Penatalaksanaan Supraventricular Tachycardia
Penatalaksanaan supraventricular tachycardia atau SVT dimulai dengan tata laksana akut untuk mengatasi kegawatan hemodinamik dengan mengontrol ventricular rate, mengatasi aritmia dengan kardioversi, serta mengatasi gejala. Tata laksana lanjutan berupa terapi definitif atau pengobatan rumatan disesuaikan dengan jenis SVT dan penyebabnya. Selain itu, dokter harus mencegah terjadinya komplikasi tromboemboli pada pasien yang berisiko mengalami emboli.[1-3,21]
Penatalaksanaan Akut
Tata laksana akut dilakukan di UGD pada pasien dengan gejala klinis supraventricular tachycardia atau SVT. Tenaga medis sebaiknya segera memeriksa jalan napas, fungsi pernapasan, dan fungsi sirkulasi pasien (sesuai kondisi pasien) serta tanda vital pasien. Selanjutnya, lakukan juga EKG 12 lead jika memungkinkan untuk membedakan tipe takiaritmia yang terjadi pada pasien.[1-3,21]
Pasien dengan SVT biasanya menunjukkan hasil EKG tachycardia dengan gelombang QRS yang tidak lebar (<120 milidetik). Akan tetapi, jika gelombang QRS lebar (>120 milidetik), evaluasi dengan teliti untuk membedakan kasus ventricular tachycardia (VT) dan kasus SVT dengan konduksi aberans.[3,21,22]
Algoritma Brugada untuk Membedakan SVT Aberans dengan VT
SVT aberans dapat dibedakan dari VT dengan menggunakan algoritma Brugada:
- Apakah kompleks RS tidak ditemukan pada semua lead prekordial? Jika iya, maka gelombang merupakan VT. Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan nomor 2
- Apakah interval RS >100 milidetik pada salah satu lead prekordial? Jika iya, gelombang merupakan VT. Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan nomor 3
- Apakah terdapat disosiasi AV? Jika iya, gelombang merupakan VT. Jika tidak, lanjutkan ke pertanyaan nomor 4
- Apakah kriteria morfologi ditemukan pada lead prekordial V1-2 dan V6? Jika iya, gelombang merupakan VT. Jika tidak, gelombang merupakan SVT aberans[22]
Rekomendasi Tata Laksana Akut
Beberapa rekomendasi tata laksana akut SVT menurut pedoman American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) adalah:
- Stimulasi vagal (seperti manuver Valsalva) dan pemberian adenosin intravena dilakukan pada pasien dengan SVT reguler
Kardioversi tersinkronisasi dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil ketika manuver vagal dan pemberian adenosin tidak efektif atau tidak memungkinkan
- Kardioversi tersinkronisasi dilakukan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil serta terapi farmakologi tidak efektif atau tidak memungkinkan
- Pemberian calcium channel blocker intravena seperti diltiazem dan verapamil atau beta blocker intravena seperti metoprolol dan esmolol dapat dilakukan pada pasien dengan hemodinamik stabil[2]
Penatalaksanaan Lanjutan
Penatalaksanaan lanjutan pada SVT bertujuan untuk memberikan terapi definitif serta pengobatan rumatan pada pasien yang telah stabil atau yang memang memerlukan terapi definitif. Pilihan terapi lanjutan adalah:
- Terapi farmakologi
- Ablasi
- Observasi pasien[1-3,21]
Pemilihan terapi lanjutan didasarkan pada frekuensi dan durasi terjadinya SVT, gejala klinis yang terjadi sebelumnya, dan konsekuensi SVT seperti kardiomiopati.[1-3,21]
Terapi Farmakologi
Pada supraventricular tachycardia yang jarang terjadi tetapi dengan durasi yang lama (>1 jam), dokter dapat memberikan calcium channel blocker nondihydropyridine, beta blocker, atau obat antiaritmia lain, yang diberikan ketika perlu saja. Namun, bila supraventricular tachycardia memiliki frekuensi yang lebih sering, obat antiaritmia dapat diberikan secara teratur.[1-3,21]
Ablasi Kateter
Terapi definitif utama untuk SVT adalah ablasi kateter, yang biasanya dilakukan pada pasien dengan focal atrial tachycardia. Hal ini dikarenakan kondisi tersebut memiliki titik sumber eksitasi abnormal yang jelas, sehingga ablasi bisa dilakukan pada titik tersebut untuk mengembalikan eksitasi yang normal.[1-3,21]
Cara Pemberian Terapi Farmakologi
Pilihan medikamentosa untuk supraventricular tachycardia adalah adenosin, calcium channel blocker, beta blocker, atau obat antiaritmia lainnya.
Adenosin Intravena
Pemberian adenosin intravena dilakukan pada pasien SVT reguler dengan kondisi hemodinamik stabil. Pemberian adenosin dilakukan dengan cara memasukkan 6 mg adenosin secara bolus intravena, melalui vena yang sedekat mungkin dengan jantung (biasanya vena brachialis).[2]
Kemudian, lakukan flushing vena dengan cairan salin normal dan minta pasien untuk mengangkat tangan. Pasien dapat diminta untuk batuk ketika obat sampai di jantung, ditandai dengan adanya rasa panas pada dada pasien. Jika pasien tidak menunjukkan respons terhadap pemberian awal, obat dapat diberikan kembali 1–2 menit kemudian dengan dosis 12 mg, maksimal 2 kali pengulangan.[2]
Calcium Channel Blocker Nondihydropyridine
Terdapat dua obat dalam kelas ini, antara lain :
- Diltiazem: dosis awal 0,25 mg/kg intravena bolus diberikan selama 2 menit; dosis rumatan 5–10 mg/jam hingga 15 mg/jam melalui infus
- Verapamil: dosis awal 5–10 mg (0,075–0,15 mg/kg) intravena bolus selama 2 menit, apabila tidak ada respons, tambahkan 10 mg 30 menit setelah pemberian awal; dosis rumatan 0,005 mg/kgBB/menit[2,3]
Beta Blocker
Beta blocker dapat diberikan jika kedua obat sebelumnya tidak efektif atau tidak bisa diberikan. Contoh beta blocker yang biasanya digunakan:
- Esmolol: dosis awal 500 µg/kg intravena bolus selama 1 menit; dosis rumatan 50–300 µg/kg/menit melalui infus
- Metoprolol tartrate: dosis awal 2,5–5 mg intravena bolus selama 2 menit, dapat diulangi 2,5–5 mg intravena bolus dalam 10 menit, maksimal pemberian 3 dosis
Propranolol: dosis awal 1 mg intravena selama 1 menit, dapat diulangi 1 mg intravena dalam interval 2 menit, maksimal pemberian 3 dosis[2,3]
Obat Antiaritmia Lainnya
Obat lain yang dapat diberikan adalah:
Digoxin: dosis awal 0,25–0,5 mg, dapat diulangi 0,25 mg. Dosis awal maksimal adalah 8–12 µg/kgBB dan bisa diberikan secara oral maupun intravena. Dosis maksimal harian adalah 1 mg/24 jam
Amiodarone: dosis awal 150 mg intravena selama 10 menit; dosis rumatan 1 mg/menit (360 mg) selama 6 jam selanjutnya, kemudian 0,5 mg/menit (540 mg) pada 18 jam berikutnya[2,3]
Penulisan pertama oleh: dr. Alexandra Francesca Chandra