Diagnosis Anafilaksis
Diagnosis anafilaksis adalah diagnosis klinis. Pemeriksaan penunjang kurang berperan dalam penegakkan diagnosis.
Anamnesis singkat dan tepat sasaran dilakukan untuk menemukan zat pencetus, namun tidak menutup kemungkinan anafilaksis terjadi secara idiopatik tanpa zat pencetus spesifik. Menegakkan diagnosis anafilaksis harus dilakukan secara cepat karena merupakan kondisi kegawatdaruratan yang membutuhkan penanganan segera.
Anamnesis
Anamnesis dari anafilaksis terutama mencari zat pencetus reaksi tersebut. Pada anak-anak, anafilaksis sering disebabkan karena makanan, misalnya kacang-kacangan, ikan, susu sapi, telur, gandum, dan kedelai. Sedangkan pada dewasa dan lansia kemungkinan disebabkan oleh obat-obatan.
Obat yang berisiko menyebabkan anafilaksis adalah antibiotik, paling sering penicillin dan turunannya seperti amoxicillin; serta sefalosporin seperti cephalexin. Obat lain misalnya penyekat beta seperti propranolol; ataupun penghambat enzim konversi angiotensin (ACEi) seperti ramipril. Selain itu, klinisi harus menggali riwayat alergi sebelumnya, termasuk terhadap vaksin, dan riwayat alergi pada keluarga.
Perkembangan Gejala Klinis
Gejala umumnya dimulai pada 5-30 menit setelah terpapar, namun pada pemberian obat injeksi, gejala dapat muncul dalam beberapa detik pasca injeksi. Tanda dan gejala dimulai dari keluhan ringan kemudian secara progresif memberat dan mengancam nyawa. Pada anak, gejala awal berupa masalah respirasi lebih sering terjadi dibandingkan dengan gejala kutaneus seperti urtikaria. Gejala pada saluran cerna lebih umum terjadi pada anafilaksis yang dicetuskan makanan.[1,2]
Gejala anafilaksis yang dapat muncul antara lain:
- Kulit dan membran mukosa: urtikaria, eritema, pruritus, angioedema, bengkak
- Mata: gatal, mata berair, pandangan kabur
- Saluran napas: kongesti nasal, bersin, batuk, serak, dispnea, rinorea
- Saluran cerna: nyeri abdomen, mual muntah, diare
- Kardiovaskular: palpitasi, nyeri dada
- Neurologi: nyeri kepala, pusing, kejang
- Psikologis: peningkatan motorik, merasa akan terjadi sesuatu yang membahayakan[2,3]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dari memastikan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (airway, breathing, circulation) serta kesadaran pasien. Melalui pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
- Kesadaran: penurunan kesadaran, agitasi
- Saluran napas: stridor karena edema laring; mengi karena bronkospasme atau edema dan hipersekresi saluran napas; ataupun terjadi obstruksi total saluran napas
- Kardiovaskular: takikardia, bradikardia (apabila ada reaksi vasovagal), hipotensi, syok
- Kulit: urtikaria (terutama pada telapak, punggung tangan, dan paha bagian dalam), reaksi lokal dalam kasus sengatan binatang, serta angioedema[1-3]
Anafilaksis umumnya berawal dari tanda kutaneus, tetapi populasi anak mungkin menunjukkan gejala respirasi sebagai tanda awal. Gejala kemudian memberat secara progresif dalam 1 jam paparan.[1-4]
Kriteria Klinis Anafilaksis
European Academy of Allergy and Clinical Immunology tahun 2021 memberikan kriteria klinis dalam mendiagnosis anafilaksis. Diagnosis anafilaksis dibuat ketika ada satu dari tiga poin di bawah yang terpenuhi:
Poin 1:
Onset akut, dalam menit hingga jam, dengan manifestasi kulit, mukosa, atau keduanya, misalnya urtikaria generalisata, pruritus atau flushing, lidah/ uvula/ bibir bengkak, dan setidaknya salah satu dari berikut ini:
- Gangguan saluran napas (misalnya dispnea, mengi, bronkospasme, stridor, dan hipoksemia)
- Penurunan tekanan darah atau gejala disfungsi organ terkait (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia)
Poin 2:
Dua atau lebih dari berikut ini yang terjadi secara cepat setelah ada paparan terhadap kemungkinan alergen (menit hingga beberapa jam):
- Ada gejala pada kulit dan mukosa
- Gangguan saluran napas
- Penurunan tekanan darah atau gejala disfungsi organ terkait
- Gejala gastrointestinal persisten, misalnya nyeri abdomen dan muntah
Poin 3:
Penurunan tekanan darah setelah paparan terhadap alergen yang diketahui pasien (menit hingga beberapa jam):
- Bayi dan anak: tekanan darah sistolik rendah (berdasarkan usia) atau penurunan >30% tekanan darah sistolik
- Dewasa: tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan >30% dari baseline[4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari anafilaksis didasarkan pada kemiripan tanda dan gejala dari sistem organ tubuh yang biasanya terlibat dalam anafilaksis, seperti kulit, saluran pernapasan, saluran pencernaan, sistem kardiovaskular dan sistem saraf pusat. Anafilaksis dapat hadir dengan kombinasi yang berbeda dari lebih dari 40 gejala dan tanda, melibatkan dua atau lebih sistem organ tubuh, sehingga terkadang meniru kondisi lain dan membuat diagnosis banding tidak jelas. Terdapat beberapa kondisi yang menyerupai anafilaksis, misalnya urtikaria dan angioedema, eksaserbasi asthma, sinkop vasovagal, dan serangan atau gangguan panik.
Urtikaria atau Angioedema
Mirip dengan gejala anafilaksis, urtikaria dan angioedema terjadi secara medadak setelah paparan alergen. Kedua kondisi ini bisa berdiri sendiri atau merupakan bagian dari gejala anafilaksis.
Angioedema terjadi pada lapisan kulit dalam atau mukosa wajah, ekstremitas, genital, lidah, laring, atau organ dalam. Penyebab urtikaria dan angioedema adalah reaksi alergi terhadap zat tertentu, seperti obat, makanan, atau sengatan binatang. Pada anafilaksis, angioedema dan urtikaria yang terjadi akan progresif memunculkan tanda gejala selain pada kulit dan mukosa. Kemunculan urtikaria dan angioedema harus diterapi dan pertimbangkan penggunaan epinefrin untuk mencegah progresivitas gejala.[10,11]
Eksaserbasi Asthma
Asthma eksaserbasi akut dan anafilaksis memiliki kemiripan gejala pada pernapasan. Secara akut, asthma bermanifestasi sebagai batuk, mengi, dan sesak napas setelah ada paparan terhadap zat spesifik atau setelah beraktivitas. Gejala pernapasan yang progresif ditambah pruritus, urtikaria, angioedema, suara serak, hipotensi, dan nyeri abdomen menimbulkan kecurigaan terhadap kondisi anafilaksis.[1,11]
Penting untuk diketahui bahwa asthma, terutama jika gejalanya tidak terkontrol secara optimal, merupakan faktor risiko yang signifikan untuk anafilaksis yang berat atau fatal. Kedua kondisi ini juga dapat terjadi bersamaan.[15,16]
Sinkop Vasovagal
Sinkop vasovagal umumnya disebabkan oleh stress fisik atau emosional. Secara patofisiologi berasal dari hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis yang menyebabkan penurunan laju jantung, dilatasi pembuluh darah dan hipotensi. Pada pasien didapatkan tanda dan gejala berupa pucat, kelemahan, mual muntah, dan berkeringat. Sinkop vasovagal dapat menyerupai anafilaksis, namun pada anafilaksis umumnya gejala awal adalah pada kulit (eritema, urtikaria, angioedema) dan pernapasan (bronkospasme, mengi). Kondisi ini tidak didapatkan pada sinkop vasovagal.[2,11]
Serangan atau Gangguan Panik
Serangan atau gangguan panik adalah kecemasan yang berat dan mendadak disertai adanya perasaan akan celaka. Serangan panik akan disertai dengan gejala otonom berupa palpitasi, sesak napas, atau berkeringat. Panik tidak disertai beberapa manifestasi anafilaksis seperti urtikaria, angioedema, serak, mengi, dan hipotensi.[11,12]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya tidak diperlukan dalam penegakan diagnosis anafilaksis. Pemeriksaan penunjang dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi alergen pencetus.
Kadar Triptase Serum
Dewasa ini, triptase serum direkomendasikan untuk diperiksa dalam 30 menit hingga 2 jam setelah muncul reaksi awal, kemudian pemeriksaan ulang dalam 24 jam setelah pemulihan total gejala anafilaksis. Peningkatan kadar triptase serum mengindikasikan adanya anafilaksis. Meski demikian, pemeriksaan ini tidak boleh menunda terapi. Keterbatasan dari triptase serum adalah tidak semua pasien menunjukkan elevasi, terutama pada anak dan pasien dengan pencetus makanan.[1,4]
Pemeriksaan Alergi
Skin test dan pemeriksaan IgE in vitro bisa digunakan untuk menentukan penyebab dari reaksi anafilaksis. Pemeriksaan ini dilakukan sesuai penggalian riwayat pasien dari anamnesis yang mengarahkan pada kecurigaan etiologi spesifik. Hasil pemeriksaan bisa menunjukkan alergi zat makanan tunggal atau multipel, alergi obat, atau hipersensirivitas non-IgE.[2,11]
Penulisan pertama oleh: dr. Khrisna Rangga Permana