnya yang mungkin muncul dapat merupakan komplikasi kardiomiopati takotsubo, seperti gagal jantung, edema paru, stroke, syok kardiogenik, dan henti jantung. Gejala lainnya seperti kelemahan generalis, batuk dan demam tanpa sebab, juga dapat ditemukan pada beberapa pasien.[1,5,9]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, manifestasi kardiomiopati takotsubo dapat tampak sebagai sesak napas, takiaritmia, bradiaritmia, hipotensi, dan akral dingin. Penyempitan pulse pressure, suara jantung gallop S3, peningkatan tekanan vena jugular, dan ronkhi pada basal paru dapat ditemukan.
Pada auskultasi, dapat ditemukan murmur sistolik akibat left ventricular outflow tract obstruction (LVOTO) atau regurgitasi mitral. Beberapa kasus dapat tampak sebagai transient ischemic attack atau stroke akibat trombus ventrikel, walaupun jarang terjadi. Sekitar 10% pasien kardiomiopati takotsubo dapat menunjukkan manifestasi syok kardiogenik. Edema kedua ekstremitas bawah dapat pula ditemukan.[4,11,13]
Diagnosis Banding
Pasien kardiomiopati takotsubo biasanya tidak memiliki faktor risiko kardiovaskular, tetapi menunjukkan nyeri yang signifikan. Pasien dapat saja datang ke instalasi gawat darurat (IGD) setelah bencana alam, sehingga klinisi perlu menyadari kemungkinan peningkatan insidiensi kondisi ini setelahnya. Kardiomiopati juga harus dipertimbangkan pada pasien usia muda yang datang dengan gejala penyakit jantung koroner untuk menghindari intervensi invasif yang tidak diperlukan, seperti coronary artery stent placement.
Sindrom Koroner Akut (SKA)
Gejala kardiomiopati takotsubo dapat menyerupai SKA. Gambaran EKG pada SKA dapat menunjukkan elevasi segmen ST, depresi segmen ST, atau inversi gelombang T.
Pemeriksaan coronary angiography pada sindrom koroner akut dapat menunjukkan ruptur plak akut, formasi trombus, atau diseksi aorta. Pada pemeriksaan echocardiography, dapat terlihat abnormalitas pergerakan dinding ventrikel sesuai dengan distribusi arteri koroner yang terkena, sedangkan pada kardiomiopati takotsubo disfungsi ventrikel didapatkan tidak sesuai dengan vaskularisasi koroner.[4,12]
Angina prinzmetal merupakan salah satu bentuk sindrom koroner akut tanpa disertai obstruksi. Penyakit ini disebabkan oleh vasospasme arteri koroner multifokal atau multivaskuler. Pada angina prinzmetal, episode angina sering terjadi saat istirahat di malam hari atau pagi hari, durasi pendek, dan berulang selama beberapa minggu hingga bulan. Gambaran EKG pada angina prinzmetal menunjukkan ST elevasi yang difus.[4]
Kardiomiopati takotsubo dapat pula muncul bersamaan dengan sindrom koroner akut, walaupun jarang. Pada pemeriksaan echocardiography, terdapat abnormalitas pergerakan dinding ventrikel yang tidak sesuai dengan vaskularisasi arteri koroner yang terkena.
Pada pemeriksaan biomarker, terdapat peningkatan marker nekrosis miokard, seperti troponin dan creatinin kinase myocardial band (CKMB) yang signifikan pada SKA, sedangkan pada kardiomiopati takotsubo, didapatkan penigkatan brain natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro-brain natriuretic peptide (NT-proBNP). Pada pemeriksaan cardiovascular magnetic resonance imaging (CMR), dapat ditemukan late gadolinium enhancement (LGE) yang bersifat subendokardial atau transmural akibat infark. LGE adalah pertanda proses fibrosis.[4,12]
Pemeriksaan skrining untuk menilai probabilitas dari kardiomiopati takotsubo dapat menggunakan InterTAK diagnostic score. Skoring ini terdiri dari 5 variabel klinis yang didapatkan dari anamnesis dan 2 variabel berasal dari pemeriksaan EKG. Bila didapatkan skor ≥50, probabilitas kardiomiopati takotsubo mencapai spesifitas 95%. Bila didapatkan skor ≤31, kondisi lebih mengarah ke sindrom koroner akut.[4]
Tabel 1. InterTAK Diagnostic Score
Kriteria | Poin |
Jenis kelamin wanita | 25 |
Stres emosional | 24 |
Stres fisik | 13 |
Tidak ditemukan depresi segmen ST | 12 |
Penyakit psikiatri | 11 |
Penyakit neurologis | 9 |
Pemanjangan interval QTc | 6 |
Sumber: dr Vania, 2020[4]
Cardiomyopathy Associated with Pheochromocytoma
Pheocromocytoma merupakan tumor pengsekresi katekolamin yang sering ditandai dengan peningkatan tekanan darah paroksismal, nyeri kepala, berkeringat, palpitasi, nyeri dada, dan serangan panik. Gejala yang muncul bersifat kronis atau subakut diserta gambaran kardiomiopati dengan disfungsi global.[4]
Kondisi ini juga dapat menunjukkan gambaran LGE pada CMR yang menandakan adanya nekrosis miokard, edema, fibrosis fokal dan difus yang menyebabkan disfungsi ventrikel kiri jangka pendek atau panjang. Pemeriksaan laboratorium pheochromocytoma umumnya menunjukkan hiperglikemia, hiperkalsemia, dan eritrositosis. CT scan dan MRI dapat digunakan untuk mendeteksi kondisi ini.[1]
Miokarditis Akut
Gejala miokarditis juga dapat menyerupai kardiomiopati takotsubo. Miokarditis akut sering terjadi pada usia muda atau menengah dan diawali oleh infeksi saluran pernapasan atas atau enteritis. Pada pemeriksaan EKG didapatkan abnormalitas gelombang ST-T yang nonspesifik. Disfungsi sistolik global sering tampak, terutama pada dinding inferolateral. Pemeriksaan CMR merupakan pemeriksaan yang penting dalam membedakan miokarditis akut dan kardiomiopati takotsubo, di mana didapatkan LGE dengan patchy distribution.[4,12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menegakkan kardiomiopati takotsubo dan menyingkirkan diagnosis banding.
Elektrokardiografi (EKG)
Abnormalitas EKG sering ditemukan pada kardiomiopati takotsubo (>95%). Kelainan yang dapat ditemukan adalah ST elevasi, T inversi, atau keduanya. Gambaran ST elevasi ditemukan paling banyak, yakni 44%, diikuti T inversi 41%, ST depresi 8%, dan blok berkas cabang kiri 5%.
Gambaran EKG tergantung pada geographic pattern dari left ventricular ballooning, ada tidaknya right ventricular ballooning, onset gejala, ada tidaknya edema miokardium, dan recovery rate fungsi sel miokardium. [1,4,7]
Lokasi ST elevasi menunjukkan letak anatomis jejas miokardium. Jejas paling sering ditemukan pada ventrikel kiri segmen mid dan apikal, yang tampak pada lead prekordial, lateral, dan apikal. ST elevasi pada kardiomiopati takotsubo terpusat pada lead prekordial V2–V5 dan lead ekstremitas II dan aVR, berbeda dengan STEMI (ST elevation myocardial infarct) anterior yang terpusat pada lead prekordial V1–V4, lead ekstremitas I, dan aVL. Ditemukannya ST elevasi pada aVR dan lead anteroseptal (2 atau lebih dari lead V1, V2, V3) merupakan temuan yang 100% spesifik untuk kardiomiopati takotsubo.[4,7-9]
ST elevasi pada lead V1 jarang ditemukan pada kardiomiopati takotsubo, sehingga dapat menjadi salah satu penentu membedakan kardiomiopati takotsubo dan STEMI anterior. ST depresi pada lead avR dan tidak adanya ST elevasi pada lead V1 memiliki sensitivitas 91%, spesifitas 96%, dan akurasi 95% dalam mendiagnosis kardiomiopati takotsubo.
Gambaran lesi resiprokal yang dapat ditemukan pada STEMI dan abnormalitas gelombang Q jarang ditemukan pada kardiomiopati takotsubo. Selain itu, amplitudo elevasi segmen ST pada kardiomiopati takotsubo didapatkan lebih rendah dibandingkan pada STEMI anterior. [1,7-8,12]
Gambar T inversi luas dan pemanjangan interval QT cukup sering ditemukan pada kardiomiopati takotsubo dan dapat pula menjadi satu-satunya gambaran yang tampak pada EKG. Gambaran ini muncul dalam 24–48 jam setelah onset atau sejak munculnya pemicu. Gambaran T inversi lebih prominen dan dapat bertahan hingga beberapa bulan sebagai tanda edema miokardium. Low QRS voltage juga dapat menjadi tanda edema miokardium.
Pemanjangan interval QT >500 ms menghasilkan risiko polymorphic ventricular tachycardia (Torsade de pointes) dan fibrilasi ventrikel, sehingga perlu dilakukan monitoring EKG minimal 48–72 jam atau hingga terjadi resolusi.[4,7-8,12]
Perubahan gambaran EKG pada kardiomiopati takotsubo bersifat sementara serta tergantung pada waktu pemeriksaan EKG dan onset gejala. Membedakan kardiomiopati takotsubo dengan STEMI melalui EKG cukup sulit sehingga pemeriksaan angiografi koroner tidak dapat ditunda.[1,4,7]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu diagnosis kardiomiopati takotsubo adalah biomarker nekrosis miokardium, B-type natriuretic peptide (BNP), dan N-terminal prohormone of BNP (NT-proBNP).
Biomarker Nekrosis Miokardium:
Pada kardiomiopati takotsubo, didapatkan peningkatan biomarker nekrosis miokardium, termasuk myoglobin, kreatin kinase, dan troponin. Peningkatan biomarker ini tidak setinggi yang didapatkan pada sindrom koroner akut. Titik puncak troponin pada kardiomiopati takotsubo adalah <10 µg/mL.
Sebuah studi menyatakan bahwa peningkatan biomarker nekrosis pada kardiomiopati takotsubo sebesar 60 kali lipat nilai normal, sedangkan sindrom koroner akut menyebabkan peningkatan hingga 400 kali lipat nilai normal. Hal ini terjadi karena biomarker nekrosis miokard muncul akibat kebocoran membran yang disebabkan oleh nekrosis miokardium. Sedangkan pada kardiomiopati takotsubo, didapatkan jejas miokardium yang reversibel tanpa nekrosis.
Biomarker nekrosis yang didapat tidak setara dengan luasnya disfungsi ventrikel kiri yang didapat pada kardiomiopati takotsubo, berkorelasi dengan kondisi yang reversibel. Level troponin yang tinggi pada saat admisi merupakan salah satu prediktor prognosis yang buruk pada kardiomiopati takotsubo.[4,7-10,12]
Natriuretic Peptide:
Peningkatan B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal prohormone of BNP (NT-proBNP) disebabkan oleh regangan miokardium akibat kegagalan pompa, sehingga dapat ditemukan pada kardiomiopati takotsubo. Peningkatan terjadi dalam 24–48 jam setelah onset dan mengalami resolusi inkomplit hingga 3 bulan. Derajat peningkatan NT-proBNP berkorelasi dengan derajat overaktivasi simpatis, konsentrasi puncak C-reactive protein (CRP), dan disfungsi ventrikel kiri.[4,7-8]
Kadar NT-proBNP saat awal admisi berkorelasi dengan komplikasi saat hospitalisasi. Semakin tinggi kadar NT-proBNP, maka semakin besar risiko terjadinya komplikasi seperti edema paru dan aritmia ventrikel yang malignan. Peningkatan kadar BNP pada kardiomiopati takotsubo didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan sindrom koroner akut, namun hingga saat ini belum ada batas tertentu yang menjadi threshold untuk membedakan keduanya.[9,12]
Beberapa studi menyatakan bahwa rasio BNP dan biomarker nekrosis miokard lebih baik dalam membedakan kardiomiopati takotsubo dengan sindrom koroner akut. Belum banyak studi yang membahas besarnya rasio yang dapat dijadikan pedoman dalam mendiagnosis.[4,8,10]
Pemeriksan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan kardiomiopati takotsubo, antara lain echocardiography, cardiac magnetic resonance (CMR), coronary angiography (CAG), ventriculography, cardiac computed tomography Angiography (CCTA), dan pemeriksaan nuklir.
Echocardiography:
Echocardiography merupakan pemeriksaan radiologis yang paling sering digunakan untuk melihat fungsi dari ventrikel kiri. Abnormalitas kontraksi dari dinding ventrikel kiri melebihi 1 daerah vaskularisasi arteri koroner dapat menjadi tanda utama yang ditemukan pada kardiomiopati takotsubo.[7-9]
Hiperkinesis basal dan apical ballooning dapat menyebabkan dynamic left ventricle outflow tract obstruction (LVOTO) yang dapat menurunkan stroke volume. Mitral regurgitasi akibat displacement atau disfungsi otot papilaris ditemukan pada 14-25% pasien dengan kardiomiopati takotsubo. Pada 30% pasien juga ditemukan gangguan ventrikel kanan.[7-8,12]
Echocardiography dapat dilakukan berulang dan direkomendasikan untuk melakukan evaluasi resolusi fungsi ventrikel kiri. Kontraktilitas dinding ventrikel didapatkan resolusi sempurna setelah 4–8 minggu. Resolusi LVOTO dan regurgitasi mitral terjadi bersamaan dengan perbaikan fungsi miokardium. Prediktor prognosis yang buruk pada echocardiography adalah ejection fraction yang rendah dari ventrikel kiri, peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri, mitral regurgitasi derajat sedang hingga berat pada 4–6 minggu.[7,9]
Pemeriksaan echocardiography lebih sering dipilih daripada CAG dan ventriculography, terutama pada pasien yang tidak disertai ST elevasi. Pemeriksaan ini juga diutamakan pada pasien yang memiliki risiko pemeriksaan angiography lebih tinggi daripada manfaatnya, seperti pada pasien kritis dan pasien risiko perdarahan tinggi.[12]
Cardiac Magnetic Resonance (CMR):
CMR tidak dapat digunakan pada fase akut, tetapi sangat bermanfaat pada fase subakut. CMR dapat mengukur fungsi ventrikel kanan dan kiri secara akurat, komplikasi atau abnormalitas tambahan, dan kelainan jaringan miokardium (edema, inflamasi, nekrosis/fibrosis). CMR lebih baik daripada echocardiography dalam deteksi kelainan ventrikel kanan. [7]
Kriteria diagnosis kardiomiopati takotsubo berdasarkan CMR adalah adanya kelainan regional gerakan dinding ventrikel (regional wall motion abnormalities/ RWMAs), adanya edema pada sequence T2W, dan tidak adanya jejas jaringan yang ireversibel dengan late gadolinium enhancement (LGE). Edema pada kardiomiopati takotsubo sesuai dengan area abnormalitas dinding ventrikel, sedangkan pada SKA, edema mengikuti persebaran arteri koroner epikardial. Edema pada miokarditis cenderung mengenai basal, lateral, dan subepikardial.[4,7-9,12]
LGE pada umumnya sebagai pertanda adanya fibrosis. Tidak adanya LGE dapat mengeksklusi SKA dan miokarditis bila diperiksa dalam fase akut. SKA dapat ditemukan LGE subendocardial atau transmural sesuai dengan area vaskular yang terkena. Pada miokarditis dapat ditemukan LGE epikardial atau patchy. Tidak adanya fibrosis secara makroskopis ditandai dengan tidak adanya LGE, dapat membantu diagnosis kardiomiopati takotsubo. namun pada beberapa kasus (9%), LGE dapat ditemukan pada pasien dengan kardiomiopati takotsubo yang merupakan petunjuk prognosis yang buruk.[4,7-9,12]
Coronary Angiography (CAG) dan Ventriculography:
CAG dan ventriculography merupakan pemeriksaan yang penting untuk membedakan kardiomiopati takotsubo dengan SKA. Gambaran yang sering ditemukan adalah tidak adanya plak yang ruptur dan tidak ditemukan obstruksi arteri koroner. Gambaran klasik ventriculography kiri adalah hipokinesis, akinesis, atau diskinesis segmen apikal dan midventrikular, melebih distribusi vaskularisasi satu arteri koroner epikardial.
Adanya penyakit arteri koroner tidak dapat mengeksklusi kardiomiopati takotsubo. Pada kasus di mana diduga adanya koeksistensi SKA dengan kardiomiopati takotsubo, diperlukan perbandingan CAG dengan biplane ventriculography untuk mencari perfusion-contraction mismatch. Pada sepertiga pasien dengan classical apical ballooning, didapatkan adanya preserved contractility pada apeks bagian distal, yang disebut sebagai apical nipple sign. Tanda ini penting untuk membedakan kardiomiopati takotsubo dengan SKA.[4,7-9,12]
Cardiac Computed Tomography Angiography (CCTA):
CCTA dapat menjadi alternatif dari coronary angiography, terutama pada pasien dengan komorbid yang mengancam nyawa; pasien stabil dengan kemungkinan SKA rendah; dugaan kardiomiopati takotsubo berulang; ditemukan kelainan biomarker dan EKG yang berhubungan dengan penyakit kritis akut, seperti sepsis, kelainan intrakranial, atau kondisi akibat komplikasi kardiomiopati takotsubo. CCTA dapat menilai anatomi arteri dan kontraksi regional ventrikel kiri.[4,7]
Nuclear Medicine:
Pemeriksaan ini lebih sering digunakan pada penelitian. Pemeriksaan SPECT (single-photon emission computed tomography) dengan 123I-b-methyl-iodophenyl pentadecanoic acid dan PET (positron emission tomography) dengan 18F-fluorodeoxyglucose menunjukkan penurunan aktivitas metabolik dengan perfusi normal pada daerah yang mengalami jejas. Gambaran ini dikenal sebagai inversi flow metabolism mismatch.[7-9]