Penatalaksanaan Perikarditis
Penatalaksanaan awal perikarditis dilakukan dengan mengatasi penyebab yang mendasari jika teridentifikasi, disertai pemberian obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) seperti ibuprofen atau aspirin. OAINS digunakan untuk mengurangi peradangan dan nyeri. Kolkisin juga memiliki sifat antiinflamasi, sehingga sering ditambahkan dalam terapi, terutama pada kasus berulang atau ketika OAINS tidak mencukupi.
Dalam kasus yang lebih berat, kortikosteroid dapat dipertimbangkan. Manajemen juga mencakup pemantauan ketat untuk potensi komplikasi, seperti efusi perikardial atau tamponade, yang mungkin memerlukan prosedur drainase.[4,8]
Farmakoterapi
Obat antiinflamasi seperti OAINS dan kolkisin berperan dalam meredakan nyeri dan peradangan yang terjadi dalam kasus perikarditis.[1,2,4]
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS)
Perikarditis disebabkan oleh adanya inflamasi pada perikardium. Pemberian obat antiinflamasi dianggap sebagai pilihan obat utama. OAINS merupakan terapi yang efektif dalam mengatasi nyeri dada dan inflamasi. Obat ini harus diberikan sampai gejala sudah perbaikan, yakni sekitar 3 hari hingga 2 minggu.[1,4]
Beberapa pilihan OAINS dosis dewasa yang dapat diberikan adalah:
Ibuprofen 600-800 mg setiap 8 jam
Indomethacin 25-50 mg setiap 8 jam
Naproxen 500-1000 mg setiap 12 jam[2,6]
Kolkisin
Kolkisin memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat polimerasi tubulin yang menyebabkan gangguan dalam pembentukan mikrotubulus, sehingga menghambat inflamasi dan pelepasan sitokin oleh leukosit, terutama granulosit. Berdasarkan panduan European Society of Cardiology (ESC), kolkisin merupakan pilihan lini pertama pada perikarditis akut maupun rekuren dan dapat diberikan bersamaan dengan OAINS.
Terapi menggunakan kolkisin tidak memerlukan pemantauan penanda inflamasi berkala maupun berdasarkan beratnya gejala. Kolkisin umumnya diberikan selama 1-3 bulan pada perikarditis akut, dan pada perikarditis rekuren diberikan setidaknya selama 6 bulan.
Dosis inisial kolkisin adalah 1-2 mg diikuti dengan 0,5-1 mg per hari sebagai terapi rumatan dengan durasi yang disesuaikan dengan klinis pasien.[2,12]
Kortikosteroid
Kortikosteroid memiliki efek antiinflamasi dan telah digunakan sebagai pilihan terapi lini kedua atau ketiga untuk perikarditis. Penggunaan kortikosteroid sebaiknya dihindari karena berhubungan dengan peningkatan 4,3 kali lipat risiko rekurensi.
Kortikosteroid hanya digunakan pada kasus dengan respons inadekuat atau kegagalan terapi dari obat antiinflamasi lain. Selain itu, kortikosteroid memiliki indikasi spesifik seperti perikarditis terkait autoimun.[2,3]
Dosis prednison sebaiknya tidak melebihi 0,2–0,5 mg/kg/hari untuk menghindari efek samping. Tata laksana kortikosteroid diberikan selama 4 minggu dan jika gejala mengalami perbaikan dan penanda inflamasi sudah normal, dosis dapat diturunkan bertahap dengan penurunan 5–10 mg/hari setiap minggu hingga dosis 25 mg/hari tercapai dan selanjutnya penurunan 2,5 mg/hari setiap 2 minggu hingga dosis 15 mg/hari tercapai.[3,6]
Terapi Antimikrobial
Pemberian terapi antimikrobial spesifik diberikan sesuai dengan patogen penyebab perikarditis. Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. merupakan patogen yang paling sering ditemukan.
Tata laksana dari perikarditis tuberkulosis menggunakan regimen obat antituberkulosis yang diberikan selama beberapa bulan. Regimen ini terdiri dari rifampicin, isoniazid, pyrazinamide, dan ethambutol yang diberikan selama minimal 2 bulan, diikuti dengan isoniazid dan rifampicin selama 4 bulan. Tujuan dari pemberian jangka panjang ini adalah untuk mengeradikasi Mycobacterium dan mencegah terjadinya perikarditis konstriktif.[2]
Pembedahan
Pembedahan dapat diperlukan pada perikarditis yang mengalami komplikasi seperti tamponade jantung, perikarditis konstriktif, ataupun efusi perikardial.[2,4]
Perikardiektomi
Perikardiektomi merupakan prosedur pembedahan paling efektif untuk mengatasi efusi masif karena memiliki risiko rekurensi efusi paling rendah. Prosedur ini digunakan pada perikarditis konstriktif, perikarditis efusi, perikarditis rekuren, dependensi steroid, atau intoleransi terhadap tata laksana lainnya. Perikardiektomi harus dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir untuk kasus-kasus refrakter dan hanya dilakukan pada fasilitas kesehatan yang memadai.[2,4]
Perikarditis direkomendasikan pada pasien dengan kualitas hidup yang buruk atau nyeri dada refrakter yang telah mendapat tata laksana farmakoterapi dengan durasi yang optimal. Angka mortalitas akibat operasi tidak dapat diabaikan, terutama pada pasien lanjut usia dan pasien dengan gagal jantung kongestif, diabetes, penyakit paru obstruktif kronis, gangguan ginjal pre-operasi, radiasi dada, dan telah menjalani operasi jantung sebelumnya.[2]
Perikardiosentesis
Perikardiosentesis merupakan tindakan untuk drainase cairan perikardium yang dilakukan dengan panduan ekokardiografi. Efusi perikardium terjadi pada 50% hingga 65% pasien perikarditis dan dapat menyebabkan tamponade jantung. Pasien dengan efusi lebih besar dari 250 ml atau efusi dengan bukti tamponade jantung merupakan kandidat untuk perikardiosentesis.[2,4]
Modifikasi Gaya Hidup
Pembatasan aktivitas fisik direkomendasikan pada fase akut hingga terjadi remisi gejala dan normalisasi penanda inflamasi. Efek buruk dari takikardia akibat olahraga dan gesekan pada perikardium dapat memperburuk inflamasi, dan peningkatan aliran darah akibat inflamasi pada perikardium dapat meningkatkan stres oksidatif.[2,8]
Aktivitas fisik pada saat terdiagnosis perikarditis perlu dibatasi untuk mengurangi risiko komplikasi seperti miokarditis, perburukan dari efusi perikardium dan tamponade jantung, perikarditis konstriktif, atau rekurensi gejala.[13]
Denyut jantung di bawah 100 kali/menit direkomendasikan. Pada kasus tidak ada penyulit, pasien dapat kembali melakukan olahraga kompetitif 3 bulan setelah serangan akut dan dapat diperpanjang hingga 6 bulan pada kasus mioperikarditis. Waktu pembatasan aktivitas fisik terutama pada perikarditis rekuren masih dalam perdebatan, namun secara umum aktivitas berat sebaiknya dihindari dengan waktu yang lebih lama.[2,8]
Penulisan pertama oleh: dr. Edwin Njoto MIPH MHM