Diagnosis Down Syndrome
Diagnosis Down syndrome dapat dilakukan ketika prenatal, saat lahir, atau selama kehidupan. Skrining prenatal Down syndrome melibatkan faktor usia ibu yang sudah lanjut, non invasive prenatal testing (NIPT), dan pemeriksaan chorionic villus sampling (CVS) atau amniosentesis. Pasien Down syndrome dapat menunjukkan bentuk wajah mongoloid, perawakan pendek, hipotonia otot, ketidakstabilan atlantoaksial, gangguan intelektual, dan hampir separuh pasien mengalami penyakit jantung bawaan.[2,5,6]
Anamnesis
Anamnesis yang ditanyakan pada orang tua/keluarga untuk mengetahui faktor risiko meliputi:
- Usia ibu saat hamil dan usia ayah
- Riwayat Down syndrome pada keluarga
- Riwayat penyakit ibu sebelum dan ketika hamil, terutama infeksi rubela
- Riwayat melahirkan anak dengan Down syndrome sebelumnya
- Riwayat ibu hamil yang bertempat tinggal di lingkungan berpolutan tinggi, termasuk asap rokok[7,8,10,16,17]
Selain itu, dokter perlu mengevaluasi riwayat dari bayi hingga anak-anak, termasuk:
- Bibir membiru saat bayi menangis,menyusu atau menguap, cepat mengalami kelelahan saat bermain, mengalami sesak
- Muntah hebat, konstipasi kronik, diare intermiten, kesulitan saat makan
- Mengalami keterlambatan dalam tumbuh kembang dibanding anak seusianya
- Kurang merespon saat mendengar suara atau melihat suatu benda, pandangan kabur
Anamnesis Sistem Organ
Karena Down syndrome dapat mempengaruhi banyak sistem organ, dokter perlu juga mengevaluasi keterlibatan sistem organ dalam anamnesis. Tanyakan riwayat makan untuk memastikan asupan kalori yang memadai, adanya muntah akibat obstruksi atau atresia saluran gastrointestinal, serta tidak adanya tinja akibat penyakit Hirschsprung.
Disabilitas intelektual merupakan manifestasi klinis tersering. Tanyakan mengenai keterlambatan dalam kemampuan kognitif, perkembangan motorik, perkembangan bahasa khususnya keterampilan ekspresif, dan kompetensi sosial.
Evaluasi juga kemungkinan adanya aritmia, episode pingsan, palpitasi, atau nyeri dada sekunder akibat lesi jantung. Pasien juga bisa mengalami gejala sleep apnea, termasuk mendengkur, gelisah saat tidur, sulit bangun, dan mengantuk di siang hari.
Ketidakstabilan Atlantoaksial
Ketidakstabilan atlantoaksial tidak selalu menimbulkan gejala. Apabila ada gejala, hanya sebagian kecil pasien yang memerlukan intervensi medis.
Ketidakseimbangan atlantoaksial ditandai oleh nyeri leher, keterbatasan mobilitas leher, dan tortikolis. Manifestasi lainnya meliputi kesulitan berjalan, perubahan pola gaya berjalan, hilangnya keterampilan motorik, inkoordinasi, kecanggungan, spastisitas, hiperrefleksia, klonus, dan hilangnya kekuatan tubuh bagian atas. Gejala-gejala ini umumnya relatif stabil selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Dalam kasus yang jarang, gejala dapat berkembang menjadi paraplegia, hemiplegia, atau kuadriplegia.[1-3,30]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisik khusus yang ada pada Down syndrome , meliputi:
- Bentuk kepala brakiosefali dan perawakan pendek
- Fisura palpebra oblique, adanya lipatan pada epikantus, dan brushfield spot
- Jembatan hidung rata
- Telinga kecil dan letak rendah
- Mulut kecil hampir selalu terbuka, sudut bibir ke bawah, makroglosia
- Bentuk gigi yang tidak normal (partial anodontia, microdontia) dan erupsi gigi yang terlambat
- Leher pendek dan terdapat lipatan kulit
- Pada toraks dapat mengalami pectus excavatum atau pectus carinatum
- Bentuk tangan lebar dengan jari pendek, sandal gap deformity, jari manis tertekuk ke dalam, sindaktili, dan simian crease
Selain bentuk tubuh khas tersebut, dokter perlu mengevaluasi sistem organ karena Down syndrome bisa mempengaruhi berbagai organ termasuk jantung dan saraf. Periksa adanya aritmia dan murmur karena separuh pasien Down syndrome memiliki lesi jantung, termasuk penyakit jantung bawaan. Evaluasi abdomen untuk mendeteksi kelainan pada saluran cerna, misalnya atresia intestinal.
Pasien dengan ketidakstabilan atlantoaksial memerlukan evaluasi neurologi. Amati adanya perubahan pola gaya berjalan, inkoordinasi, defisit sensorik, spastisitas, hiperrefleks, klonus, refleks ekstensor-plantar, dan hilangnya kekuatan tubuh bagian atas. Pasien juga akan mengalami refleks neurologis yang abnormal, perubahan fungsi usus dan kandung kemih, peningkatan tonus otot di kaki, dan perubahan sensasi di tangan dan kaki.[1,7,10]
Sistem Kardiorespiratori
Pada sistem kardiorespiratori pasien Down syndrome, dapat ditemukan secundum atrial defect, tetralogy of Fallot, patent ductus arteriosus, defek septum ventrikel, sleep apnea, stridor, dan pneumonia.[1,10,30]
Sistem Gastrointestinal
Pada sistem gastrointestinal dapat ditemukan penyakit Hirschsprung, gastroesophageal reflux disease, konstipasi kronik, diare intermiten, penyakit Celiac, dan atresia gastrointestinal.[1,10,30]
Sistem Muskuloskeletal
Pada sistem muskuloskeletal dapat ditemukan hipotonia, juvenile idiopathic arthritis, atau dislokasi sendi.[1,10,30]
Sistem Penglihatan
Pada sistem penglihatan, dapat ditemukan nistagmus, glaukoma, oklusi duktus nasolakrimalis, katarak, strabismus, gangguan refraksi, keratokonus, ambliopia, anomali iris, dan anomali nervus optikus.[1,10,30]
Sistem Pendengaran
Pada sistem pendengaran dapat ditemukan otitis media atau gangguan pendengaran.[1,10,30]
Sistem Endokrin
Pada sistem endokrin, dapat ditemukan hipotiroid kongenital, diabetes melitus tipe I, dan tiroiditis Hashimoto.[1,10,30]
Sistem Integumentum
Pada sistem integumentum dapat ditemukan xerosis, lesi hiperkeratotik, folikulitis, alopesia areata, dan infeksi kulit rekuren.[1,10,30]
Sistem Neurologi
Pada sistem neurologi dapat ditemukan kejang, dementia, dan penyakit Alzheimer.[1,10,30]
Sistem Hematologi
Pada sistem hematologi dapat ditemukan gangguan mieloproliferatif, leukemia, anemia, dan defisiensi zat besi.[1,10,30]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding Down syndrome adalah trisomi 18, Zellweger syndrome, dan hipotiroid kongenital.[1,3]
Trisomi 18
Trisomi 18 disebut juga Edwards syndrome. Dibandingkan dengan Down syndrome, kelainan-kelainan pada Edwards syndrome lebih banyak dan lebih berat. Pada Edwards syndrome ditemukan retardasi mental yang berat dan gagal tumbuh. Faktor risiko dan ciri fisik yang tampak pada Edwards syndrome hampir sama dengan Down syndrome.
Pada pemeriksaan prenatal menggunakan ultrasonografi (USG) dapat dideteksi adanya struktur abnormal, mikrosefali, dandy-walker malformation (pembesaran fossa posterior dikaitkan dengan hipoplasia sereberal), kista pleksus koroid, posisi abnormal jari jemari, defek jantung, dan neural tube defect. Pada pemeriksaan kariotipe ditemukan salinan ekstra pada kromosom 18.[1,3,31,32]
Zellweger Syndrome
Zellweger syndrome dikenal sebagai sindrom serebrohepatorenal, merupakan kelainan bawaan langka yang ditandai dengan tidak adanya atau pengurangan peroksisom fungsional dalam sel, yang penting untuk beta-oksidasi asam lemak rantai sangat panjang. Ciri fisik pasien hampir sama dengan yang ditemukan pada Down syndrome, yakni ditemukan hipotonia, penurunan gerakan spontan, kesulitan makan, keterlambatan tumbuh kembang, wajah dismorfisme, dan jembatan hidung lebar. Pasien Zellweger syndrome juga mengalami tuli sensorineural, serta kelainan pada mata termasuk glaukoma, katarak, dan retinopati.[1,3,33]
Hipotiroid Kongenital
Hipotiroid kongenital disebabkan oleh defisiensi hormon tiroid. Manifestasi yang muncul pada hipotiroid kongenital adalah disabilitas intelektual, hipotonia, letargi, kesulitan makan, serak, konstipasi, dan hipotermia.
Ciri fisik pada hipotiroid kongenital hampir sama dengan Down syndrome yakni dismorfik wajah, makroglosia, kelopak mata membesar, xerosis, distensi abdomen, dan defek pada jantung. Pasien juga bisa mengalami bradikardia, hipotensi, anemia, dan distres pernafasan. Pemeriksaan kariotipe dapat dilakukan untuk membedakan dengan Down syndrome.[1,3,34]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis Down syndrome dapat dilakukan saat skrining pada ibu hamil. Pemeriksaan penunjang dilakukan menggunakan USG, pemeriksaan serum darah ibu, amniosentesis, chorionic villus sampling (CVS), dan Percutaneous umbilical blood sampling (PUBS).[1-3,5-9]
Pemeriksaan skrining dilakukan pada ibu hamil sebelum usia kehamilan 20 minggu tanpa memandang usia ibu. Skrining prenatal berguna untuk mendeteksi dini kemungkinan kelainan aneuploidi kromosom, termasuk Down syndrome. Pemeriksaan skrining dilakukan menggunakan USG dan pemeriksaan biomarker serum maternal.[3]
Non Invasive Prenatal Testing (NIPT)
NIPT dapat mulai dilakukan pada trimester pertama kehamilan, pada usia kehamilan 10–14 minggu). NIPT dilakukan melalui analisis fragmen DNA yang bersirkulasi dalam darah ibu. Fragmen ini tidak berlokasi dalam nukleus sel tetapi berlokasi dalam plasma sehingga disebut sebagai cell-free DNA (cfDNA). NIPT dapat digunakan untuk skrining kelainan genetik fetus.
Pemeriksaan USG
Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan noninvasif yang dapat digunakan saat skrining kehamilan dan diagnosis Down syndrome yang dikombinasi dengan pemeriksaan serum maternal.
USG dilakukan pada trimester pertama pada usia kandungan 11-14 minggu. Apabila ditemukan penebalan pada translusensi nuchal lebih dari 3 mm dan nasal bone hypoplasia, dapat menandakan adanya risiko kelainan genetik dan malformasi kongenital, termasuk Down syndrome.[3,35]
USG pada trimester kedua bertujuan untuk mencari soft marker Down syndrome. Yang termasuk dalam soft marker Down syndrome adalah echogenic intracardiac focus, choroid plexus cyst, ventriculomegaly, nuchal fold thickness > 6 mm, echogenic bowel, shortened humerus, mild pyelectasis, shortened femur, aberrant right subclavian artery (ARSA), dan enlarged cysterna magna.[3,35-37]
Pemeriksaan Serum Maternal
Pemeriksaan biomarker serum maternal merupakan pemeriksaan invasif yang dilakukan untuk skrining dan pemeriksaan diagnosis Down syndrome. Pemeriksaan biomarker serum maternal ini dapat dilakukan pada trimester pertama pada usia kandungan 11-14 dan trimester kedua pada kehamilan 15-20 minggu.[3,38,39]
Dari serum maternal dapat dilakukan pemeriksaan serum biomarker yang meliputi pregnancy-associated plasma protein A (PAPP-A), unconjugated estriol (uE3), dan free beta-human chorionic gonadotropin (β-HCG). Pemeriksaan kadar biomarker yang dikombinasikan dengan pemeriksaan translusensi nuchal USG dapat memprediksi Down syndrome dengan akurasi hingga 90%.[3,38-40]
Peningkatan β-HCG dan rendahnya kadar uE3 ditemukan sebagai penanda Down syndrome. Peningkatan kadar inhibin A pada trimester pertama dan penurunan kadar PAPP-A pada trimester pertama digunakan untuk mengidentifikasi kecurigaan adanya Down syndrome.[3,38]
Chorionic Villus Sampling
Pemeriksaan chorionic villus sampling (CVS) merupakan pemeriksaan diagnostik invasif yang dikerjakan untuk mendeteksi kelainan kromosom pada janin termasuk Down syndrome. Pemeriksaan ini mengambil sedikit sampel vilus korion dari plasenta. CVS dapat dilakukan pada usia kehamilan lebih awal dibandingkan amniosentesis, yakni pada usia kehamilan 10-13 minggu. Risiko keguguran setelah tindakan CVS adalah sebesar 1 per 455 kehamilan. Indikasi pemeriksaan CVS adalah bila didapatkan hasil yang positif dari pemeriksaan skrining atau risiko kelainan genetik pada orang tua.[3,41-43]
Amniosentesis
Amniosentesis adalah pemeriksaan diagnostik terhadap sel janin dengan mengambil cairan amnion di dalam rahim ibu menggunakan jarum steril dengan panduan ultrasonografi. Amniosentesis dapat dikerjakan pada usia kehamilan 14-16 minggu atau pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Akurasi pemeriksaan ini untuk mendeteksi kelainan kromosom mencapai 99,5%. Risiko abortus akibat pemeriksaan ini adalah 1:200-300 kehamilan.[3,42,43]
Pemeriksaan Sitogenetik
Pemeriksaan sitogenetik dapat dilakukan dari sampel yang diperoleh saat prenatal atau postnatal. Saat prenatal, indikasi dilakukan pemeriksaan sitogenetik ketika hasil pemeriksaan serum biomarker dan hasil USG dengan temuan abnormal. Pada saat post natal pemeriksaan sitogenetik berguna untuk membedakan tipe mutasi yang dialami pasien (kariotipe).
Uji sitogenetik adalah pemeriksaan kromosom untuk mengetahui kelainan kromosom seperti aneuploidi dan kelainan struktur. Pemeriksaan sitogenetik juga dapat mendiagnosis adanya keganasan serta menentukan terapi yang tepat untuk stratifikasi prognostik.[3,10,44]
Pemeriksaan Cell-Free DNA
Pemeriksaan cell-free DNA dapat menggunakan serum darah maternal atau cell free fetal DNA dari plasenta (sampel dari amniosintesis, CVS, atau PUBS). Indikasi pemeriksaan ini untuk mendeteksi trisomi 21,18, dan 13. Pemeriksaan dapat dilakukan selama kehamilan setelah kandungan mencapai usia 10 minggu.[1,3,45,46]
Pemeriksaan FISH
Pemeriksaan Fluorescence in situ hybridization (FISH) digunakan digunakan untuk diagnosis cepat trisomi 21. Pemeriksaan diagnosis dengan FISH dapat digunakan baik dalam diagnosis prenatal maupun diagnosis pada periode neonatus. Pemeriksaan FISH menggunakan hibridisasi dari urutan DNA tertentu pada kromosom yang terpilih ditandai dengan pewarnaan fluoresen untuk persiapan pada kromosom. Urutan yang telah ditandai menempel pada DNA yang bersangkutan dan dapat dilihat di bawah mikroskop. Dengan pemeriksaan FISH, Down syndrome dapat terdiagnosis hingga 86,67%.[1,3,10,47]
Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan penunjang lainnya dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis dan juga menemukan kelainan-kelainan yang dialami pasien Down syndrome. Pemeriksaan TSH dan T4 digunakan untuk menyingkirkan diagnosis hipotiroid pada bayi baru lahir. Echocardiography dilakukan untuk mendeteksi defek kongenital jantung.[3,10,34]
Penulisan pertama oleh: dr. Saphira Evani