Penatalaksanaan Kardiomiopati Takotsubo
Belum ada pedoman mengenai penatalaksanaan kardiomiopati takotsubo yang optimal saat ini. Terapi umumnya bersifat suportif dan bertujuan meminimalkan komplikasi dan mencapai perbaikan.
Penatalaksanaan Awal
Pada tahap awal, kardiomiopati takotsubo sulit dibedakan dengan sindrom koroner akut. Terapi yang diberikan sesuai dengan terapi dasar pada SKA, yakni antitrombotik, tata laksana komplikasi, dan terapi statin agresif. Bila kondisi stabil dan tidak terdapat komplikasi, pasien sebaiknya dirujuk ke divisi kardiologi untuk monitoring lebih lanjut.
Bila terjadi komplikasi, seperti syok kardiogenik atau post cardiac arrest, pasien memerlukan perawatan intensif. Pengawasan EKG kontinu diperlukan, terutama bila didapatkan pemanjangan interval QT.[4,7,9,11]
Gagal Jantung
Penatalaksanaan komplikasi gagal jantung pada kardiomiopati takotsubo dibedakan berdasarkan ada tidaknya LVOTO yang dapat ditemukan melalui pemeriksaan echocardiography transtoraks. Pada pasien kongesti paru yang tanpa disertai hipotensi atau tanda-tanda penurunan cardiac output, pemberian terapi diuretik dan venodilator (nitrogliserin, nitroprusside) dapat diberikan bersamaan dengan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin II receptor blockers (ARB).
Nitrogliserin dapat mengurangi pengisian tekanan ventrikel kiri dan kanan serta menurunkan afterload. Vasodilator arterial, seperti angiotensin receptor neprilysin inhibitor (ARNI), ACE inhibitor, ARB, hidralazin, isosorbide dinitrate (ISDN) dapat diberikan pada pasien dengan hipertensi sistemik arterial dengan perhatian khusus agar tidak memperberat LVOTO.[4,7,11]
LVOTO ditemukan pada 20% kasus. Bila disertai dengan LVOTO, tata laksana umum untuk mengurangi preload dan afterload perlu dihindari. Penggunaan nitrat pada LVOTO tidak dianjurkan. Penggunaan beta blocker dapat bermanfaat pada LVOTO karena dapat mengurangi hiperkontraktilitas dari segmen basal, sehingga dapat mengurangi obstruksi.
Sebuah studi menyatakan bahwa terdapat peningkatan reseptor β1 pada ventrikel kiri segmen basal sehingga memungkinkan pemberian beta blocker selektif β1 merupakan pilihan yang lebih baik. Pemilihan beta blocker jangka pendek lebih dipilih dan pengawasan status hemodinamik dan EKG diperlukan. Meskipun beta blocker bermanfaat dalam perbaikan LVOTO, obat ini dikontraindikasikan pada gagal jantung berat.[4,7,9,11]
Hipotensi dan Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi pada 5–10% pasien kardiomiopati takotsubo. Beberapa faktor yang menyebabkan kondisi ini, antara lain stres fisik, usia muda, dan ejection fraction yang rendah. Ekokardiogram yang urgent diperlukan untuk mengidentifikasi LVOTO.[11]
Pada pasien syok tanpa disertai LVOTO dan kongesti, pemberian resusitasi cairan perlu diberikan secara hati-hati. Penggunaan obat-obatan inotropik positif (dobutamine, dopamine, milrinone, levosimendan) dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan cardiac output. Follow-up jangka pendek harus dilakukan terkait efek sampingnya, yaitu LVOTO.[4,11]
Levosimendan dapat diberikan melalui infus dengan dosis 0,1 µg/kg/menit selama 24 jam tanpa loading dose. Pengawasan status hemodinamik dan EKG diperlukan untuk memantau hipotensi dan aritmia. Penggunaan epinefrin dan norepinefrin sebagai inotropik tidak direkomendasikan terkait peningkatan katekolamin pada kardiomiopati takotsubo.[9]
Pasien dengan hipotensi persisten atau tanda-tanda kegagalan end-organ memerlukan pengawasan ketat dengan pengukuran tekanan darah dengan kateterisasi pulmonal dan pemasangan intra-aortic balloon pumps. Bila inotropik tidak memberikan manfaat yang diharapkan, pemberian obat-obatan vasopresor (fenilefrin, norepinefrin, vasopressin) dapat dipertimbangkan dalam dosis yang paling rendah.[4,11]
Bila terdapat LVOTO, penggunaan agen inotropik tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan derajat obstruksi akibat hiperkontraktilitas dari segmen basal. Bila sebelumnya sudah menggunakan inotropik, pengurangan dosis atau penghentian terapi, serta pemberian cairan diperlukan untuk mengurangi obstruksi dan mencapai resolusi.
Pemberian beta blocker dapat dipertimbangkan untuk memperbaiki obstruksi. Bila perbaikan tidak tercapai dengan terapi farmakologi, penggunaan mechanical cardiac assist device sebaiknya dipertimbangkan.[4,11]
Aritmia
Pemanjangan interval QT berisiko menyebabkan aritmia malignan, seperti aritmia ventricular (Torsade de pointes) dan AV blok. Bila tidak ada pemanjangan interval QT, monitoring dihentikan setelah 48 jam. Beta blocker dapat mencegah aritmia malignan dan ruptur kardiak.
Wearable defibrillator mungkin diperlukan pada pasien dengan pemanjangan interval QT berlebihan atau aritmia ventrikular yang mengancam nyawa. Pacemaker intravena sementara dapat dipertimbangkan pada pasien bradikardia dengan gangguan hemodinamik.[4,7]
Tromboemboli
Tromboemboli merupakan komplikasi terbanyak kedua pada kardiomiopati takotsubo. Disfungsi ventrikel kiri luas menyebabkan akinesis dan berisiko membentuk trombus pada ventrikel. Evaluasi dengan echocardiography diperlukan untuk mengidentifikasi trombus.
Pemberian antikoagulan sistemik perlu dipertimbangkan pada kardiomiopati takotsubo dengan atau tanpa trombus hingga terjadi resolusi fungsi ventrikel kiri. Bila terdapat apical ballooning pattern, kadar troponin-I saat admisi sebesar >10 µg/mL, dan terdapat ST elevasi persisten selama 72 jam, pemberian antikoagulan oral dapat dilakukan.
Antikoagulan umumnya diperlukan selama 3 bulan untuk mencegah embolisasi sistemik. Antikoagulan berupa heparin intravena atau subkutan dapat dipertimbangkan pada pasien saat admisi dan dilanjutkan dengan antikoagulan oral atau antiplatelet.[4,7,9,11]
Pencegahan Rekurensi dan Terapi Kronis
Penggunaan ACE inhibitor dan ARB terbukti memperbaiki dan mencegah rekurensi, sedangkan beta blocker tidak terbukti bermanfaat. Bila disertai dengan aterosklerosis, pemberian aspirin dan statin diperlukan. Perhatian khusus diperlukan terutama bila kardiomiopati takotsubo dipicu oleh stres emosional. Rujukan kepada psikiater perlu dipertimbangkan untuk mencegah mortalitas dan rekurensi.[4,7,9,11]